Jumat, 26 November 2021

Fajrin, Lelaki Bertopi yang Gemar Memasak

 

(Dok. Robertus Roni Setiawan)



PEKAN PERTAMA NOVEMBER 2021. Perjalanan lima hari penuh melaksanakan tugas dinas di Sulawesi Tenggara mengantarkan saya berkenalan dengan Fajrin. Lelaki berusia 36 tahun ini adalah warga asli kota Baubau, Pulau Buton, berjarak sekitar 280 kilometer dari ibukota Kendari. Dia bekerja sebagai supir untuk pegawai Direktorat Layanan Teknologi Informasi (LTI) BAKTI Kemkominfo sejak 2018.

Keramahan sosoknya mulai menyeruak saat saya pertama kali masuk dalam mobil yang dikemudikannya. Dari Bandara Halu Oleu, Kendari, Fajrin menemani rombongan kami menembus medan jalan yang panjang dan cukup terjal.

“Kita orang Sulawesi ini banyak dianggap keras-keras. Tapi sesungguhnya baik, halus-halus,” kata Fajrin di tengah perjalanan mengantarkan saya dan dua orang rekan. Tak ayal, perjalanan kami menjadi terasa seru dan menyenangkan. Fajrin kaya dengan cerita-cerita lucu. Beberapa kali sambil menyetir, dia melontarkan candaan.

Saat mengunjungi Desa Asembu Mulya, di Kecamatan Buke, Kabupaten Konawe Selatan, misalnya. Kami terkesan dengan pengurus desa setempat yang menghidangkan beberapa minuman dingin. Salah satunya bermerek Kratingdaeng.

Sepulang dari situ, kami menceritakan kembali kepada Fajrin. Dia menanggapi dengan tawa kecil dan sebuah candaan.

Katanya, Kratingdaeng menjadi minuman yang wajar dihidangkan di Sulawesi. Ia menjadi sebuah “minuman khas” warga di pulau yang berbentuk menyerupai abjad K ini.

“Kalau di Jawa, ada minuman khasnya, Marimas. Nah di sini (Sulawesi), Kratingdaeng,” ucapnya setengah serius. Kami pun tertawa. Di Sulawesi, terlebih Makassar, “Daeng” adalah sapaan hormat kepada kakak atau orang yang lebih tua.

Fajrin melanjutkan cerita lucunya. Dia berkisah, satu kali perwakilan warga dari beberapa daerah diundang ke Jakarta. Setelah warga Jawa dan Sulawesi, giliran orang Maluku menjelaskan nama minuman khas daerahnya.

“Orang Maluku ini pikir-pikir, terus dia bilang, ‘Kalau dari kami minuman khas kami Betadine’. Karena Saya kalau di Maluku itu disebut Beta… Ha-ha-ha,” canda Fajrin.


Tudung Kepala

Fajrin suka memakai topi. Alasannya, topi bisa melindungi kepalanya yang plontos dari terik matahari. Dia punya beberapa koleksi. Selama menemani perjalanan, dia sudah memakai tiga model topi. Pertama, topi model sport bewarna hitam-putih dengan satu pet bertulisan “Sinuga”, topi bundar ala koboi, dan topi model sport lainnya bertulisan merah “Bulldog”. Dia juga sempat memakai kupluk hijau berbahan katun.

Tinggi badan Fajrin kira-kira 165 cm atau setara dengan tinggi badan saya. Badannya gempal membuatnya terkesan pendek dan mudah dikenali dari jauh. Seorang rekan kerja saya menyebutnya mirip Peppy, seorang artis lawak di televisi. Hanya bedanya, Peppy memiliki janggut yang dikuncir.

Dengan badan yang gemuk, pakaian yang dikenakan Fajrin mau tak mau berukuran ekstra besar. Kata dia, sebagian pakaian dia beli di sebuah pasar lokal di Baubau yang menjual pakaian impor murah.

Selain biasa menyetir dalam jarak jauh dan bermedan sulit, Fajrin juga jago memasak. Sebelum menjadi supir untuk Direktorat LTI BAKTI, dahulu dia membuka warung dan melayani pesan-antar. Pelanggannya umumnya karyawan di kota Baubau yang memesan secara daring.

“Kalau anak-anak masih tidur, saya sudah ke pasar jam 4 pagi untuk belanja kebutuhan masak. Lalu saya masak sampai jam 7 pagi,” kata Fajrin, ayah dua orang putri. Setelah itu, istrinya membungkus pesanan untuk siap diantar memenuhi pesanan pelanggan.

Saat kami mengunjungi Pantai Nirwana di Baubau, Minggu, 7 November lalu, Fajrin unjuk kebolehan. Dia memanggang empat ekor ikan dan meracik bumbu sambal. Santapan siang yang sedap untuk kami bertujuh.

Setelah bersantap bersama, Fajrin mengungkapkan, dia agak menyayangkan kebersamaan di hari spesial putrinya tertunda karena masih mendampingi saya dalam tugas dinas. Di hari yang sama, putri keduanya akan berulang tahun ke-4. Sementara itu, putri pertamanya duduk di kelas 3 sekolah dasar. Dari layar ponsel, dia menunjukkan foto putrinya yang manis dan ceria.

“Mungkin nanti saja setelah selesai ini, tanggal 9 (November) saya ajak jalan-jalan…” katanya.[]


(Dok. Robertus Roni Setiawan)






Kamis, 28 Oktober 2021

SUMPAH PEMUDA 4.0

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemelesetan berbahasa. 


“Kami” sebagai kata masih sering dipertukarkan penyebutannya dengan “kita”, sedang “kita” luntur makna dari tanda kebersamaan, kebersatuan, kesejajaran.

 

Kami, putra-putri Indonesia, berbahasa ngetren biar tak dianggap kuno, gaptek, dan kudet.

Karena which is kita anak nongkrong, duduk-duduk sambil main Twitter, Tiktok, Instagram, dan lain-lain. Tiba-tiba kita mencuit mengungkap mengsedih, mengcapek, dengan sehonestly kepenatan akhir pekan.


Kami, putra-putri Indonesia, belum tuntas mencari lima saja perbedaan antara “rubah” dan “ubah”. Manakah yang kata kerja, dan siapa yang kata benda?

Kapankah aku perlu mengubah diri agar bisa lebih diterima oleh lingkungan kebangsaanku? Atau haruskah dengan menjadi rubah?

Proseskah atau hasil yang lebih penting di putaran zaman? Manakah yang lebih aku pentingkan, pengubahan atau perubahan?

 

Kami, putra-putri Indonesia, meyakini ‘a’ pada putra dan ‘i’ pada putri sebenarnya tak lebih dari sekadar pembedaan jenis kelamin.

Tapi, adakah kita—yang sama, bersama, satu, bersatu—bangsa Indonesia yang bukan perempuan dan bukan lelaki, tapi semuanya, juga yang di antara keduanya.

Kita, setiap anak Indonesia yang satu, berdaulat, semestinya juga adil, meski belum tentu sama-sama makmur.

 

Kami, putra-putri Indonesia, percuma mengaku berbahasa satu, jika “karena” masih kami imbuhi konfiks di- dan -kan menjadi “dikarenakan”.

Mengapakah kita tak ingin bertanya: Akankah hari ini tak bermakna lebih dari peringatan akan kesejarahan kejadian? Tidakkah kita biarkan tanggalan 28 Oktober tahun sekian-sekian sekadar sejarah yang sudah selesai, lalu mengisinya untuk mengenali kekeliruan dan kesalahan?

 

Kita, anak-anak Indonesia, tak lepas dari godaan generasi baru demi bisa dibilang keren dan beken.

Maka kata kami pelesetkan.

Kita, anak-anak Indonesia, pun sengaja memelesetkan diri, menceburkan diri, menenggelamkan diri dalam slogan. Dalam singkatan. Dalam ragam kata dan rupa bunyi, dengan minim substansi.

PSBB, PPKM, PPKN, P4, JAP, PUSPA, ORBA.

 

Kita, anak-anak Indonesia, sering membantah orangtua, atau orang tua tak mengerti semesta pikir anak muda kiwari.

Kita, anak-anak Indonesia, masih bersatu melawan pandemi. Mungkin tak perlu mengsedih lagi, alih-alih adidaya resiliensi: tahan banting dan lalu melenting.

 

(Oktober)

Sabtu, 16 Oktober 2021

Bukan di Gedung Teater Jakarta

Seorang ibu mengomeli seorang ibu lain karena telah membuat celaka anak balitanya.

Sepenglihatanku yang berjarak sekitar lima meter dari kursi yang diduduki Ibu B,

beberapa menit sebelumnya anak ibu A merengek karena tertindih tas geret milik ibu B.


Ibu A melabrak ibu B.

Keduanya sama-sama tampak sebagai orang berpenampilan biasa, tak mentereng.

Namun Ibu A memilih posisi sebagai superior dibanding lainnya.

Meskipun Ibu A dan B pada dasarnya sama-sama ibu; juga perempuan dan seorang anak-anak pula pada mulanya.


Ibu B menimpali tak terima. "Anak Ibu aja yang main-main jalan ke sana kemari terus menyenggol tas saya!"


Ibu A menjadi lebih tak merasa bersalah.

Rombongan Ibu B-lah yang dianggap biangnya.

"Enak saja sembarangan taruh tas!" teriaknya membela diri. 


Perselisihan pendapat itu memantik cekcok yang samasekali tidak cocok. Seorang lelaki mencoba mengamati kejadian itu. Seperti ingin bangkit dari duduk dan melerai, tapi gagal. Kantuk di mukanya lebih unggul. Mungkin juga terbiasa abai, atau memilih enggan campur tangan.


Anak balita yang kesakitan tadi kini dirangkul saudara laki-laki Ibu A. Tidak terlihat luka atau kondisi parah. Namun kini kepala kecilnya dielus-elus, tangannya yang sakit diolesi minyak gosok.


Ibu B yang dilabrak melelah, ia bingung, dan pelan-pelan mengulurkan selembar uang kertas warna merah. Tanda maaf atau sekadar tanggung jawab. 


Ah, apalah tanggap Ibu A pada duit cepek itu. Katanya, "Kalau uang mah saya juga ada. Bukan uang yang saya mau!"


Omelan-omelan pun terus berluncuran. Ibu B mengeluarkan lembaran duit biru, bertambah nominal jadi pek-go.

Ibu A senyum-senyum sinis. Malah mengejek dan meninggikan kembali suaranya.


Aku diam menahan jengkel. Ingin kubantu menyelesaikan perkara mereka, takut salah-salah aku jadi sasaran api amarah. Melihat pertengkaran di Senin siang nan panas di ruang tunggu Stasiun Pasar Senen itu, perasaanku makin tak karuan. 


Baru saja kutatap sebuah teater bernama: Jakarta.


(Oktober 2021)

Minggu, 03 Oktober 2021

Seminggu Bersama Pelaku Penipuan Berkedok 'Open BO'


Booking Out membuncah di antara isu abadi pelacuran dan pelampiasan nafsu-nafsi.

Perangkat teknologi komunikasi mutakhir, terutama media sosial, mengaksentuasi penyajian kisah film tentang seorang lelaki yang membuka jasa Open BO berlokasi di Yogyakarta. Cara penuturan kisah itu sejalan dengan "usaha" pemesanan jasa, mohon maaf, cewek penghibur yg belakangan cenderung makin mudah dan cepat.

Pengarahan adegan dengan sebagian berteknik following (kamera mengikuti pergerakan aktor) bakal tak berhasil kalau akting pemain belum terbiasa menghadapi langsung mata kamera, apalagi bila tidak cukup mendekati kewajaran dan meyakinkan. Terlebih dalam adegan seorang pemain anak berlaku seperti umumnya video blogging (vlog), sikap grogi yang ditunjukkannya justru menimbulkan kesan unik sebagai rangkaian dengan akhir cerita.

Teknik following membuat penonton seakan diajak mengikuti keseharian tokoh Udin, penipu yang menggunakan kedok sebagai jasa layanan perempuan penghibur. Problemnya, Udin memanfaatkan Arum, iparnya untuk berpura-pura sebagai perempuan penghibur. Semua transaksi berlangsung via media sosial dan telepon.

Film ini secara ringan dan ringkas mengajukan pesan pengingat pada urgensi penetapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Aku berharap film penting yang mengungkap isu kekerasan seksual lainnya bisa dibuat dengan bahasa pengantar utama bahasa Indonesia. Tapi akankah bisa seberhasil atau bahkan kuat dibandingkan film pendek Booking Out?

(Penyalin Cahaya [The Photocopier]? Hmm... Kita tunggu tanggal tayangnya.)

Terima kasih, Mas Alex Suhendra (tokoh Udin), aktingmu menjentikkan bibir ("Ckckck") boleh juga ya! Salah satu ekspresi keseharian orang-orang biasa yang jarang ditampilkan dalam akting film.[]






Senin, 05 April 2021

Pascaperjamuan Terakhir

 

Sesudah hari-hari mencemaskan lantaran ditinggalkan Guru, Petrus dan para murid hampir putus asa dan berakal buntu. Mereka hanya menunggu-nunggu sambil termangu.

 

Sebuah pertanyaan mencuat di hati mereka:

Apakah Pak Guru akan turut masuk kelas kembali sesudah sedu-sedan tragedi?

 

Sedang saudara-saudara mereka telah banyak jadi korban,

              : entah tertunduk lemah lantaran lesunya ekonomi,

                ataupun bibit penyakit yang perlahan merontokkan daya tahan, menggerogoti kesadaran dan membahayakan keselamatan.


Simon Petrus yang terbiasa menyemangati teman-temannya, kini tak bisa membohongi kerisauan yang tergores di wajahnya.

Yusuf Arimatea, seorang murid anyar di perkumpulan ini, menghibur Petrus yang semangat melautnya makin surut dan menciut.

Kan kau pernah diminta menjala manusia. Tak perlu lagi kau memusingkan ikan-ikan di laut, kata Yusuf.

Apalagi masih pandemi begini.

Mantan penjala ikan itu sontak mengangguk, janggut di dagunya terayun pelan mengiyakan saran Yusuf.

Kata Petrus, Bisa jadi. Aku rasa, lebih baik aku mencatat peristiwa yang terjadi belakangan ini. Terutama setelah si Yudas menyelewengkan tabungan bulanan kelas kita.

Nah, itu betul! Yohanes yang mencuri dengar obrolan itu tiba-tiba menghampiri rekan mereka pada meja panjang yang biasa dijadikan tempat perjamuan. Dibawanya senampan lebar dengan cangkir-cangkir berisi kopi hitam aroma Flores Red Caturra.

Dalam remang dan dingin malam, secangkir kopi akan mujarab menghangatkan jalinan persahabatan mereka. Malam itu para murid mengenangkan perjanjian dengan guru mereka yang sekalipun sudah bangkit, belum bisa segera membersamai.

 

Yohanes tersadar satu hal. Persediaan roti tak beragi nampaknya tak cukup untuk mereka berdua belas. Ia hendak mengambil kunci ruang kelas yang tergantung di kantung kanan celana Petrus.

Petrus menahan Yohanes, seakan menolak membiarkan temannya pergi keluar.

Teringat ajaran gurunya, Petrus mengingatkan: Hidup tak hanya dengan roti. Syukurilah yang kausaji. Secangkir kopi pahit cukup untuk turut mengingat derita saudara kita di NTT yang berkali-kali lipat pahitnya karena mendapat banjir.


(April 2021)



Sabtu, 20 Maret 2021

Doa Sebelum Tidur



Maria Goretti Rahayu sedang mengeloni putranya, Aloysius Susilo, di malam Minggu yang syahdu. Ysius kelelahan setelah hampir seharian bermain di halaman kapel yang berada di tengah-tengah permukiman, berjarak seperempat jam berjalan kaki dari gubuk mereka di daerah Bintaro Sono Dikit.

Setengah jam sebelumnya, Maria mendongengkan kisah cinta “999 Kuil, 1 Malam, 2 Sahabat”. Kelihaian Maria bercerita sempat mengejutkan Ysius, persis di bagian kisah menjelang fajar merambati pagi, kala ayam jago berkokok bersahut-sahutan seperti saat ibu-ibu komplek bergosip.

Maria berkata, “Saat itulah, nanti sahabatmu yang berdiang di pelataran candi akan dengan tegas menyangkalmu. Katanya, Aku tidak kenal dia. Siapa sih yang kamu maksudkan? Guru? Guru siapa?’”

Ysius tidak mengerti apa maksud cerita dan plot twist yang didongengkan ibunya. Ia hanya menyimpannya dalam hati dan langit-langit pikiran, lantas menggumam sambil setengah menguap.

“Doakanlah aku yang sudah mengantuk ini, Bunda, sekarang dan waktu Bunda memangkuku nanti. Amin.”

Ysius tidur lelap beralas kepala tumpukan bendel catatan pembukuan penjualan mebel milik ayahnya. Jusuf Ishak, ayahnya, baru usai mengecat salah satu tiang petunjuk jalan perumahan yang mencatut salah satu nama tanaman bunga. Jusuf memasuki rumah dan berjalan pelan melintasi amben tempat Ysius tidur.

Jusuf mengecup kening Ysius seraya merapikan lipatan sarung cokelat yang dipakaikan untuk menyelimuti tubuh putranya.

Dia tersenyum. “Tidurlah nyenyak, Nak. Kau anakku, meskipun sesungguhnya bukan anakku.”


Sabtu, 13 Maret 2021

Barong Garong



 /1/    

Brandenburg Gate, matari tenggelam, matari terbit

sekira sejengkal rasa kita berpilin menyatu

 

Kuda lepas tunggang dari pucuk pilarnya

Napoleon, Napoleon, pahlawan kami!

seharu sorak konvoi pasukan Bonaparte.

 

Derap kereta Eirene, sang dewi damai Yunani

ditingkahi surai Quadriga memburai diembus remah-remah angin perlawanan

Jerman balas ungguli: sang kuda pun kembali

Taktik tangan dingin Ernst von Pfuel

 

Denging dentum degup jantung prajurit

Kini sayup-sayup jadi petik jemari lentik musikus

Di situ, meski sekadar taman jalanan,

notasi violis mengalun berorkestrasi

Membuai mulus lalu-lalang hati penonton

Leleh menjalin memadu lagu.


—Saksi kemenangan Jerman atas Prancis


/2/

Di perempatan jalan lebar berhias kafe Starbucks,

sebuah mesin kotak beroda

melantang seru menantang deru

debu-debu knalpot metropolitan

 

Kapaw, pemuda tanggung tanpa alas kaki,

dipayungi paling terik matari

“Sirih Kuning” atau “Kicir-kicir”

bukan itu lagunye

 

Hanya satu, tak sepasang boneka besar yang tampil

Padahal mereka ekuilibrium: bumi-langit, hitam-putih, baik-buruk, laki-bini

Tinggallah nyaring “Entah apa yang merasukimu…”

Biar modern, katenye

 

Sesaat ujung kaki menyeru jeri

Selaras pekak berisik mengusik dari irama band pop

Butir-butir kerikil tajam menghampar-menempeli

Lapis aspal hitam panas


/3/

Dari jauh, roda-roda empat berunding:

Siapa lebih kuat menghadapi hidup di bawah pencakar langit?

Sedang Ibu membunuh kota:

Ibu Berlin,

atau Ibu Jakarta?

 

Di atas trotoar, dua pelajar berdebat di emper kaki lima:

Apa itu live performance art yang hidup?

Yang Orkestra?

atau boneka Ondel-ondel?

 

Sepasang barong kian memburam indahnya

Tanggal dari kaidahnya

Beralih kebenarannya

terjaja dalam ritus keliling—mengamen ngider-ngider

 

Siang bolong, kehausan kepanasan

Di sore kisat menerabas marka dan kepadatan

rembang petang pun lewat

pelan-pelan malam kelam pekat

 

Kau menanti

perubahan otomatis seperti memencet tombol remote

Aku bermimpi

Haji Bolot dirasuki arwah Ernst von Pfuel!


12 Maret 2021, pukul 17.37.



Kamis, 28 Januari 2021

Animasi Faktual


 

Tubuh-tubuh yang ringkih

Nasib-nasib yang pedih

Tubuhku tak seperti dulu lagi

Dunia sudah berubah, cepat dan larut

 

Jurnalisme sudah menjemukan

Takluk pada watu dan waktu.

Sekeras ketuk watu klik di tetikus

Seketika detak ting di layar ponsel

 

Kata-kata memang tak binasa

Tapi ia sudah begah dan jengah

Basa-basi. Cuap-suap sana-sini

Berita lama masih bisa disiarkan ulang?

Masih, bersisa-sisa bisa didaur ulang:
jadi desas-desus atau kabar miring

Bedak dan gincu para pejabat

 

Peluh siang menjadi setara lepuh
petugas pemakaman seharian

Sedari dini hari membuka satu liang

menutupnya jadi gundukan

 

Bergunduk-gunduk kesalahan

bukan cuma soal ejaan

tapi bahkan kebijakan

Mengapa kami harus mendengarkan
lelayu setiap petang

Pengumuman seperti tetesan hujan
di musim yang buruk

 

Kata-kata membuncah

Angka-angka di akhir bulan membungah

Dompetku tak sesak lagi

Dompetmu ditilap jam tidurmu
yang kelabakan mencari alarm pagi
.


23/1/2021

01.18

Rabu, 06 Januari 2021

Jembatan Belas Kasih Menuju Tahun Mukjizat

Ditulis oleh Robertus Rony Setiawan*

Masa annus horribilis (tahun yang mengerikan) justru menandai terang kasih Allah yang hadir dalam sosok-sosok pembawa harapan hidup. Para nakes sebagai orang sederhana yang bekerja secara teratur dan disiplin menawarkan kepada kita terang kehangatan dalam tindakan nyata.

Pintu tahun 2020 sudah ditutup. Beragam peristiwa dan gejolak telah kita lalui bersama. Kondisi pandemi akibat virus SARS-Cov-2 yang lebih dikenal dengan Corona memukul banyak aspek kehidupan manusia. Berpuluh kesan dan perasaan duka menyelimuti jiwa dan benak kita.

Satu per satu tenaga kesehatan (nakes) berguguran dalam menjalankan tugas pelayanannya. Terhitung hingga 31 Desember 2020 lalu, 523 orang nakes telah meninggal dunia akibat menanggung beban setelah tertular penyakit Covid-19 (Laporcovid.org). Mereka meliputi dokter spesialis, perawat, dan guru besar.

Ibarat pion yang menjejak papan permainan catur, laku hidup mereka seperti diperhadapkan pada dua pilihan langkah: hitam atau putih. Mengingkari sumpahnya sebagai tenaga medis untuk mengelakkan bahaya, atau tetap melayani meski bukan tak mungkin meretas jalan kemartiran: bersiap menerima risiko kematian dalam bertugas.

Berdasarkan taksiran Ikatan Dokter Indonesia, setiap satu orang dokter melayani kebutuhan 30.000 penduduk di Indonesia. Maka, kehilangan satu dokter saja jelas dapat mengancam kualitas pelayanan kesehatan bagi 30.000 penduduk di masa mendatang.

Kondisi tersebut menjelaskan bahwa kengerian yang disebabkan wabah Covid-19 tak lantas memudarkan pancaran belas-kasih. Masa annus horribilis (tahun yang mengerikan) justru menandai terang kasih Allah yang hadir dalam sosok-sosok pembawa harapan hidup. Para nakes sebagai orang sederhana yang bekerja secara teratur dan disiplin menawarkan kepada kita terang kehangatan dalam tindakan nyata.

Mereka menjadi penolong bagi yang sakit, penyembuh yang terbaring lemah—terjangkit virus Corona. Tidakkah kesaksian hidup mereka yang rela memartirkan dirinya bagi sesama mencelikkan mata kita?




Tahun yang ambyar

Tak sedikit dari kita yang menyayangkan rencana-rencana yang gagal terwujud di 2020. Saya pun terdampak cukup parah: sempat dirumahkan tiga bulan, terhambat dalam relasi dengan kekasih, hingga harus mencari peluang kerja dan usaha untuk menutupi biaya bulanan. Alhasil, tahun 2020 bisa dikatakan menawarkan kondisi ambyar dan perasaan tawar—jika bukan pahit.

Maka di masa jelang pergantian tahun, umumnya kita memasang ancang-ancang rencana (resolusi). Dalam sebuah jajak pendapat (japat) ringkas yang saya bagikan di Twitter, saya melempar pertanyaan: Mengapa kita perlu membuat resolusi pribadi sebelum tahun baru?

Terhimpun sebanyak 60% pengisi japat menjawab “agar tidak gagal lagi”. Sementara sisanya memilih alasan “agar target-target mereka dapat tercapai”. Nampaknya, kelemahan kita sebagai manusia yang tak luput dari kelalaian sering menjadi biang kerok kegagalan. Maka pokok-pokok resolusi disusun sebagai harapan sebagai fokus perhatian dari setiap usaha dan karya.

 

Tidak terjatuh dalam kegagalan yang sama, tentu menjadi sebuah sikap wawas diri yang mesti kukuh dipegang dalam hari-hari yang akan bergulir ke depan. Sebab manusia bukanlah seperti keledai yang bisa saja jatuh ke lubang yang sama.

Di sisi lain, annus horribilis (tahun yang mengerikan) sejak dua bulan pertama di tahun 2020 memberi pukulan yang menyentak batin kita. Dalam masa pandemi Covid-19, dampak kengerian begitu jelas tampak: taksaja jumlah korban meninggal para nakes dan warga lain yang terjangkit; roda perekonomian rumah tangga kita juga macet.

Sungguhpun begitu, sisi manusia modern kita yang terpampang di media sosial menampakkan cermin yang kerap berbeda dengan kenyataan yang sedang dirasakan. Di balik senyum manis, dandan eksentrik, dan gemerlap isi postingan medsos kita, sesungguhnya tak jarang tersisip perasaan sedih-pedih. Senyum bahagia kita di layar ponsel kontras dengan masalah-masalah yang bersembunyi di dalam pikiran-perasaan. Ia semacam duri dalam daging.

Kini, di tahun baru yang belum benar-benar tanggal dari mendung pandemi, kecenderungan kita untuk menutupi kemunduran, kemandegan, bahkan luka kecemasan hidup telah turut digoyahkan. Mau tak mau yang kemudian muncul ialah ekspresi-ekspresi mendekati jujur, yang sedikit demi sedikit membuat selubung hidup artifisial meranggas. Ketakutan tidak perlu lagi disangkal. Jikapun harus bersedih, kita sudah bisa lebih legawa menerima—jika tidak benar-benar menyambut—risiko dari dampak pandemi.

 

Juruselamat di tengah-tengah kita

Izinkan saya menamai kondisi tahun-tahun di masa pandemi sebagai sebuah rangkaian panjang dari dua konsep waktu. Ada dua konsep waktu yang saya pahami yang dalam istilah Latin disebut sebagai kronos dan kairos.

Kronos memandang waktu dalam urutan atau kronologi peristiwa. Jika diletakkan dalam kronologi, setidaknya kita bisa memaknai bahwa tahun 2020 ialah permulaan dari annus horribilis ‘tahun yang mengerikan” karena pagebluk yang menghantam kehidupan manusia sejagat. Lalu di awal tahun ini, kita perlu menggelorakan kerelaan pelayanan tanpa pamrih para nakes—yang malah bertaruh nyawa—sebagai momentum “penahbisan” 2021 sebagai annus compassionis ‘tahun welas-asih’.

Hingga kapankah musim semangat belas-kasih itu perlu kita masifkan dalam laku yang konkret? Untuk menjawabnya, marilah menilik waktu sebagai kesatuan dalam proses kehidupan manusia menjalani kehidupannya. Inilah waktu kairos. Terkait usaha kita memutus penularan Covid-19, inilah masa-masa kita untuk menabur benih-benih belas-kasih.

Perayaan Natal nan sepi di tahun 2020 yang disambung masa liburan akhir tahun, menyediakan kesempatan terbaik untuk kita berefleksi. Putra Allah yang kelahiran-Nya telah dinubuatkan ribuan tahun lalu menjelma dalam rupa Bayi Mungil yang bersolider dengan kita, memeluk kelemahan manusiawi kita.

Keindahan Natal pun berganti, bukan lagi ditonjolkan oleh kelap-kelip pohon Natal berhias gantungan warna-warni, libur atau cuti panjang dari pekerjaan, dan perjalanan berwisata. Kesunyian dalam kecemasan menyentuh perhatian kita untuk memalingkan diri pada dukacita semesta. Alam bumi yang kian tergerus oleh keserakahan manusia lantas terdera pula dengan derita manusia yang terkena Covid-19.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3: 16)

Seperti tertuang dalam ayat tersebut, kelahiran Yesus Sang Juruselamat menjadi tanda kasih sekaligus misi Allah merangkul manusia untuk masuk dalam bahtera keselamatan. Kelahiran-Nya untuk memberikan anugerah cuma-cuma bagi manusia seakan terasa nyata dalam kehadiran orang kecil dalam garda terdepan penanganan Covid-19. Dia yang tak memandang diri-Nya menyambut jalan salib hingga maut di Puncak Golgota.

Petugas kesehatan yang tabah merawat warga yang sakit terjangkit virus memantulkan pengorbanan dan solidaritas Yesus yang hadir setara dengan kita manusia. Angka 523 sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kerelaan berkorban nakes.

Tidakkah semangat yang sama menjiwai tingkah-laku kita berbelas-kasih secara konkret?


“Pribadi resolusi”

Sembari usaha pemerintah mempersiapkan vaksinasi Covid-19, apa yang perlu dilakukan oleh masing-masing kita? Barangkali bagi yang bukan petugas medis, kita bisa mengembangkan semangat solidaritas untuk meringankan beban nakes, juga turut mempercepat penanganan wabah Covid-19.

Sebagai kelanjutan dari waktu sebagai rangkaian proses hidup, kita dapat mengandaikan 2022 sebagai tahun mukjizat ‘annus mirabilis yang sudah pulih dari pandemi.

Segala rupa kegelisahan dan ketakutan yang bersanding dengan keberanian, perlawanan, dan pengorbanan pada 2020 akan berlanjut pada tahun belas-kasih 2021. Dengan terus-menerus menyapa sesama yang memerlukan pertolongan, kita bisa membayangkan 2022—semakin cepat tentu semakin pantas—sebagai semacam Tanah Terjanji”. Ia adalah tahun mukjizat dalam kondisi hidup yang normal kembali. Kita semua dapat beraktivitas dengan tenang, damai, dan lancar seperti sedia kala.

Menyitir prinsip protokol kesehatan, kita dapat menerapkan “3M” secara tekun di tahun yang baru.

M pertama ialah mencuci tangan” dari pola laku lama yang cenderung hedonis dan lebih mengutamakan keperluan pribadi (egoisme). Seperti dicontohkan para nakes yang mengorbankan waktu, niat, dan tenaga, kita diundang lebih mematuhi cara hidup yang baru dengan berbelarasa dan berbelas-kasih kepada yang berkekurangan dan menderita. Sebagai contoh, kita dapat berbagi kepedulian terutama kepada mereka yang terpinggirkan dan terdampak secara ekonomi akibat virus Corona.

M kedua ialah “memakai masker” untuk menutupi tuturan berlebih dan sia-sia dari mulut kita. Sebaliknya, kita perlu lebih banyak dan lebih cermat untuk mendengarkan. Laku perbaikan diri ini sebaiknya disokong dengan keterbukaan menampung masukan, saran, ataupun kritik dari orangtua dan orang terdekat lainnya.

Memakai masker di sini juga bermakna menyaring pendengaran dari ucapan pihak lain hingga menemukan kebenaran. Sebab kebenaran yang disampaikan tanpa sikap kasih yang tepat malah berpeluang menyesatkan. Menyimak dengan jeli beragam informasi dan berita dari potensi hoaks atau sekadar obrolan simpang-siur adalah salah satu contohnya.

M ketiga, akhirnya, ialah bersikap lebih “menjaga jarak dari kecenderungan lalai dan alpa. Jika selama ini kita kerap membicarakan orang lain di belakang—penggosip gratisan—beranikah menegur sesama secara langsung dan empat mata? Namun, alih-alih menggurui, apakah kita sudah lebih dulu bertanya ke dalam diri: adakah seekor gajah hinggap di pelupuk mata kita sendiri?

Alih-alih menjaga jarak fisik dengan sesama, kita perlu tetap membangun “komunikasi hati” satu sama lain. Di sinilah semangat tahun belas-kasih menemukan relevansinya. Hati yang rentan menjadi sunyi atau kesepian karena antarpribadi menjauh dari pertemuan tatap-muka mesti disangga komunikasi alternatif memanfaatkan ragam media komunikasi digital.

Dengan begitu, bukan hanya diri kita masing-masing bisa bertahan hidup, melainkan juga memperkuat kepedulian dalam jejaring sosial. Kita menumbuhkan rasa peka terhadap kebutuhan, kegembiraan, dan kesusahan orang lain.

Mari menerima tahun baru 2021 dalam semangat kasih yang konkret, jujur, dan giat. Maukah kita memperjuangkan hingga nanti kita tiba di “Tanah Terjanji”? Sebuah tempat mana kala menempatkan kita dalam “tahun mukjizat” yang penuh sukacita terlepas dari ketakutan pandemi Covid-19. Semoga kita pun nanti tak lagi cemas untuk kembali berbagi dalam rupa raga, suara, dan perilaku yang lebih ceria dan bahagia.[]


*) Dianggit pertama kali untuk Katolikana, dimuat pada 3 Januari 2021.

Terarsip di: https://www.katolikana.com/2021/01/04/jembatan-belas-kasih-menuju-tahun-mukjizat/