Senin, 08 Agustus 2016

Musikimia - Redam

Kalau kamu kepengen marah, jangan lupa istighfar.
Kalau kamu pengen ketawa, ingat saja waktu kamu pernah diketawain parah sama orang lain.
Kalau kamu mau yang ini, ingat juga dong andai kamu malah atau justru dapat yang itu.

Ini, itu. Diredam dulu. "Tahan emosimu, jangan kau ditaklukkan dengan nafsumu sendiri."

Kebanyakan ceramah ya? Sorry, saya juga malah jadi mules, nih. Okay, just listen this beautiful song.

Rabu, 03 Agustus 2016

LUKA

Masing-masing kita memiliki luka. Ada yang tertancap lama, terasa sedari lama, dan mengenai bagian-bagian terdalam diri kita. Tak bisa dimungkiri, luka itu mengondisikan kepribadian dan sikap-sikap kita yang sulit untuk diarahkan—terutama bila luka itu nyaris tak disadari sebagai luka.

Adalah sebuah kebenaran untuk menerima kondisi riil kita daripada mengutuk dan menyangkal ketidakpenuhan diri. Kita lupa, sadari bahwa kita lupa. Kita luka, sikapilah dengan sebuah karunia yang takkan kembali: pengalaman pahit. Ya, aku takkan mau menerima kepahitan lagi. Dan selayaknya kepahitan itu berkembang menjadi sebuah hal manis di kemudian hari.

Dan semua akan berubah pada waktu yang tepat. Baik di waktu yang tak terlambat, alih-alih menghasilkan buah kebajikan yang nikmat. Selamat.

Sabtu, 16 Juli 2016

BUKAN (P)UJIAN



ZULKIFLI akhirnya menyerah. Setelah berkutat dengan berbagai peluang dan perjuangan mengumpulkan informasi dan merangkainya, ia tak jua berhasil menyimpulkan. Sebagian besar langkahnya dalam menghasilkan tulisan berita kerap terhalang berbagai masalah dan ketentuan. Isu politik arus kiri, narasumber yang kabur karena tersangkut kasus korupsi, hingga soal remeh-temeh: surat izin liputan yang tertahan-tahan di meja administrasi. Alhasil, perang belum usai, tapi Zulkifli sudah menghadapi medan yang tak ramah bagi jerih letihnya sebagai wartawan baru.
Redaktur di kantor berita tempatnya bekerja menolak tegas hasil tulisan berita yang ia tulis. Tak segan-segan, naskah feature berita menyoal kematian Ketua Komisi Pemilihan Umum itu dicoret-coret oleh atasannya.
“Tulisan apa ini, Zul?! Hmm... miskin sekali pengungkapan fakta-faktanya,” Tara Destiana, redaktur desk politik, menyanggah isi artikel Zulkifli.
            Hening. Zulkifli bersiap mendengar perkataan lain yang akan dilontarkan Tara. Jemari Tara membolak-balik lembaran artikel yang disodorkan Zulkifli di mejanya sejak pagi tadi. Bayangkan, melapor hasil berita politik untuk edisi khusus saja Zulkifli telah menunggu hampir delapan jam. Maklum saja, redakturnya itu terbiasa hadir di kantor menjelang jam istirahat sore. Bagi Zulkifli, hal itu suatu pengecualian yang terlalu longgar hingga mengganggu ritme kerja redaksi. Paling tidak, butuh dua kali masa puasa Ramadhan untuk mengubah kebiasaan redaktur ini. Zulkifli membatin menahan kesal.
Namun setelah satu menit dua menit menunggu, Zulkifli mulai heran. Tara diam tak berkata apa-apa. Ia masih asyik-masyuk dengan untaian kata-kata dalam berita yang disusun Zulkifli. Bibir Tara sedikit mengembang, lalu menguncup kembali. Zulkifli pun tersenyum kecil, lantas mengendurkan ketegangan di lehernya. Sembari berharap, ia mengira tak akan ada perkataan pedas dari redakturnya yang sesekali membuatnya senang karena biru gincu yang menggantung di bibirnya itu.
Dengan pulpen merah di tangan, Tara tak lupa menandai sejumlah baris kalimat. Ia menggumam pelan lalu membalikkan kertas ke lembar berikutnya. Memang, membaca artikel sepanjang sebelas halaman itu cukup menguji kesabaran. Terlebih bagi Zulkifli yang menganggitnya.
Tiba-tiba Zulkifli disergap ingatan saat ia memberitakan isu pro-kontra vonis hukuman mati terpidana kasus narkoba. Kala itu, tiga bulan yang lalu, pemakaian satu-dua pilihan kata yang keliru berhasil membuatnya jadi bulan-bulanan omelan Tara. Sedikit cemas, Zulkifli kemudian menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Ia betulkan posisi duduknya. Rasa ingin buang air kecil malah mendatanginya. Zulkifli ingin bangkit dari kursinya, undur diri sebentar dari ruangan redaktur desk politik itu.
Dinginnya ruangan karena mesin pendingin berkelahi dengan panas perasaannya yang canggung. Tapi… mata itu! Pandangan mata Tara! Redaktur itu tiba-tiba memicing. Kaki Zulkifli pun bergetar menahan gerak tubuhnya. Zulkifli urung berdiri. Tara mengalihkan pandang.
“Hmm... Zul..,” Tara menghela napas panjang. Zulkifli diam. “Kamu kenapa, Zul?”
“Eh.. ya, Mbak Ta-ra...” Zulkifli terbata. Wajahnya memerah. Kedua tangannya memegang rapat tempurung lututnya.
“Tulisanmu lebih baik. Nah, cek lagi. Catatan-catatan saya tolong kamu perhatikan.” Senyum Tara tipis. Zulkifli sudah kebelet pipis.
“Oh? Makasih, Mbak Tara.” Setengah terkejut, Zulkifli buru-buru menerima naskah yang dikembalikan kepadanya. Membalikkan badan, ia lalu berlari keluar cepat-cepat.
“Zul, tunggu... Hei, Zuuul...!!”
Mata Tara membelalak. Bruuk. Pintu terbanting pelan.
Di kamar mandi, ritsleting celana Zulkifli nyaris dol. Betapa tidak, ia tergesa-gesa menariknya, hingga lalu kepala zakarnya mencuat. Cess…. Air seni keluar, disusul air dalam urinair yang menyiram. Sedikit bergidik, pinggul Zulkifli menggoyang singkat. Napasnya tersengal lega. “Ah…”
“Tulisan saya lebih baik? Maksudnya?” Zulkifli bertanya pada dirinya sendiri. Ia skeptis—sebagaimana prinsip kerja kerja wartawan—terhadap ucapan Tara di ruang kerjanya tadi. Ia hendak memastikan apakah redaktur yang punya dua anak kembar laki-laki itu memberikan pujian atau sekadar ujian. Banyak rekannya sesama reporter yang terkecoh oleh apresiasi yang disampaikan Tara, alih-alih itu menguji kebertahanan mereka untuk melaksanakan tanggung jawab selanjutnya yang lebih besar.
Dibacanya perlahan-lahan lembar demi lembar karya tulisnya yang penuh coreng-moreng merah cerah itu. Andai rapor sekolah, hampir pasti ia akan tinggal kelas dan menanggung malu setahun. Ini seperti pertaruhan nasib buatnya: nilai baik dan dipromosikan pada desk lain, atau berkubang dalam desk yang sama. Walau pasrah dengan kebijakan redaksi, sesungguhnya ia ingin mengerjakan liputan bidang yang lain. Gumamnya: Mikir politik bisa bikin hidup tambah pelik. Politik asu!
Ia simak dalam hati catatan tertulis yang diimbuhi Tara. Biasanya kamu teliti. Yang ini kamu tidak teliti. Kamu luar biasa. “Hah?” Zulkfili tersindir. “Terang saja saya luput, waktunya mepet,” Zulkifli ingin membela diri.
Di lembar terakhir feature itu, ia membaca tulisan tangan Tara: Sepertinya KAMU OKE di desk POLITIK. Zulkifli menelan ludah. Kepalanya bersandar pada dinding kamar mandi.

Rabu, 22 Juni 2016

melukis batas, batas melukis




Setiap tujuan dan konteks punya cara perlakuannya masing-masing.




Setiap tanggung jawab tidak akan ada yang dilalaikan dan diabaikan bila kita tahu apa tugas kita. Setidaknya, bila kita tahu apa yang perlu dilakukan dalam suatu momen dan kondisi tertentu. Ada persoalan, tanganilah, selesaikanlah. Jika belum memperoleh apa yang menjadi keinginanmu, terus mencarilah dan kembangkan usaha untuk mendapatkannya sebagai pembelajaran untukmu. Tak salah untuk beralih pada pengganti apa yang kamu harapkan menjadi milikmu, asalkan kamu terus aktif untuk bergerak. Bergerak bukan hanya didorong oleh apa yang kamu rasakan. Bukan perasaan saja yang menggerakanmu. Selain karena sebuah perasaan, kamu perlu bergerak dengan didasari pikiran atau pengetahuan dan jiwamu.

Tapi, kamu juga bisa menerima dan menyetujui kebalikan dari premis-premis itu. Seperti juga kita dapat melalaikan dan menyisihkan sebuah-dua buah kegetiran yang melanda sebagian kebahagiaan kita. Namun, di antara dua hal, selalu ada garis pembatas yang memisahkan. Lalu, apa yang dimaksud dengan batas?

Untuk menjawabnya, saya bercerita. Di siang hingga sore pada Jumat lalu, 10 Juni 2016, saya bersama teman-teman sekantor melukisi dinding dalam kantor. Dengan pola doodle yang unik dan menggambarkan sebuah perjalanan zaman dan zaman yang bergerak dalam kota buku cetak (“Book City”), kami bersenang-senang. Bertajuk “Ngabural” (Ngabuburit Sambil Mural) kami berjalan-jalan sepanjang dinding, menulisi dan melukisi dengan warna-warni sambil meledek seorang-dua orang teman dari yang lain. Tinta hitam untuk outline atau kerangka dan kata-kata kutipan, sedang putih dan kuning untuk beberapa bagian lain dalam gambar.

Namanya juga orang yang suka membaca dan menganalisa, insting saya tercelik saat mewarnai dinding itu dengan cat putih. Saya memilih mewarnai bagian yang harus diberi putih. Sementara teman-teman lain lebih dulu memilih tinta hitam untuk membuat kerangka dasar gambar, tanpa alasan yang cukup kuat saya tercetus saja memilih putih. Bukan kuning. Lalu, saya mewarnai DENGAN HATI GEMBIRA. Sebagian waktu melukis saya isi dengan kekhusyukan—yang selalu berdampingan dengan keceriwisan teman-teman yang bercanda dan saling menyindir.




Dengan tak jemu-jemu, saya warnai setiap bagian yang harus diwarnai putih sesuai gambar foto petunjuk yang tertempel pada sisi dinding lain. Pada dinding yang akan diwarnai, outline gambar yang sudah dibikin oleh teman-teman tinggal saya isi dengan putih. Teman lainnya mengisi bagian lain yang harus diisi kuning.

Eh, ternyata kerangka bergaris hitam itu juga adalah sebuah warna yang memberi fungsi kuat ketimbang hanya dipandang sebagai batas dan dasar dari bentuk obyek-obyek. Ya, memang batas adalah batas. Ia membatasi warna lain agar semestinya tak keluar melebihi garis tepi. Tapi si hitam itu berperan pula yang tak sesedikit itu. Meskipun hadir dalam kedudukan yang kecil, sesungguhnya ia besar dalam memberi andil.

Nah, ketika ada bagian lowong cukup besar yang harus diwarnai putih dengan kuas besar, saya kelabakan saat akan mewarnai celah-celah kecil. Dengan sedikit memaksa, saya warnai celah kecil itu dengan kuas yang sama namun cara memperlakukan kuasnya yang agak berbeda. Berbeda dengan sebelumnya, membujurkan, kali ini saya memoles celah kecil dengan cara melintangkan sapu kuas. Maka, ada bagian yang bisa dipoles cukup dengan sedikit cat. Tapi karena terlalu asyik ingin menyelesaikan dan mewarnai semua bagian termasuk celah-celah kecil dengan tinta putih, saya memberi warna putih hingga menindih garis batas hitam, pun keluar dari batas garis hitam itu. Hasilnya jadi tidak rapi.

Alhasil, batas hitam itu harus ditegaskan kembali agar bentuk tampilan dan isi obyek-obyek itu dapat terlihat jelas dan baik. Cara mewarnai celah-celah kecil warna putih pun diubah: memakai kuas yang jauh lebih kecil.

Dari sini, saya belajar menyoal kreativitas. Apa yang kita buat dengan satu dorongan kebebasan, kerap dapat melampaui batas. Kita lupa pada tujuan dan manfaat penting batas, pada ketentuan atau aturan, meski ada kehendak dan maksud baik yang ingin kita capai dari kebebasan itu. Jalan keluarnya ialah, bentuk dan kukuhkanlah kembali batas itu dalam sebuah kesepakatan agar memberi kesepahaman—meski tak mesti kesalingsetujuan—antara dua hal, dua bagian, atau juga dua pihak/orang bila menyangkut sebuah jalinan relasi. 

Setelah masing-masing bagian—warna putih dan kerangka hitam, pihak satu dan pihak lain—sama-sama hadir dan tampil dengan cukup tegas (merasa nyaman dan aman dengan diri masing-masing), keduanya sungguh menyatu dalam keutuhan dan kebersamaan. Mereka menerima diri pihak lain selaras dengan menyadari keberadaan diri masing-masing.