Kamis, 20 Desember 2018

Sembilan Jam di Gerbong Indonesia



Setiap gerbong kereta adalah laju modernisasi
Apa segala menumpang di dalamnya
Anak-anak, ibu menyusui, juga bapak-bapak gelisah mencari hidup yang berarti

Setiap stasiun adalah perhentian-perhentian
dari hiruk-pikuk gemerlap gejolak kota
atau dari kesederhanaan desa

Ah, manakah desa, mana yang kota bila dunia kini hanya sejauh pandang layar ponsel pintar
sedekat genggaman dan klik-ketik ujung jari
sejak pagi membuka hari
hingga terik dan petang mata meredup mengganti

Tapi, sembilan jam di gerbong kereta ini kulihat Indonesia senyatanya:

Di hadapanku dua lelaki dewasa berangkul-rangkulan saling senyum manja
satu menonton ajang pencarian bakat di Youtube
seorang lagi mengirim pesan di WhatsApp, lantas menelepon kerabat:
“Kau bisa tolong kirim satu juta ke rekening BRI aku? Di tabunganku sisa cuma dua ratus ribu.”

Sedang di sebelahku, perempuan remaja yang hendak ke Mojokerto bergosip:
“Mas, dua orang di depan ini aneh banget ya. Ribeeet sendiri, nggak rebes…”
katanya setengah berbisik

Aku yang sebelumnya lebih sering tertidur kini jadi awas
Lebih sering melihat-lihat, sembari curi waktu untuk lelap

Seorang balita mondar-mandir sendirian di tengah gerbong
Berjalan lincah menuju pintu border
Setengah telanjang, tak berbaju lengkap

Orang-orang lalu-lalang di tengah gerbong
Tenang di kursi masing-masing: tidur, makan, atau bercakap dengan teman sederet
tiada perhati pada si balita kecil

Seperti hendak ke luar gerbong,
langkah putri kecil tertahan seorang lelaki dewasa yang mengejarnya
ia dirangkul, tapi lantas ia merengek, “Eaak….ek.. ek…!”

Aku lega, tersapu kantuk, kembali tidur

Tak sampai semenit bapak-bapak di depanku kembali berseru di ujung telepon,
“Pakai Lion Air aja, yang murah. Buat balik dari Semarang besok Selasa.”

Aku bergeming
Di negeri ini, harga nyawa seperti lebih murah daripada harga naik pesawat

Pelayan kereta melintasi gerbong, menawarkan makanan
Sekotak mie instan dibeli ibu-ibu yang mengomeli anaknya
“Kalau gini caranya, kamu nyiksa Mama namanya…”

Aku sudah tak bisa tidur
Aku beralih membaca buku
Judulnya Kekerasan Budaya Pasca 1965

Gadis balita mondar-mandir lagi
Bapak-bapak menelepon lagi
Dangdut bergaung lagi dari calon-calon biduanita

Pikiran aku jadi ke sana-kemari, tak henti-henti
Dari buku ke sini, dari buku ke situ, lalu ke sana, dan sini lagi

Nyatanya: setiap penumpang negara Indonesia ini punya keprihatinan masing-masing
Aku, bapak-bapak, ibu-ibu, Mbak, Mas, Tante-tante, Om-om, di depan-belakang kanan-kiri, semua
Apa saja jabatannya, tinggal di desa atau mau turun di kota mana, semua masih berjuang

Bangsa Indonesia juga
terus berjuang: berdamai dengan masa kelam
selagi hendak melaju menjadi terdepan di era empat titik nol

Aku termenung, “Sudah sampai manakah kita?”

Tong-ting-tong-ting.. ting tung, ting tung
Tiba-tiba bunyi pengumuman kereta menginterupsi:

“Para penumpang yang
terhormat, sesaat lagi kereta Anda akan berhenti di Stasiun Purwokerto. Bagi Anda yang akan mengakhiri perjalanan di Stasiun Purwokerto kami persilahkan untuk mempersiapkan diri. Periksa dan teliti kembali barang bawaan Anda, jangan sampai ada yang tertinggal atau tertukar.

Aduh!
Kisah sejarah korban kekerasan ’65 belum genap terungkap dan diakui negara
Sedang para korban tak bersalah telah ikhlas dan memilih damai dari luka dan duka

Yang tak bersalah malah dianggap penjahat, memilih memaafkan daripada simpan dendam
Yang bertindak keras dan mudarat kok bermuka dua, menutup kesalahan dan tunjuk kambing hitam

Sembilan jam di gerbong Indonesia menyadarkanku satu hal:
damai dapat dicapai bila berhati besar akui kesalahan masa lalu
bangsa kita besar bila debu derita diusap
agar siap sambut tantangan di masa depan



Jakarta-Yogyakarta, akhir November 2018

Selasa, 27 November 2018

Teater Mabuk, Tonggak Baru Theatre Community Gereja MBK



Selamat dan terima kasih buat Teater Mabuk @teater_mabuk untuk pertunjukan teater
Sangkuriang pada Jumat malam (23/11/2018) di auditorium Gereja Maria Bunda Karmel Paroki Tomang, Jakarta Barat.

Perpaduan gerak, musik, dan dialog sangat klop dan pas. Energi para pemain cukup memadai untuk mengatur perpindahan dari satu babak ke babak berikutnya, dan antaradegan. Padahal beberapa pemain memainkan dua peran atau lebih (double cast), dengan dialog yang cukup panjang, sarat pesan (baik utk memancing tawa ataupun pembelajaran).

Kontak antartokoh berhasil dimainkan dengan luwes, lancar, dan dialogis--kelupaan dialog bisa dengan sangat percaya diri ditutupi oleh para pemain itu sendiri dengan improvisasi yang alamiah.👏👍❤

Properti, kostum, dan make up keren, bagus, dan relatif lengkap--bahkan Teater Pagupon aja yang beberapa bulan lalu pentas "Arok Dedes" di GBB Taman Ismail Marzuki tata kostumnya kurang kuat mendukung cerita yg dimainkan. Kalau dibandingkan lebih jauh lagi, "Sangkuriang" dan "Arok-Dedes" sama-sana bernuansa cerita rakyat (ada kerajaan, romansa, alam hutan). Tapi Sangkuriang bisa lebih rapat & dinamis memainkan alur cerita. 🙏 

Kelemahan dari "Sangkuriang" tentu saja, dengan sekitar 25 pemain, seharusnya bisa membuat klimaks pertunjukan yang lebih jelas dan memuaskan. Sayangnya, adegan Sangkuriang membalikkan perahu dan menghancurkan bendungan tidak cukup berhasil tergambar. 😔

Dialog-dialog dari naskah yang disusun dengan bagus sekali oleh Yohanes Bosco Win (Kak Bambang--juga selaku sutradara) masih banyak belum tersampaikan dengan jelas dan kuat maksudnya. Yang sebenarnya bermaksud lucu, jadi biasa saja. Yang menyarankan nasihat, jadi kurang kuat kesannya karena diucapkan terlalu cepat. Yang menjadi pertentangan batin, saat diucapkan jadi berkesan deklamasi puisi.

Ini dapat menjadi PR yang bisa dipelajari dan dilatihkan lagi: MENENTUKAN CARA PENGUCAPAN DIALOG-DIALOG TERTENTU YANG DISESUAIKAN DENGAN TUJUAN/PESAN/MAKSUDNYA. 

Profesionalisme menyajikan sebuah acara pentas sudah cukup baik, makasih usher dan penyambut penonton yang ramah2. 😎😊

Sebuah tonggak baru sudah dipancangkan. Semoga dapat diterus-kembangkan dalam produksi pertunjukan selanjutnya. Gusti Yesus mberkahi. Salamelekom—Shalom alaichem!