Rabu, 31 Oktober 2012

Harapanku


Teringat padamu saat keringat mengucur di tubuhku.

Tubuhku berkeringat deras siang ini, nan panas dan terik. Saat ketika aku tepat teringat akan dikau, harapan hatiku. Saat aku begitu riang mengenal kamu, memandang cerah-meriah wajahmu. Manis, ada sedikit rasa yang menggamit hati. Kamu, saat bertemu pandang denganku, kau-aku seperti baru dan merasa saling senang. Apakah begitu? Itu baru perkiraanku.

Pada mulanya, aku semata yang memeluk rasa itu. Seakan ada yang memulih dan menyentuhku dengan sapanya, senyumnya, suaranya. Pada mulanya, aku semata yang memanggilmu dari sisi lubuk hatiku, selarik demi selarik napas yang berpadu dalam kenangan akan dirimu.

Aku kagum pada elok parasmu, anggun dirimu, dengan senyum lembut dan bibirmu. Aku sadar: aku suka padamu. Pada kenyataannya, ada yang kau pendam juga untukku, kesan perasaanmu-kah itu?

Kau merasa dengan cara apakah aku berbicara, kepada siapakah aku merasa? Padamu-lah hatiku, perasaanku, dan harapanku.(*)

13 Oktober 2012, 13:17.

Minggu, 28 Oktober 2012

Lagu


Nada apa yang akan berbunyi di detik ini?
Bukan ‘la’ atau ‘do’, tapi me-ngapa-kah?

Mengapakah ‘do’ lantas disahut oleh ‘re’, lalu diikuti ‘mi’, menjadi ‘do-re-mi’?
Mengapa juga saya lalu di sini menemanimu (anda) bercengkerama lama-lama di tepi senja?

Sebutkan satu makna agar kau mengerti untuk dirimu dulu
Mengapa dulu kita tak saling berlalu, akhirnya bertemu berlagu?

Do-re-mi-fa-sol-la-si-do, lagumu?
Do-si-la-sol-fa-mi-re-do, lantunku, aaah…

Kau, lantaran siapakah yang menemukanmu hingga kita di sini
bernyanyi-nyanyi bersama?
[sahutmu:] Kau, ya kau, yang menjemputku datang untuk bersatu
sama di dalam nada dan bahasa

Do re mi fa sol la si do…

24 Oktober 2012

                                       Sumber gambar: http://files.myopera.com/paw_rs2/blog/lovemusic.jpg



Selasa, 23 Oktober 2012

Why I am Not Responding?


Lima belas menit yang lalu saya sudah lega merasakan kesalnya pagi. Mengapa di pagi hari kesal? Sesungguhnya tidak kesal benar, karena saya bangun lebih awal, dan lalu berolahraga. Badan terasa segar…Lantas apa gerangan yang bikin saya merasa kesal?

Di atas kibor komputer ini, saya bisa senang mengetukkan jemari. Padahal, seperti saya sebut tadi, dua puluh menit lalu komputer sayalah yang membuat saya sedikit kesal. Entah dari mana, akses komputer saya melambat. Pembaruan (update) antivirus pun tak sempurna, tak aktif sepenuhnya. Salin-tempel data antar-drive pun berat, tambah lambat. Tak urung saya memberi instruksi dengan mengecilkan (minimize) kotak dialog pembaruan antivirus, pula salin-tempel menggunakan program lunak TeraCopy.

Memang tak biasa seperti ini. Tak sebaiknya begini. Saya merasa sesuatu menghambat. Mungkin karena ada data yang terlalu besar ukurannya, atau program yang memang berbeban banyak dari sananya. Alhasil saya pun menjemput rasa jengah menunggu beresnya proses dua aktivitas tadi. Saya mengklik tanda silang pada satu kotak dialog, pun windows explorer. “Aaaah, kok not responding sih ini???” Saya lalu kesal beneran.

Akhirnya, saya menyerah. Menarik dan mengosongkan keluhan dalam pikiran—dan perlahan di hati. Mencoba tenang.

Saya pikir, ada yang salah juga dengan diri saya selama ini, yang juga, mungkin, mengerjakan berbagai urusan. Tak pelak, saya juga sulit merespons dengan benar apa suara baik yang sebaiknya saya kerjakan selanjutnya, rencana yang akan saya penuhi dan capai.

Memang, saya sadar telah banyak sekali (karena bukan “beberapa kali” saja) melakukan kegiatan yang tidak berhubungan dengan kebutuhan dasar saya. Perhatian yang semacam tercecer pada aktivitas lain yang jauh dari kepentingan masa depan saya. Tugas yang memang mesti saya selesaikan di akhir masa pendidikan di perguruan tinggi itu, Universitas Gadjah Mada. 

Tak ayal, bukan semakin memperkaya dan mematangkan saya sebagai anak masa depan yang baik bagi keluarga, malah saya terkungkung dalam pikiran saya sendiri. Jadi egois. Menilai apa yang saya pandang baik itulah yang benar, tidak memberi sela untuk menarik napas, merenung sebentar, mempertimbangkan baik-buruknya, atau memilih jalan lain.

Saya pernah menuliskan sebuah rumus dari situasi kacau yang saya alami. Jika kita memiliki satu tugas yang sudah menjadi kewajiban utama, maka tidak benar dan tidak baik jika ditunda, entah beralasan apa. Bila tugas kita tertunda atau kita sengaja mengulur waktu menyelesaikannya, perhatian kita akan teralihkan pada perihal atau soal lain.

Pada kondisi itulah, kita bisa mengalami suasana kesepian dan bertindak sendiri tanpa menengok kiri-kanan—mencari pertimbangan. Ini jelas egois: mengandalkan diri kita sendiri. Lalu kita mengalir dan hanyut dalam bermacam urusan yang kita anggap baik—sejauh saat kita mengalami dan menikmatinya saja. Kita asyik bekerja dalam aktivitas yang lain, namun tak berkepentingan dengan tugas dan tanggung jawab utama kita: menyelesaikan sekolah.

Kita merasa senang, ramai, karena melakukan beragam aktivitas lain, yang bisa dikatakan tak bersangkut paut dengan pekerjaan utama yang telah kita tinggalkan sementara dengan bermacam alasan: bosan, penyegaran, pengalaman, pembelajaran, persiapan, permainan, pertemanan, dan…! Tapi kemudian kita mengerti: “Lho, kok aku sampai di sini? Di detik ini, dalam masa dan ruang yang begini?”

Kita tertegun manakala mendengar bahwa teman kita ada yang sudah akan wisuda, sudah hampir menyelesaikan tugasnya, dan bisa menyempatkan waktu untuk berjalan-jalan dalam waktu yang longgar. Namun aku? Harus—karena mau tak mau (tapi sesungguhnya di dalam hati menyebut “mau”)—menuntaskan apa yang belum selesai, karena yang sudah kita kerjakan hanya diucapkan berulang-ulang. Menjadi jauh dari yang ada: kemajuan tak beranjak, catatan tak beriak, tulisan belum berubah.

Maka kita terpojok: terbawa ke suasana sepi, menjauh(-kan diri) dari keramaian. Menganggap yang di luar “Berisik! Mengusik!” Saat itulah, satu per satu kita menyesali keputusan yang sudah dipilih, dijalani, atau dilewati di masa lalu, meski tak kurang pula mensyukuri, karena tahu ada Yang Memberkati.

Penilaian kembali apa yang sudah dijalani, apa yang sudah berlalu, biasanya meminta kita mempertimbangkan sisi baik dan jeleknya. Untung-rugi, agar tak terjadi kembali kelak hari. Semacam—atau benar-benar—refleksi. Merenung, mengambil satu makna perjalanan dari satu demi satu tapak kehidupan yang dilalui secara berurut, meski tak harus urut. Asalkan runtut atau teratur, agar tak jadi mengacau, membuat kita dan orang lain di dalam lingkungan kita rusak, merugi.

Lalu, kita bangkit, merawat kembali jejak yang telah tercerap, dalam dekap dan harap. Kelalaian dan kekeliruan ini tak akan terulang kembali, saya mau memperbaiki sikap diri, melewatkan hari dengan satu mimpi—satu saja dulu—menuntaskan tugas akhir atawa skripsi.(*)

Saat umurku 23 tahun sembilan bulan, Selasa siang, 23 Oktober 2012, dengan tiupan angin dari kipas yang memutar kencang, pukul 11.08.





Rumus Kacau (Not Responding)
Penundaan --> Keramaian --> Kekacauan/not responding --> Keheningan/ Jeda --> Refleksi --> Bangkit (Lagi).