Senin, 23 Februari 2015

DI LUAR SI PENGHIBUR



Suatu kali, tanpa diketahui Marsha, si Beruang diam-diam belajar mendongeng. Beruang penjaga itu berkisah:

“Seperti umumnya proses, belajar sejumlah tahun puncak perayaannya sekian jam saja. Dari lima buku acuan utama penulisan tugas akhir, tiga buku terbitan lawas isinya selalu kontekstual dalam zaman yang berubah. Dari tiga karangan bunga, ketiganya sekadar akan membungkuk dan membusuk. Lalu dari tiga yang berlambang UGM, satu akan terpajang. Sebuah lain dibaca-baca. Yang hanya selembarlah yang umumnya laku, menjual, yang menentukan: apakah pemiliknya membungkuk-membusuk atau menegap-menegak.”

Marsha datang, si Beruang mematung. Ia baru insaf bahwa dirinya sesungguhnya tak lebih dari sebuah karakter yang menghibur. Ada Sang Dalang yang mengatur tata laku seuntaian cerita hidupnya.

Selasa, 10 Februari 2015

Bagas Nggak Bagus



Adegan 1

Ayah pulang kerja. Ayah hendak memarkir sepeda motor di pekarangan. Lalu masuk dan merebahkan diri di kursi panjang—semacam kursi tamu—dengan ekspresi dan intonasi kelelahan.

Dialog Ayah bertanya kepada Ibu soal sajian teh hangat yang sebagaimana biasa. Lalu menanyakan keberadaan putranya. Kata Ibu, anak mereka belum pulang les sekolah.

“Paling langsung main-main sama anak Pak Sobary.”

“Alah, kenapa sih main sama anak Sobary lagi. Ya sekali-sekali mainlah ke Ruru Gallery, biar jadi anak gaul dikit… kata Ayah.

Ayah saling umpan omongan dengan Ibu.

Masih kecil gimana, sekolahnya kelas 3 SD, tapi pikirannya sudah jauh ke depan. Justru itu, Ma, biar anak kita cinta seni harus dikenalkan sejak kecil. Tak kenal maka tak sayang kan, Ma. Mama sayang Papa juga karena Papa kenalan sama Mama tha? Teleponlah anakmu. Mana hapenya, Ma?”

Ibu bertanya setelah mencoba menelepon dengan handphone. “Kok nggak nyambung… Ah, habis pulsa lagi.

Ayah berinisiatif menelepon ke nomor hape anaknya memakai telepon umum. Oh, ya, tak ke sana, telepon di sana.

Tapi selang sebentar Ibu teringat kalau telepon umum itu sudah usang, rusak, tak berfungsi meskipun hanya cukup sedap untuk dipandang mata, menjadi klangenan. “Eh eh…, Pa! Telepon umumnya udah lama rusak, kata Pak RT!”

Tapi Ayah sudah melangkah cukup jauh meninggalkan rumah, meninggalkan istrinya yang terduduk cemas.



Green-color-summer-HD-wallpaper


Adegan 2

Anak yang bernama Bagas nyelonong masuk ke rumah. “Mama, Mama… Sakit, sakit… Bagas merengek-rengek sambil berlari ke arah ibunya. “Mama... tadi Bagas didorong Putra,… Tadi kan pas ada mobil boks lewat di deketnya gang masuk musala itu lho Ma… Terus aku kan mau nyelametin Melani biar gak keseruduk mobil boks. Eh, tapi malah didorong sama Putra. Terus aku sama Melani jatuh di semen, Ma… Uhuhuhuhu…”

Wis! Nggak usah main-main sama Putra lagi. Malah bikin celaka lagi nanti,” Ibu menegur Bagas.

“Aduh, Ma, sakit… Papa mana?

“Tadi Papamu pergi nyariin kok belum pulang-pulang…” Ibu mengambil obat merah lalu meneteskannya sedikit ke atas lutut Bagas yang lecet.

Bagas menahan sakit. “Perih, Ma... Sakit… Aduh….” Setelah cukup tenang dan senang, Ibu meminta Bagas untuk segera mandi. “Udah, sekarang mandi, terus nanti pas ketemu Papa Bagas udah wangi, udah bersih.”

“Terus bisa main PES lagi ya sama Papa.

Nah iya, kan...”

“Bagas main pakai MU (Manchester United), Ma.”

“Iya, sudah yuk siap-siap mandi…”

“Iya, ya, tapi Ma, kalau kena air jadi sakit nggak ya lukanya...”

“Ya enggak to Gas, nanti malah cepet sembuh, kan air menghanyutkan kuman dan kotoran.”

“Oh, yaaa, ya Ma.... Eh, bener po Ma? Mama boong ya...

“Beneran nggak apa-apa, Cah Bagus...”

“Masa sih?”

“Iya…”

Bagas melepas pakaiannya. Kemudian bersiap mengambil perlengkapan mandi.

“Ma, Ma… Nanti kalau Papa udah dateng duluan, bilangin mainnya Papa pakai… Apa itu, em… Ar… Arsu, Asuuu... Ase…”

“Arsenal.”

“Iya, itu Ma, Arsenal. Biar gampang Bagas ngalahinnya, hihihihi…”

“Iya, nanti Mama bilangin Papa…”

“Bener ya, Ma… Bagas mandi di kali dulu…”

“Iya…”

Bagas pergi keluar ke sungai di daerah belakang rumah.               

Ibu Bagas sontak teringat lagi soal sungai di belakang rumah mereka yang kotor berwarna abu-abu pekat. Di situ mengalir limbah rumah tangga, segala kotoran manusia, cucian, juga limbah bekas olahan pabrik di kampung sebelah, sampai-sampai mereka yang menjabat sebagai pemulung sampah harus bekerja keras memunguti bungkus-bungkus berharga yang terapung atau tersisih di pinggiran kali.

Ia buru-buru memanggil-manggil anaknya untuk mencegahnya tidak pergi ke sungai.

Heh, mandi di kali? Bagas! Heh, jangan di kali... Bau, airnya kotor di sana... Aduh, anakku...”

Dan Bagas meluncur ke sungai itu untuk melepas duka melemparkan canda bersama daki di sekujur badannya.

Sebutlah ini: Keluarga Bagas. Inilah sebuah potret keluarga pendatang yang baru tinggal di ibukota. Mereka gagap gempita di riuh-rendah Jakarta!
 

Fontana Residency–RuRu Gallery, Tebet, Jaksel, 14/11/2014. Rincis gerimis, parau galau.