Rabu, 24 April 2019

Novel Baswedan: Teror Terhadap KPK Masih Terus Terjadi

Rabu malam (10/4/2019), Novel Baswedan menyambut sejumlah tamu dari media massa.

Dua tahun silam, 11 April 2017, menjadi pagi kelam buat Novel Baswedan. Seusai menunaikan salat subuh di masjid dekat rumahnya di Jalan Deposito, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, anggota penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu mendapatkan siraman air keras pada wajahnya oleh orang tak dikenal. Kedua matanya terluka. Hingga kini, penglihatannya menjadi terbatas.

Belakangan, di tengah upaya pelemahan KPK yang meningkat, Novel Baswedan juga berbagi kegelisahannya terkait teror-teror yang menghambat kerja KPK dalam memberantas korupsi. Selama sekitar satu jam, saya bersama rekan videografer Alinea.id berbincang dengan Novel Baswedan di ruang tamu rumahnya pada Rabu malam (10/4/2019). Setiap pertanyaan dijawab Novel dengan uraian lengkap disertai kesabaran cukup besar.

Novel mula-mula menampik klaim-klaim sepihak yang kerap menyudutkan kedudukan dirinya sebagai seorang pegawai KPK dan anggota tim penyidik. Salah satunya ialah netralitas dia sebagai penyidik KPK diragukan. Pasalnya, tersebar kabar bahwa kader partai tertentu mengklaim kedudukan Novel sebagai bagian dari kelompok partainya.

Dia pun menduga beberapa demonstrasi di halaman depan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu siang (10/4), terkait isu itu termasuk sebagai rancangan pelemahan kerja komisi antirasuah itu. Meski baginya berlebihan, Novel berupaya selalu sabar menyikapi tudingan miring yang ditujukan kepada dirinya.

“Saya berupaya selalu sabar, tapi kadangkala hal seperti itu keterlaluan,” kata dia.

Dengan tegas dia menjelaskan makna netralitas anggota KPK dari afiliasi dengan partai politik.Kalau anggota KPK berafiliasi dengan partai politik, itu pastinya dia akan menghambat perkara, membocorkan perkara, dan mempermainkan perkara,” ujar Novel.

Novel menekankan pesimismenya terhadap upaya pengusutan kasusnya yang kini tengah ditangani Tim Gabungan Penyelidik di bawah tanggung jawab Kapolri. Dia juga mengingatkan meskipun pengusutan atas kasusnya belum menjadi prioritas pemerintah, perlindungan bagi pegawai KPK lainnya haruslah lebih diperhatikan. Dia mengatakan teror-teror terhadap anggota penyidik dan penyelidik KPK semakin banyak. Ini tentu membahayakan keselamatan pegawai KPK, selain menghambat penangan kasus-kasus korupsi.

“Ini bukan serangan yang hanya ditujukan kepada diri saya. Saya nggak ingin ada orang lain lagi yang menjadi korban seperti saya. Saya juga tidak ingin kalau suatu saat ada orang yang terbunuh di KPK dan kemudian tidak diusut samasekali,” tuturnya.

Dia menyebutkan beberapa contoh tindakan teror terhadap anggota KPK. Selain diculik, kata Novel, beberapa anggota KPK banyak yang diancam dibunuh, rumahnya dipasangi bom rakitan, hingga pemukulan terhadap dua anggota KPK di Hotel Borobudur, awal Februari 2019.

“Kasus-kasus seperti itu banyak sekali yang terjadi. Tidak satupun diungkap. Sampai sekarang teror itu masih terjadi,” kata Novel.


Ancaman pelemahan KPK

Memasuki tahun kedua peristiwa ancaman atas keselamatan dirinya, Novel menyimpan kecemasan bila kasusnya tak jua dituntaskan. Sambil menggambarkan kondisi mutakhir di tubuh KPK berupa penyampaian petisi 114 penyidik dan penyelidik KPK kepada pimpinan KPK pada akhir Maret lalu, Novel menyebutkan, teror terhadap anggota KPK terus meningkat dan menjadi-jadi.

Soal kabar burung penggunaan uang pribadi penyidik karena khawatir rencana operasi tangkap tangan bocor ke publik, misalnya, Novel mengatakan, hal itu tidak benar. Uang pribadi anggota KPK yang digunakan untuk keperluan dinas, kata Novel, akan diganti melalui sistem re-imburse.

“Itu suatu hal yang lazim, biasa,” ujarnya.

Alih-alih dia menegaskan berkembangnya ancaman-ancaman kebocoran informasi yang dapat menggagalkan operasi penangkapan koruptor. Seperti dirincikan dalam petisi 114 penyidik dan penyelidik KPK itu, pegawai KPK mengharapkan sikap aktif pimpinan KPK terkait lima poin keberatan yang dapat mengganggu profesionalitas KPK. Lima hal ini meliputi hambatan penanganan perkara di tingkat kedeputian penindakan, tingkat kebocoran yang tinggi dalam penyelidikan dan penyidikan korupsi, perlakuan khusus kepada saksi, kesulitan penggeledahan dan pencekalan, dan pembiaran dugaan pelanggaran berat.

Terkait masalah yang menjadi keberatan pegawai KPK tersebut, Novel menyimpulkan ada pola tindakan perlawanan terhadap KPK.

“Setiap kali kami melakukan aksi, selalu ada orang tertentu, kelompok-kelompok tidak jelas, melakukan upaya perlawanan, pembusukan, penghinaan terhadap KPK,” kata Novel.


Menantikan ketegasan Presiden

Meski telah berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo, Novel menyayangkan tim pencari fakta yang independen atas kasus yang dialaminya belum dibentuk hingga kini. Permintaan itu diajukan Novel kepada Presiden sejak satu setengah tahun lalu.


Seiring berjalannya waktu, Novel mengungkapkan, dirinya diminta oleh Presiden supaya menahan diri untuk membicarakan soal pengusutan kasusnya. Hal ini membuat Novel tak habis pikir, terlebih, kata dia, permintaan itu disampaikan pada masa mendekati pemilu 17 April 2019. Novel berpendapat, justru masa kampanye jelang pemungutan suara menjadi momentum untuk menunjukkan komitmen para calon pemimpin negara dalam mengungkap kasus itu.


“Beliau (Presiden Joko Widodo) berpesan diam, artinya beliau sebagai presiden menurut saya tidak cukup responsif. Kalau sekarang keadaannya sudah separah ini, lalu saya menuntut komitmen beliau, salahkah saya?” tutur Novel.


Novel pun mencium gelagat tak enak dari Tim Gabungan Penyelidikan Kasus Novel Baswedan yang dibentuk pada 8 Januari 2019 melalui Surat Keputusan Kapolri. Pasalnya, sejak awal pengumpulan informasi untuk penyidikan kasus penyiraman air keras itu, diketahui ada sejumlah penghilangan barang bukti berupa sidik jari di gelas dan botol wadah air keras, juga rekaman kamera pengintai (CCTV) yang terpasang di jalur yang dilewati pelaku penyiraman.


“Saksi-saksi yang lainnya terintimidasi, malah juga trauma,” ucapnya, menambahkan.

Lebih jauh, penghilangan barang bukti itu menjadi catatan yang mesti diselidiki oleh tim pencari fakta karena telah menimbulkan penyalahgunaan proses dalam pemeriksaan kasus (abuse of process). Sebab bukti-bukti itu merupakan faktor utama dari pemeriksaan atas tempat kejadian perkara sebagai tahap awal dalam penyelidikan.

Maka dari itu, kata Novel, tim gabungan penyelidikan harus bekerja berdasarkan rekomendasi utuh dan menyeluruh, tanpa pilih-pilih. Catatan Komnas HAM yang menjadi dasar kerja penyelidikan tim tersebut, menurut Novel, terkesan “menyortir” sejumlah rekomendasi saja.


“Rekomendasi dari Komnas HAM hanya dipilih-pilih saja mana yang menurut mereka baik atau bisa mereka lakukan, atau bisa dipersepsi,” katanya, sambil menyebut abuse of process itu berpotensi mengaburkan penemuan fakta kasus itu. Kekhawatiran Novel itu diperkuat dengan keikutsertaan penyelidik-penyelidik yang telah melakukan penyalahgunaan proses dalam tim gabungan penyelidik.

“Jangan-jangan (tim) ini malah punya maksud untuk menghapus jejak secara sempurna,” kata Novel, setengah yakin.

Kesangsian Novel itu tak muncul tiba-tiba. Dia mengkritik latar belakang pemilihan anggota tim gabungan penyelidik yang dilakukan tertutup. Hal itu, menurutnya, menyiratkan maksud tersembunyi dari pihak Polri. Anggota Tim Gabungan Penyelidik Kasus Novel Baswedan yang berjumlah 65 orang itu umumnya dipilih dari lingkungan staf khusus atau staf ahli yang ditunjuk oleh Kapolri, selain anggota Komisi Kepolisian Nasional.


“Kalau memang Kapolri ingin membentuk tim penyidik, atau tim gabungan yang beneran, kenapa nggak bikin tim dari anggota masyarakat yang diyakini oleh publik?” kata Novel.



Suasana kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta, Rabu sore (10/4/2019).


Menangkap penjahat itu menyenangkan

Novel Baswedan sebetulnya punya cita-cita berbeda dengan jalan hidup yang dia lakoni sampai sekarang. Lelaki yang pada 22 Juni 2019 akan menginjak usia 42 tahun ini ternyata pernah berkeinginan menjadi arsitek atau sarjana teknik sipil. Bayangan itu dilatarbelakangi usahanya di bidang material saat duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah atas di Semarang, Jawa Tengah.


Novel menuturkan, saat itu kondisi perekonomian orangtua dan keluarganya sedang sulit. Dengan bekerja sebagai wiraswasta, Novel menjadi penyangga kebutuhan biaya sekolah adik-adiknya. 

“Dengan usaha pembuatan material setengah jadi, membuat saya pengin jadi arsitek atau teknik sipil. Kalau di sekolah saya unggul di pelajaran matematika dan fisika,” katanya.

Namun, jalan hidup mengarahkannya masuk ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Kala itu, AKABRI masih mencakup juga sekolah untuk calon polisi. Selepas SMA, dia mengiyakan ajakan teman-teman satu sekolahnya untuk mendaftar bersama-sama ke AKABRI.


“Karena sekolahnya nggak pakai biaya,” kata dia.


Novel lalu memilih matra Polisi saat mengenyam pendidikan di AKABRI.


“Ya, namanya anak-anak, kita berpikir bagaimana kita bisa punya kesempatan untuk bisa bekerja yang tugasnya adalah pelayanan masyarakat. ‘Kan menyenangkan menangkap penjahat itu,” ujarnya sambil tersenyum.


Setelah lulus dari AKABRI pada 1998, Novel ditugaskan di Bengkulu pada 1999–2005. Di sana dia sempat menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu pada 2004. “Saya pernah juga di Aceh setahun, pada 2000, untuk mendukung pemulihan keamanan,” ujar Novel.


Lingkungan kerja semasa bertugas sebagai anggota kepolisian, kata Novel, membentuk mental dan kepribadiannya yang berani membela kepentingan orang banyak. Baginya, nominal honor polisi kala itu tidak begitu besar, tetapi dibebani tanggung jawab cukup banyak. Kondisi terbatas semacam itulah yang mendidiknya untuk bersikap peduli dan bersahaja.


“Bagaimana kita bisa hidup dengan sederhana, bagaimana kita peduli dengan kepentingan orang lain, bagaimana kemudian kita bisa mau berjuang untuk kepentingan orang banyak. Itulah yang kemudian mendidik saya memilih jalan-jalan seperti itu, sampai sekarang,” tuturnya.


Novel mengakui memilih bertahan mengabdi sebagai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia mengungkapkan, dia selalu terpanggil untuk mengabdi kepentingan bangsa dan negara bersama KPK, meskipun berulang kali mendapat tawaran bekerja di perusahaan lain.


“Tahun 2016 saya ditawari jadi komisaris salah satu BUMN. Bisa saja saya terima. Tapi saya tolak. Kenapa? Demi bangsa dan negara,” kata Novel yang resmi menjadi penyidik KPK sejak 2014.


Ancaman keselamatan yang dia alami dua tahun lalu pun tak menggerus semangatnya memperjuangkan pemberantasan korupsi. Dia bersyukur atas dukungan publik yang hingga kini terus dilayangkan kepadanya, seperti melalui petisi-petisi daring. Dia menegaskan, korupsi adalah salah satu masalah yang besar karena dapat menghambat kesejahteraan masyarakat atapun menimbulkan kerusakan lingkungan.


“Saya tahu bahwa memberantas korupsi itu risikonya besar. Tetapi semangat itu mesti harus terus dijaga. Dukungan masyarakat adalah salah satu bentuk dalam rangka mendorong kami terus bersemangat,” ujarnya.[]

Salah satu kerumunan warga yang berunjuk rasa menyampaikan tuntutan netralitas pegawai KPK, di depan Gedung Merah Putih, Rabu (10/4/2019)


(Versi lain dan lebih ringkas silakan klik: https://www.alinea.id/nasional/2-tahun-kasus-novel-baswedan-saya-menagih-komitmen-presiden-b1Xev9iZh )