Senin, 23 November 2015

Perasaan Itu Seperti Es Batu


Perasaan itu seperti es batu. Sedari awal wujudnya cair, mengisi dan berbentuk sesuai ruang tempat ia berada. Kemudian ia dingin membeku dan membatu setelah berada atau disembunyikan dalam ruang pendingin, tak berjumpa dengan pihak siapapun. 


Jika perasaan itu disimpan dalam kondisinya yang dingin pasti bisa sensitif bila tersentuh atau bertemu anasir lain: dapat mudah tersinggung, peka, selain juga dapat samasekali tak menampakkan reaksi apapundingin dalam diamnya. 

Tetapi, bila kemudian es batu itu dihadirkan sebagai teman minumia dicemplungkan dalam suatu minuman berasa atau sebaliknya pada sekumpulan es batu dituangkan air, maka jelas akan terasa lebih indah dan menarik perhatianlah es batu itu. Kehadirannya dinanti karena memiliki manfaat, memenuhi suatu harapan dari pihak lain.  

Sesungguhnya wacana ini menyoal interaksi. Artinya, betapapun perasaan itu sangat tak teraba dan terkesan tak terlihat, ia berdaya guna bila dan hanya bila dipertemukan dengan suatu hal di luar dirinya: rangsangan bunyi, verbal, suhu udara.  

Jika sebuah perasaan memenuhi diri seseorang, maka ia akan menjadi lebih baik dan berarti jika mendatangi orang-orang lain. Perasaan, dengan begitu, akan bergerak, mengalir, mengisi ruang, menyusupi celah-celah dan menghidupkan perihal lain yang sebelumnya tampak tidak berada atau eksis. Aliran air—pengalamanhidup yang telah lelah-letih bertempur di tengah kota itu barangkali perlu mengalami pengendapan untuk diolah menjadi saripati es batu perasaan yang lebih dahsyat saat akan bertemu kembali dengan hiruk-pikuk ragam komponen di alam semesta.(*)

Jumat, 06 November 2015

KELUT



(Buat Antonius Erwin Zubiyan; Risky Summerbee and The Honeythief; Teater Garasi)

Gelap. Mati. Kata-kata bergelayutan tak kuat pada dahan perasaan yang duka. Tak kukira, sungguh tak terkira, waktu menentukannya untuk segera pergi. Jelas tidak akan kembali. Hanya jejak-jejak dan rekaman ingatanku—mungkin kami, yang lain, juga masih ingat—segala keceriaan dan ketenangannya selagi memainkan irama musik: dari gitarnya, dari pianonya.
 
Kelut. Orang-orang esok berkumpul mengusung keranda dan mengantarkannya. Ke sudut ruang itu, menjauh dari riuh: manusia penuh berdesak mengerubungi panggung sekitar seperti saat dia tampil menghibur publik.

Kini, riang nada saat kau memetik senar gitarmu, ialah tembang sendu kerinduanku. Denting piano yang pelan perlahan, ialah sayup-sayup lantunan sang sayap Penghibur.

Penghibur itu merasuki dalam dirimu. Kau yang lamat-lamat menjauh dari kami, kau mendekat pada-Nya.

Kami dan kau berjauhan perlahan-lahan.

Ah, tegurmu, semua akan bertemu dan berkumpul bersama di panggung-Nya. Sampai-sampai kita bersama lagi di sana.

Lalu, satu-persatu, bunyi melodi gitarmu, yang terselempang di bahu sebelah kanan, tenang merambati pendengaran kami. Apa lalu tuts piano membeku. Di sini kami. Di sana engkau.

(Selamat beristirahat, Mas Erwin. Sampai jumpa lagi.)


Jakarta, 5-6 November 2015