Selasa, 21 Januari 2020

Mandegnya Kritik Film Indonesia?

Adam Driver sebagai Francisco Garupe dalam film Silence (2016)/ Twitter.com


PADA SEBUAH IBADAT Kristiani, seorang pastur berkhotbah dengan mencuplik sepenggal kisah film Silence (2016). Film yang disutradarai Martin Scorsese itu bercerita tentang dua misionaris Portugal yang diutus ke Jepang pada abad ke-17, yaitu frater SebastiĆ£o Rodrigues (diperankan Andrew Garfield) dan Francisco Garupe (Adam Driver). Perutusan itu juga dimotivasi keinginan bertemu guru mereka, Ferreira (Liam Neeson), yang berhasil dalam penginjilan di sana pada masa silam.

Kenyataannya, penolakan keras kekaisaran Jepang terhadap upaya kristenisasi membuat Rodrigues dan Garupe tercenung. Kepercayaan Kristen dianggap akan mengganggu stabilitas pemerintahan. Para Kirishitan (penganut Kristen secara tersembunyi) ditangkapi dan dihukum gantung dengan kepala di bawah, atau ditenggelamkan ke laut. Mereka pun diperingatkan untuk memberitahukan persembunyian warga dan misionaris Kristen dengan imbalan uang.

Lambat laun, tekanan seorang utusan kekaisaran Jepang melemahkan hati Rodrigues. Ia menjadi rela menyangkal imannya demi membebaskan nyawa orang-orang Kristen setempat dari hukuman mati.

Menirukan ucapan Rodrigues sesaat sebelum menyangkal, pastur tadi berkata: “Yesus, engkau telah datang ke dunia untuk menanggung dosa orang-orang yang menginjakmu. Izinkanlah saya menginjakmu sekali lagi untuk menyelamatkan semua orang di sini.” Dengan menuruti perintah untuk menginjak logam berukir wajah Yesus, Rodrigues pun menyangkal imannya.
*
Dalam esai di harian Kompas, Sabtu (20/10/2018), Nurman Hakim menyatakan, perkembangan kritik film sangat lambat dibandingkan maraknya jumlah dan kualitas film Indonesia belakangan. Ini, menurut Nurman, isu yang perlu diperhatikan dalam ekosistem perfilman. Bercermin dari sejarah keberadaan kritik film di Barat, ia memandang pentingnya peran kritikus-kritikus film untuk memberi ulasan film yang bermutu demi turut membangun ekosistem perfilman.

Penuturan itu memang benar. Tanpa pencatatan oleh kritikus film, akan sulit diketahui bagaimana dinamika karya film-film Tanah Air; misalnya apa isu sosial cerita yang diangkat, teknologi dan biaya produksi film, hingga jumlah penonton dan kualitas permainan aktor-aktor. Dari kritik-kritik film yang rutinlah kita akan mudah menyusun satu demi satu bentang masalah untuk merefleksikan perjalanan perfilman kita. Harapannya, evaluasi itu memacu perkembangan kuantitas dan kualitas karya film, juga eksosistem penyangganya.

Membaca Kritik Film
Kritikus film dari The New Yorker Pauline Kael, pernah berkata, “Dalam kesenian satu-satunya sumber informasi yang bebas hanyalah kritik. Lainnya itu iklan.” (JB Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia, 2004: 34). Pernyataan itu menyiratkan makna bahwa kritik film berperan vital sebagai media pengetahuan, terutama bagi penikmat film. Sekurangnya ada dua fungsi kritikus bagi pembuat film. Lewat penafsirannya, kritikus membantu menyampaikan gagasan si kreator film kepada penonton. Kritikus juga memberikan evaluasi atas karya film sineas.

Pada dasarnya, keberadaan kritik film terkait erat dengan perkembangan karya film. Seperti diungkapkan Salim Said dalam buku Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar (1991), perkembangan kritik sangat ditentukan oleh karya-karya film sebagai obyek yang dikaji. Dengan menempatkan film sebagaimana karya seni lainnya, seperti teater, Said memandang bahwa kemajuan kritik sangat bergantung pada kondisi dan mutu kesenian suatu bangsa.

“Hanya di negeri dengan penulisan teater yang majulah bisa muncul seorang Martin Esslin. Sebab apakah yang akan menjadi objek tulisannya jika di sana tidak ada orang-orang seperti (Eugene) Ionesco dan (Samuel) Becket.” (Said, 1991: 16). Terhadap film yang berkualitaslah para kritikus film berkesempatan menumbuhkan daya kritis dan penilaiannya.

Maka dari itu, untuk menilai kualitas kritik film Indonesia setidaknya perlu diamati dua aspek. Pertama, bagaimana pandangan umum masyarakat terhadap (karya) film. Selain itu, bagaimana kualitas film-film Indonesia yang merangsang diskusi publik—termasuk kritikus film.

Film: Hiburan atau Pembelajaran?

Pada malam penutupan Festival Film Madani di Jakarta, Minggu (21/10/2018), seorang penonton bertanya, mengapa film-film Garin Nugroho seringkali cuma diminati sedikit penonton. Selama ini, Garin dikenal sebagai sutradara film-film berkualitas, antara lain Cinta dalam Sepotong Roti (1990), Daun di Atas Bantal (1997), Mata Tertutup (2011), dan Nyai (2016).

Garin merespons dengan berpendapat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah kalangan yang hidup di bawah doktrinasi dan masyarakat “dunia bermain”. Masyarakat penonton yang terdoktrinasi aturan undang-undang tercermin dari konten sinetron yang marak menampilkan wajah karakter penegak hukum atau agamawan sebagai pihak yang selalu benar. Sementara itu, di tingkatan masyarakat “dunia bermain”, menonton film dianggap sekadar kebutuhan relaksasi atau untuk memperoleh hiburan saja.

Akibatnya, kata Garin, film cenderung masih dipandang sebagai hiburan semata yang dapat dengan segera dilupakan. “Orang-orang hanya menonton. Setelah film selesai, mereka lupa isi pesan film. Nonton, selesai, lupa. Nonton, selesai, lupa,” ujarnya.

Dari gambaran yang dituturkan Garin itu, saya pun terbetik sadar: karena film masih dipandang sebatas hiburan, belum banyak masyarakat kita yang dengan getol bahkan tekun mengapresiasi karya film. Fungsi film sebagai media pembelajaran juga belum diyakini penuh.

Terlebih kritik film. Ia masih jauh dari misi mendukung kemajuan ekosistem perfilman Tanah Air. Hal ini turut membuat kritik film yang beredar di media massa atau daring kebanyakan hanya berkutat membahas unsur-unsur formal film, seperti sinopsis cerita, siapa sutradara, para aktor yang berperan, dan durasi film. Film jarang diamati secara mendalam dengan paradigma lain, misalnya film sebagai media yang melibatkan proses komunikasi, kritik dan kontrol sosial, atau media edukasi.

Mandeg Regenerasi

Saya cukup tergugah dengan pastur yang membagikan inti cerita film Silence (yang saya terakan di awal tulisan) untuk menjelaskan bahwa ajaran Gereja Katolik sesungguhnya tak mengenal sebutan murtad, melainkan “menjauh dari Tuhan”. Meskipun seorang berpindah keyakinan, kata Bapa Pastur, hal itu hanyalah perubahan identitas agama saja. Bila nanti ia hendak kembali ke dalam Gereja, tidak memerlukan pembaptisan lagi. Di pengujung film digambarkan, jasad Rodrigues terbujur kaku dalam posisi duduk mendekap salib kecil. Iman yang ia peluk pertama kali akan hidup abadi hingga akhir hayat.

Andrew Garfield sebagai Sebastiao Rodrigues; Silence (2016)/Twitter.com

Hanya dengan kepekaan melihat nilai penting sebuah film untuk pencerahan atau pembelajaran seperti itulah, saya rasa, dapat menumbuhkan kritik-kritik film bermutu.

Di samping itu, sharing ilmu dan studi tentang kritik film juga patut disebar-semaikan untuk mendorong bertumbuhnya kritikus film baru. Ini sebuah prasyarat untuk memacu regenerasi kritikus seni di negeri ini yang sudah sangat mandeg atau sedikit jumlahnya. Sesudah Seno Gumira Ajidarma atau Leila S. Chudori, siapa lagi? Selain Eric Sasono, Totot Indrarto, dan Hikmat Darmawan, kita membutuhkan kapabilitas dari kritikus baru yang relevan dalam mengikuti perkembangan film nasional yang terus bertumbuh.
 
Silence (2016)/Twitter.com

Mendamba kritik-kritik film yang bermutu untuk dapat mengiringi geliat produksi film tentu bukan pekerjaan mudah. Namun, sekali lagi, kritik film bermutu sangat penting demi mengatur pergerakan roda perfilman kita. Ibarat roda sepeda yang digerakkan lewat rantai yang terhubung dengan pedal, kritik filmlah yang menjaga, mengawasi, dan memberi masukan bagi perjalanan perfilman. Bravo, film Indonesia!