Sabtu, 09 November 2013

Cantona’s Story in January (V - Selesai)



Ada masa lalu, ada juga tahun baru. Datang dengan senang dan rasa penuh harapan. Kini memohon diri untuk melanjutkan perjalanan.

Anak lelaki hampir habis waktunya bersekutu dengan suatu kawanan tempat ia tumbuh dan berkembang di kampus. Sebuah laboratorium yang menempanya menjadi pendengar yang baik dan pewarta yang kritis. Juga sebagai kafe kecil tempat ia singgah setelah letih berjibaku dengan celotehan guru-guru di ruang kelas. Guru, yang punya sebutan lain sebagai bentuk asosiasi atau perluasan makna berupa dosen. Di suatu tempat, di kompleks perumahan guru itulah Cantona bermain dan menemukan diri. Cantona, pribadi yang sering jenuh dengan rutinitas, diri yang jemu dengan keseragaman, dan personalitas yang ingin merajut kepingan harapan dari selembar kasih yang dulu ia anggit.
Jikalau waktu itu tiba, anak lelaki ingin mempertanyakan kembali semangat yang dulu kerap ia ucapkan kepada rekannya. Mungkin, yang ia miliki hanya tinggal saat ini, tapi semoga itu akan abadi. “Karena yang tertulis itu akan abadi,” sesuatu membisikinya dalam hati.
“Siapa kamu? Hei, siapa di situ?” si anak lelaki menolehkan kepala ke kanan dan kiri, sekali ia mendongak. Kerumunan orang-orang terlihat tak ada. Putra itu berdiri di tengah taman yang berseri-seri menyajikan pesona kembang sepatu warna-warni. Ia yakin, suara itu adalah suara yang entah datang dari mana, namun selalu ada.[i] Ia tersenyum. Seekor makhluk menyeruak dari belukar. Meninggi, menyebarkan beribu pesona nan elok.[]

Godean, medio Januari 2010; seberang Selokan Mataram, medio Januari 2011.
                                 
                                        Gambar dilukis oleh Mas Abdee (M. Rizal Abdi). Thanks, Kakak.


[i] Menanggapi karier belasan tahun PADI, si vokalis Fadly mengatakan bahwa mereka, entah bagaimana caranya, terus bisa menguatkan satu sama lain. “Di saat yang satu lemah, yang lain bisa menopang. Energinya entah dari mana, tapi itu terjadi. Itu mungkin yang menguatkan kami, dan kami bahagia punya sesuatu yang seperti ini.” (Majalah Rolling Stone Indonesia edisi 61, Mei 2010, hal. 74.).

Cantona’s Story in January (IV)




Si anak lelaki senang bukan kepalang. Sebentar lagi ia berhadapan muka dengan musikus idolanya. Seorang komposer lagu-lagu grup musik yang juga jadi favoritnya. Pertengahan Mei 2009 itu menjadi saat yang takkan ia lupakan.
            “Eki (EQ), Balairung, silakan wawancara,” seorang mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM menyebut nama dua lembaga pers mahasiswa UGM. Siang itu, Selasa, 19 Mei 2009, diselenggarakan seminar “Membangun Ide dan Kreativitas di Usia Muda” dengan pembicara bagian pemasaran perusahaan kendaraan bermotor Yamaha dan seorang gitaris sekaligus pengusaha di dunia musik. Acara yang bertempat di Auditorium Magister Manajemen UGM ini didukung oleh FEB UGM dan Majalah Marketing.
Setelah seminar bubar, si anak lelaki bersama seorang reporter Equilibrium FEB UGM berbincang-bincang dengan motor penggerak band yang telah tiga belas tahun mengisi jagat musik tanah air. Bagi pria yang luntang-lantung berjuang keras menjadi musisi hingga pernah menjadi petugas cleaning service itu, suatu ide merupakan salah satu bentuk komunikasinya dengan Sang Pencipta.
“Ide itu adalah pemberian Tuhan. Kalau orang sudah aware (sadar) terhadap sesuatu hal, itu berarti ada suatu bentuk komunikasi yang disentilkan oleh Tuhan,” ungkap gitaris yang sempat mengecap pendidikan Manajemen Universitas Airlangga Surabaya ini. Itu sebabnya, ia melanjutkan, ide tidak boleh dibatasi. Terlebih menyoal persaingan di industri musik, ia mengamati, faktor untung-rugi bisa berpengaruh pada tema-tema lagu yang hendak dilontarkan kepada pendengar. “Kalau (ide) itu kita eliminir karena takut kita tidak laku, ya itu berarti sama saja aku mengebiri ataupun mengeliminir komunikasiku secara spiritual, komunikasi terhadap sesama dan Tuhan,” jelasnya.
            Setelah mampu mendirikan label rekaman sendiri bernama E-Motion, pencipta lagu yang oleh biduan Ari Lasso disebut sebagai teman yang memberi secara kualitas, ini cermat menilai ide musik anak muda mutakhir. Menurutnya, ide bermusik pemuda saat ini masih jauh dari kreatif. Selain percintaan, katanya, banyak topik yang bisa dikembangkan, antara lain soal dunia sosial, sosok atau pribadi orang, dan politik.
Meski mengetahui bahwa semboyan “think out of the box” kerap didengungkan dalam dunia kreatif, produser grup musik DRIVE ini punya pandangan sendiri. “Saya mengibaratkan diri saya sebagai a piece in the ball, orang yang punya pemikiran sendiri, di situ-situ saja,” katanya sambil memangku gitar akustik. “Karena kalau kita mengikuti mainstream, ya kita akan menjadi mainstream juga.” Anak lelaki sejenak memikirkan kata-kata narasumber yang tak lama lagi akan menuju Bandara Adi Sucipto itu.
Tahun berlalu. Di telinga Cantona terngiang kata-kata yang sama saat membaca artikel di sebuah majalah musik lisensi internasional yang terbit di Indonesia. Tak hanya bicara, gitaris yang lagu-lagunya telah banyak menyemangati hidup Cantona itu kompak bersama empat sahabatnya menolak bermain playback. Ia berani berkicau di akun twitter-nya: lebih baik bubar daripada playback. Di banyak program musik televisi, penampilan musisi dan penyanyi seringkali pura-pura. Mulut komat-kamit, namun suara keluar dari mesin pemutar musik yang disiapkan tim kreatif. Kongkalikong yang terjadi di industri musik mainstream televisi inilah yang mereka tentang. Si vokalis, yang pada Desember 2010 terpilih sebagai salah satu dari lima puluh penyanyi terbaik Indonesia versi majalah yang sama, urun berargumen, “Dan kami mencintai main live. Kami mencintai momen setiap menyanyikan ‘Begitu Indah’ yang keseribu atau kedua ribu kali,… Kami mencintai sesuatu yang natural, kesalahan-kesalahan natural, itulah yang membuat kami hidup.”[i]
Gitaris yang diwawancarai oleh Cantona itulah sosok yang pertama kali memperkenalkannya kepada keindahan kata-kata dan sastra. Ia yang mengingatkannya pada rima, personifikasi, pun menyadarkan anak lelaki bahwa bersuka-sukaan dan patah hati memiliki aura keindahannya masing-masing. Pria itulah yang kemudian membuat Cantona menjadi kian menyukai karya sastra. Dia bukan sastrawan. Lewat buah kreativitasnya, dia menjumpai si anak lelaki, mendahului Putu Wijaya, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono. Dialah Satriyo Yudi Wahono.
                                                                                  *
                                                                           bersambung...


[i] Wening Gitomartoyo. “Lain Dunia”. Majalah Rolling Stone Indonesia edisi 61, Mei 2010, hal. 66–74.

Cantona’s Story in January (III)



BERITA DUKA
Seorang seniman besar yang hidup melintasi tiga zaman politik Indonesia telah menghadap Sang Khalik. W.S. Rendra, budayawan itu, kembali ke pangkuan-Nya dengan diantar oleh ratusan orang yang merasakan kesedihan mendalam. Pada bulan Agustus 2009, dunia seni Indonesia berduka karena wafatnya Sang Burung Merak.

Sekian banyak kenangan mengiang dalam ingatan. Satu rasa lalu menyembul. Berat hati. Itulah yang dialami lelaki asal Tabanan, Bali, yang sangat rindu dengan guru sekaligus sahabatnya, sang Burung Merak. Sastrawan yang produktif terlebih saat usianya menjadi senja ini menggelar hajatan khusus untuk mengenang Rendra. Di hari keseratus usai ajal menjemput sang maestro, Sabtu malam, 14 November 2009, puluhan pasang mata memenuhi Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM. Bersama kelompok teater binaannya, Teater Mandiri, seniman yang terkenal dengan karya-karya yang berjudul hanya satu kata dan sebuah suku kata itu, menyiramkan bayu kerinduan kepada para hadirin.
Seperti halnya tulisan-tulisannya yang meneror pembaca, malam itu saya pun ditekan dengan sejumlah rasa sakit oleh penampilannya di atas panggung. Permainan lakonnya begitu mencekam. Dipeluk-peluk, lalu diputar-putarnya jasad berbungkus kain putih berukuran besar yang menggantung dan melayang-layang oleh tali. Rendralah yang ia maksud, ketika ia berkata, “Mengapa engkau begitu cepat pergi?”
Ia, yang juga sutradara film Ramadan dan Ramona itu, malam itu berbaju dan berkopiah hitam. Ia membumi sejenak dengan penontonnya, bercerita tentang Rendra dan pemikirannya. “Seniman adalah pembisik dan pemasok kebenaran pada kekuasaan,” ucapnya menirukan perkataan Rendra. Ia menuturkan, Rendra mengingatkan kita untuk berani melawan takut, terhadap siapapun dan apapun yang menghalangi langkah kita. Kritik politik yang lantang dilontarkan Rendra membuat ia dan keluarganya mendapat ancaman dari rezim pemerintah tempo dulu. Sel jeruji pernah menjadi tempat yang menjadikannya dicap sebagai penjahat.
“Tradisi tidak semuanya harus diterima begitu saja. Mari menatap ke depan,” si aktor melanjutkan orasinya. “Semua orang harus mencari sudut pandang baru.” Saya termangu dan haru mengelus dada. Seniman yang pernah mengenyam ilmu hukum di UGM dan menjabat redaktur Majalah Tempo ini mengguncang batin saya. “Aduh!” spontan saya berseru dalam hati menyebut judul salah satu karyanya. Dia adalah Putu Wijaya.
*

bersambung...

Cantona’s Story in January (II)



Pagi yang cerah di hari pertama. Satu Januari dua ribu sebelas. Mataku mulai membuka dan menatap hari ini. Langit cerah, tak ada mendung barang setitik. Di luar sana tentu hangat oleh cahaya mentari. Kata-kata beriak keluar dari hati. Bersyukur atas tahun yang baru, semangat yang masih berlantun tak kunjung henti, pengalaman-pengalaman hidup yang bergulir seperti naik roller-coaster, hingga manusia-manusia yang masih dapat diingat dan menjadikan hidup ini lebih berarti. Terima kasih, Tuhan….

            Cantona bangun dari kasur tempatnya tidur semalam. Meski baru masuk ke alam mimpi lewat tengah malam, ia mencoba tak melupakan 8.760 jam yang ia lalui di masa lalu. Anak lelaki itu telah beranjak semakin dewasa. Pada tahun 2010 ia banyak mencecap pahit-asam-manis kehidupan. Mengetahui apa itu perasaan cinta, apa itu gugup, hingga menyesali atas keraguannya berterus terang pada seseorang. Seorang Hawa yang kini mungkin masih bersama pria lain. Saat mengetahui bahwa pujaan hati terbang dengan pangeran lain, begitu remuk hati anak lelaki! Hari itu seakan berhenti, dan denyut jantungnya lesap dari rangkaian partitur irama kehidupan.
            Dengan menyapa Bunda yang kudus dan tak bernoda—Deidre O’Neill menyebutnya sang Ibu Agung[i], kesedihan anak lelaki sirna. Ia menyentuhkan kalung rosari pada dadanya. Kalung itu ia dapatkan saat berziarah ke suatu sendang di sebuah kota, tak jauh dari kediaman keluarga mendiang sastrawan Pramoedya Ananta Toer. “Bunda, aku bersyukur telah menerima kesempatan untuk mengenal dia. Mungkin aku salah, namun aku tak sungguh menginginkannya,” ia menumpahkan begitu saja kata-kata dari hatinya. Sedikit air asin mengucur dari kantung matanya. Bagi anak lelaki, malam itu terasa betapa kelam.
            Sejak kecil, Cantona memang dididik oleh orang tuanya untuk rajin berdoa, syukur-syukur membaca kitab suci pula. Ia pun pernah berpikir dan introspeksi diri kala seorang yang beriman hendak membakar buku-buku suci di sebuah negeri nun jauh di sana. “Banyak orang meributkan dan membahas tindakan yang bisa memicu konflik antaragama itu. Tapi ah…, aku sendiri nyaris luput menyentuh kitab suci!”
            Berbeda dengan temannya yang pernah mengaku selalu rindu untuk turun ke jalan, Cantona selalu rindu datang ke basilika. Ke manapun ia melangkah menyusuri kota, tak pernah lepas dari benaknya untuk sejenak menatap altar. Rindu pada imam yang mengelus kepala dan menyapa setiap anak-anak kelompok Sekolah Minggu, “Selamat hari Minggu!” Juga membuat tanda salib pada keningnya yang, seingatnya, lumayan berguna untuk memperbesar rekor gol.
            Memasuki bulan pertama di tahun 2011 ini, si bocah merasa sungguh-sungguh bersyukur. Bersyukur dengan pilihan dan jalan yang ia lalui. Masuk universitas unggulan di kota pelajar, mengenyam pendidikan sesuai minatnya, dan khususnya… masuk sebuah unit kegiatan mahasiswa penerbitan yang bersejarah besar. Ia merasa, apa yang telah ia jalani sampai saat ini merupakan lanjutan perjalanan dari “bahasa dunia” yang ia pelajari semasa sekolah menengah.
            Walau begitu, suatu kali si anak lelaki bercerita kepada teman sejawatnya bahwa ia sebenarnya ingin tergabung dalam UKM penerbitan “nomor dua”. Kala pertama kali menimbang, ia berpikir, mengapa ada dua kelompok penerbitan? Sama-sama pers, sama-sama menulis, juga sama-sama satu tempat. Lalu, si anak lelaki menyimak produk-produk terbitan keduanya: penuturannya, isinya, dan pengemasannya. Baginya, si nomor dua lebih baik—menarik, menyegarkan, pun menghibur. Lain halnya dengan pers satunya: berat, tajam, mengulas seperti harian umum, walau sajiannya tak lepas dari corak khas anak muda.
            Pada akhirnya, detik menentukannya singgah di unit pers yang digerakkan oleh mahasiswa yang memiliki warna lambang sesuai favoritnya, biru. Baginya, blue is beautiful. Dan, mengecap aktivitas di pers tersebut adalah sebentuk keindahan lain. Menjadi punggawa penggerak pers nomor satu ini mengantarkannya dekat dengan jalan hidupnya. Sebelum menginjak tanah Bulaksumur, dari Bumi Gora (gogo rancah) ia telah berandai menjadi penulis. Menyusuri berbagai tempat di dunia, mengenal dunia baru, dan berkenalan dengan orang-orang terkenal. “Ah, motivasi yang lemah banget, ga sih?” suatu kali ia berpikir ragu. “Dan menyebarkan kabar baik ke seluruh dunia agar orang terbuka mata dan pikirannya,” serunya dalam hati.
            Ternyata eh, ternyata, mimpi itu terjadi. Dengan menunggang kendaraan pers inilah ia berjalan-jalan ke sudut-sudut kota gudeg. Hingga berteman dengan seorang teman yang pernah mewawancarai budayawan Arswendo Atmowiloto di kota yang menjadi tempat penyelenggaraan Festival Topeng Nusantara 2010. Temannya itulah yang ia amati sungguh memiliki ciri tak jauh dari citra aktivis mahasiswa idealis.
            Rekannya itu suka merokok, sesuatu yang ditentang oleh Cantona. Bukan sebatas karena pengalaman buruk di bangku SMA saat akan memerankan tokoh Korep dalam naskah Tengul karya Arifin C. Noer, rokok juga menohok pikiran si anak lelaki pada keberadaan wanita lain yang ia kenal. Kakak kandungnya pernah bercerita bahwa eyang putri, ibunda ayah, meninggal karena juga terpapar asap rokok. Kata kakak, paru-paru nenek rapuh sebab terlalu sering mengisap asap rokok dari kakek. Saat kecil, si anak lelaki pernah mengamati kakek merokok sambil mengenakan sarung dan songkok. Merek rokoknya berangka 76. Setelah tahu bahwa nenek yang terlihat begitu penyabar dan murah senyum itu wafat karena penyakit yang disebabkan rokok, ia sedih mengingat kawannya yang perokok dan berambut gondrong ikal itu. Meski pernah membaca di harian Kompas bahwa nikotin—dan kafein—berpengaruh cukup baik untuk menjaga ingatan di kepala, namun ia tak tega melihat “tuhan sembilan senti” itu mengurangi masa hidup orang yang ia kenal.
            “Ih, ngapain loe peduli sama orang lain?!” si anak lelaki membatin. Beginilah ia, kerap memandang sesuatu dari apa yang dialami sesama. Semacam kepekaan dan empati. Dari mana spirit itu muncul? Barangkali lagu-lagu dan bacaan sastra yang ia terima semasa akil-baliklah yang bergaung dari lubuk hati dan pikirnya. Bahkan salah satu teman perempuannya di kampus adapula yang merokok. Suatu kali, tanpa sengaja Cantona spontan berucap kepada gadis yang berambut sedikit panjang melebihi pundak itu: “Eh, kamu merokok ya. Ih, jadi hilang lho, cantiknya. Bener deh…” Saat itu, yang diajak bicara diam sambil melepaskan gas karbon monoksida ke udara.
Di kemudian hari, sekitar satu setengah tahun setelah mengucapkan kata itu, Cantona mengobrol dengan si gadis dalam satu kelompok belajar. Kali ini si anak perempuan terlihat segar setelah lama tak bersentuhan lagi dengan cerutu. Dengan tanpa rencana, si gadis mengaku dirinya pernah operasi kanker payudara. Dalam hati anak lelaki merasa, apa itu karena tindakan dia merokok di waktu dulu? Atau karena itulah kenalannya itu berhenti merokok? Mungkin saja. Yang pasti, si anak lelaki mencoba mencegah agar asap tembakau jangan banyak mengganggu pernapasannya. Jika tidak, ia mau tak mau siap merasakan sesak dada.
*
bersambung...


[i] Deidre O’Neill atau lebih dikenal sebagai Edda adalah salah satu tokoh dalam novel The Witch of Portobello (Sang Penyihir dari Portobello), karangan Paulo Coelho. Novel ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Maret 2009.