Selasa, 12 Maret 2013

SEDU

Berdiri di tepi hati
Selangkah mati, mundur mungkin menunggu pergi
Saat lalu menyambar lepas pandangku ke depan
Depan mengabur kian mengabu
Terlihat apa yang di sana, impian
Menutup abu itu padanya, buraman

Selaras cipta-cipta tanganku
Bersama segenap buih geloraku
Aku mengaku bukan lagi aku
Tak tahu ia menjadi siapa

Satu menyatu menggumul dalam daku
Ubun tertutup, dalam gejolak
“Aku! Di mana?!!”
Layak satu bintang redup mengayun membentang lintang
Kelap mengerjap sekejap
            saja
Terang riang lantas menghilang
            entah

Kiri-kanannya penghijau meneduh jiwa
garis yang diinjaknya bukan sebaris irama biduanita
putih di atas hitam
hitam panggang terik surya
ia menapak dengan juga derita
Sakit namun tak menjerit

Hendak lintas arah mana cadik ini
Pelan riak mengguncang
Sudi tuan bukakan ruang

Jalan mengulur ke belakang
Sadar tatap menjuntai mendatang
Nyata siap kau bawa pulang

Rindu pada hujan
Rindu pada temaram
Dingin jangan, segores luka mencekam
Mengoyak adinda, kakanda sedih semalam

Sudah bunda, derita bukan nestapa
Pada siapa dikau menyelia
Ananda pulang membawa apa
Sebentuk hati-pikir-rasa dalam dada

Sebentar, nanti di sana putramu tercinta
Sebentar…
Biar aku habiskan luka dalam separuh menduka
Tak ingin mendua hanya mengecap indahnya dunia

Sekilas, tangan masih bergerak suarakan kata
Sekilas, untaiannya meredam ingin memerdu
Sekilas, kita tiada pernah bertemu
Bunda, salamku pada ayahanda

Rindu pada semua, cinta, kata, cerita. Yogyakarta. 27/10. 23.50.

Jumat, 08 Maret 2013

NGEN ANGEN KANGEN


Kangen. Angen. Ngen. En.


Kukatakan ini kepadamu seperti sebuah bola yang disarangkan ke gawang:
“Aku rindu. Seperti dulu, bertemu, bersatu dalam rasa yang sedu sedang ingin pula berlagu.”

Kuungkapkan ini hanya untukmu saat kau belum kembali melabuh di sini:
“Aku cinta. Saat kau tak tahu akan menyahut apa, sanding rasa dan jejak pikir yang terpelintir.”

Kurasakan sebentuk anganku padamu laiknya genggaman jemariku di baris benang balon warna-warni.
“Betapa sulit aku melepas harap akan dirimu. Mungkin bisa, ternyata sulit, kau sadar kau benar. Aku taklah mencoba melepas-lepas begitu sewaktu. Sekali tanganku lepas, selamanya ‘ku terhempas.”

Kumohon ini untukku, bak pengawal menghadap bersimpuh di depan maharaja:
“Terimalah permintaan maafku, menghamba pada diri yang dulu: gagu tak layak menjadi gugu. Aku ragu. Tapi kini aku yakin hanya kau.”


Aku menunggu.

29/11/2012