Minggu, 31 Mei 2015

SURAT CINTA BUAT PEMBACA NAN SETIA



DI ERA DIGITAL belakangan ini, kebertahanan membaca buku mengalami tantangan yang luar biasa. Betapa tidak, naskah baik belum tentu menjadi menarik hingga perhatian tetap tertarik untuk meniti rangkaian cerita dalam kata-kata. Yang lepas dan tanggal adalah minat, lantaran jenuh hadir menyapa, meminta berhenti membaca.

Tapi, setidak-tidaknya ada satu cara yang mengantarkan kita—atau baru saya saja—pada jalan asyik-masyuk membaca. Ialah gaya bertutur, bukan melantur melainkan menyajikan suatu paparan ilmiah dalam cara yang mengalir dan semacam ceritera. Karena siapa yang tak menginginkan cerita, di tengah kepungan berita oleh perusahaan media-media yang membungkus informasi sekadar barang jualan. Eksklusif katanya, terpercaya katanya, terhangat katanya. Nyatanya menyesatkan, melenakan, dan menyuntikkan persepsi negatif atas segala macam peristiwa.

Maka, sebelum semua keadaan makin membusuk dan memburuk, bacalah “teks-teks” (tentu lebih dari sekadar yang tertera pada media cetak, tapi teks apapun itu) dengan wawas. Jika kau merasa tak puas, berpaling kepada yang bertutur tadi ialah pelepasnya, jalan keluarnya. Kau tahu yang kau mau—bukan yang kau suka. Yang fana adalah waktu, buku tidak. Buku akan selalu bertahan, ada, mengisi waktu yang kosong, kefanaan waktu, sefana-fananya sesuatu.

Kamis, 14 Mei 2015

BERJALAN BERTANYA



Tiga hari berjalan
tiga hari berlayar
            bersua, menatap yang baru
            melupa, terlupa yang lalu

Dua hari lalu
aku meragu satu
dua hari lalu
siapa-siapa di situ
aku tak tahu-menahu

Lalu aku mengerti
dari manakah aku harus mulai
tanpa ditanya, aku bertanya
tanpa mencari, aku siap berlari
meniti hari, hari-hari jauh dari sepi

Seperti hari kesatu, pertama kali
Ada rasa tak tahu, apa lalu?
Takut mungkin sedikit hadir menyapa
Tapi tidak apa,
tak mengapa

Mengapa bertanya, yang sudah semestinya diterima?
Apa lacur diterka, semua telah meniada
Kini, kuharus terus berlalu
Kutahu yang kulihat
Ada kamu
Ada satu, bukan yang itu, bukan yang dahulu

Kamu, baru, di situ
                                                                                                Cikini, pagi hari, 9 Mei