Senin, 23 September 2013

LINTANG



Seperti hari Jumat biasanya, kemarin Lintang menengok ke bawah dari atas balkon rumahnya. Satu per satu ingatannya tercelik oleh gemerlap suasana jalanan di pusat kota. Kota Jakarta, gubuk peristirahatan yang memberinya tumpangan sejak tujuh tahun lalu. Ada cerlang kerlip lampu jalan dan kendaraan yang lalu-lalang di sana. Gedung-gedung angkuh layaknya ketinggian mereka yang melampaui tinggi rumahnya, pun tinggi tempat ia berdiri sekarang: balkon. Ya, balkon, suatu harapan yang akhirnya terengkuh sejak lama. Jauh sebelum pindah ke kota Jakarta.

"Aaah, Ibu, adik mau balkon... Balkon, biar kudapat melihat-lihat ke bawah... Pasti hebat, adik jadi tinggi sekali, semua yang di bawah terlihat jelas sekali. Indah, begitu indah!" Lintang setengah merengek setengah berpuisi meminta hadiah sweet seventeen-nya. Ibu mengangguk pelan, bukan mengiyakan, meski Lintang menangkap sinyal itu sebagai: "Ya, balkon untukmu." Lintang sebentar kemudian menahan harapan. Agar juga nanti tidak terlalu kecewa belakangan.

Memang, tujuh tahun lalu itu, Lintang gadis manis menjelang puber. Namun wataknya sedikit lebih dewasa dari umurnya. Pikirannya kritis, logis, meski tak luput dari emosi mengamuk yang meluap saat ia menangis. Dia pernah ditinggalkan sahabat lelakinya.

Ibu Lintang akhirnya memberinya tawaran: mengasuh nenek di sebuah kota nan jauh dari kampung. Lintang berpikir, “Mengasuh Nenek? Nenek yang dulu mengajariku menggambar panggung tinggi beratap tapi nenek menyebutnya rumah panggung itu? Nenek apa kabar?” Akhirnya Lintang paham, di separuh masa senjanya, nenek ingin ditemani oleh orang terdekatnya.

Setidaknya olehku, cucunya, setelah Kakek pulang. Pergi selamanya dua tahun lalu. Lintang menggumam lirih.

Satu setengah hari berpikir, Lintang setuju. Ibunya meminta kepastiannya agar Lintang tak menyesal kemudian. Tidak, sekali ini tak. Ia mantap melangkah berpindah ke rumah Nenek. Di Jakarta. Terletak kurang-lebih satu kilometer dari Bundaran Hotel Indonesia. Di sebuah sisi Jalan Thamrin. Jalan yang kala banjir disebut sebagian orang jadi Sungai Thamrin.

Dan malam ini, Lintang terharu sekali, dia melihat berjuta-juta cahaya. Gemilang. Seperti bintang. Atau, terlihat pula dirinya di sana: Lintang, nama pemberian neneknya. "Love you, Nenek," ia memeluk foto perempuan tua yang sangat dicintainya itu. Di bawahnya bertulisan: Lintang Dina Menari - Batam, 16-8-1934 | Jakarta, 20-9-2013.
***

Gedung CommaID, Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan, Sabtu, 21 September 2013, pukul 16.00.


                                                 
                                             Foto dari embundaunhijau.blogspot.com