Sabtu, 16 Juli 2016

BUKAN (P)UJIAN



ZULKIFLI akhirnya menyerah. Setelah berkutat dengan berbagai peluang dan perjuangan mengumpulkan informasi dan merangkainya, ia tak jua berhasil menyimpulkan. Sebagian besar langkahnya dalam menghasilkan tulisan berita kerap terhalang berbagai masalah dan ketentuan. Isu politik arus kiri, narasumber yang kabur karena tersangkut kasus korupsi, hingga soal remeh-temeh: surat izin liputan yang tertahan-tahan di meja administrasi. Alhasil, perang belum usai, tapi Zulkifli sudah menghadapi medan yang tak ramah bagi jerih letihnya sebagai wartawan baru.
Redaktur di kantor berita tempatnya bekerja menolak tegas hasil tulisan berita yang ia tulis. Tak segan-segan, naskah feature berita menyoal kematian Ketua Komisi Pemilihan Umum itu dicoret-coret oleh atasannya.
“Tulisan apa ini, Zul?! Hmm... miskin sekali pengungkapan fakta-faktanya,” Tara Destiana, redaktur desk politik, menyanggah isi artikel Zulkifli.
            Hening. Zulkifli bersiap mendengar perkataan lain yang akan dilontarkan Tara. Jemari Tara membolak-balik lembaran artikel yang disodorkan Zulkifli di mejanya sejak pagi tadi. Bayangkan, melapor hasil berita politik untuk edisi khusus saja Zulkifli telah menunggu hampir delapan jam. Maklum saja, redakturnya itu terbiasa hadir di kantor menjelang jam istirahat sore. Bagi Zulkifli, hal itu suatu pengecualian yang terlalu longgar hingga mengganggu ritme kerja redaksi. Paling tidak, butuh dua kali masa puasa Ramadhan untuk mengubah kebiasaan redaktur ini. Zulkifli membatin menahan kesal.
Namun setelah satu menit dua menit menunggu, Zulkifli mulai heran. Tara diam tak berkata apa-apa. Ia masih asyik-masyuk dengan untaian kata-kata dalam berita yang disusun Zulkifli. Bibir Tara sedikit mengembang, lalu menguncup kembali. Zulkifli pun tersenyum kecil, lantas mengendurkan ketegangan di lehernya. Sembari berharap, ia mengira tak akan ada perkataan pedas dari redakturnya yang sesekali membuatnya senang karena biru gincu yang menggantung di bibirnya itu.
Dengan pulpen merah di tangan, Tara tak lupa menandai sejumlah baris kalimat. Ia menggumam pelan lalu membalikkan kertas ke lembar berikutnya. Memang, membaca artikel sepanjang sebelas halaman itu cukup menguji kesabaran. Terlebih bagi Zulkifli yang menganggitnya.
Tiba-tiba Zulkifli disergap ingatan saat ia memberitakan isu pro-kontra vonis hukuman mati terpidana kasus narkoba. Kala itu, tiga bulan yang lalu, pemakaian satu-dua pilihan kata yang keliru berhasil membuatnya jadi bulan-bulanan omelan Tara. Sedikit cemas, Zulkifli kemudian menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Ia betulkan posisi duduknya. Rasa ingin buang air kecil malah mendatanginya. Zulkifli ingin bangkit dari kursinya, undur diri sebentar dari ruangan redaktur desk politik itu.
Dinginnya ruangan karena mesin pendingin berkelahi dengan panas perasaannya yang canggung. Tapi… mata itu! Pandangan mata Tara! Redaktur itu tiba-tiba memicing. Kaki Zulkifli pun bergetar menahan gerak tubuhnya. Zulkifli urung berdiri. Tara mengalihkan pandang.
“Hmm... Zul..,” Tara menghela napas panjang. Zulkifli diam. “Kamu kenapa, Zul?”
“Eh.. ya, Mbak Ta-ra...” Zulkifli terbata. Wajahnya memerah. Kedua tangannya memegang rapat tempurung lututnya.
“Tulisanmu lebih baik. Nah, cek lagi. Catatan-catatan saya tolong kamu perhatikan.” Senyum Tara tipis. Zulkifli sudah kebelet pipis.
“Oh? Makasih, Mbak Tara.” Setengah terkejut, Zulkifli buru-buru menerima naskah yang dikembalikan kepadanya. Membalikkan badan, ia lalu berlari keluar cepat-cepat.
“Zul, tunggu... Hei, Zuuul...!!”
Mata Tara membelalak. Bruuk. Pintu terbanting pelan.
Di kamar mandi, ritsleting celana Zulkifli nyaris dol. Betapa tidak, ia tergesa-gesa menariknya, hingga lalu kepala zakarnya mencuat. Cess…. Air seni keluar, disusul air dalam urinair yang menyiram. Sedikit bergidik, pinggul Zulkifli menggoyang singkat. Napasnya tersengal lega. “Ah…”
“Tulisan saya lebih baik? Maksudnya?” Zulkifli bertanya pada dirinya sendiri. Ia skeptis—sebagaimana prinsip kerja kerja wartawan—terhadap ucapan Tara di ruang kerjanya tadi. Ia hendak memastikan apakah redaktur yang punya dua anak kembar laki-laki itu memberikan pujian atau sekadar ujian. Banyak rekannya sesama reporter yang terkecoh oleh apresiasi yang disampaikan Tara, alih-alih itu menguji kebertahanan mereka untuk melaksanakan tanggung jawab selanjutnya yang lebih besar.
Dibacanya perlahan-lahan lembar demi lembar karya tulisnya yang penuh coreng-moreng merah cerah itu. Andai rapor sekolah, hampir pasti ia akan tinggal kelas dan menanggung malu setahun. Ini seperti pertaruhan nasib buatnya: nilai baik dan dipromosikan pada desk lain, atau berkubang dalam desk yang sama. Walau pasrah dengan kebijakan redaksi, sesungguhnya ia ingin mengerjakan liputan bidang yang lain. Gumamnya: Mikir politik bisa bikin hidup tambah pelik. Politik asu!
Ia simak dalam hati catatan tertulis yang diimbuhi Tara. Biasanya kamu teliti. Yang ini kamu tidak teliti. Kamu luar biasa. “Hah?” Zulkfili tersindir. “Terang saja saya luput, waktunya mepet,” Zulkifli ingin membela diri.
Di lembar terakhir feature itu, ia membaca tulisan tangan Tara: Sepertinya KAMU OKE di desk POLITIK. Zulkifli menelan ludah. Kepalanya bersandar pada dinding kamar mandi.