Senin, 15 Desember 2014

Dialog Kultural ‘Komikazer’ dan Video ‘Azab Perempuan Matre’


PERNAHKAH ANDA MENYADARI HIDUP INI ADALAH SEBUAH PERMAINAN? Ketika terjaga setelah tidur malam, lelah letih tanggal selaras cahaya matahari menyusupi celah jendela. Cerita indah dalam istirahat semalam sempat melenakan diri, tapi lalu mengejutkan saat kita tahu bahwa itu cuma mimpi. Senang atau tegang, bisa segera berganti dengan kecewa. Lalu kita bersiap untuk beraktivitas, mengurus segala keperluan hidup seharian.

Sebagai manusia yang menjalani kehidupan, kita lantas tahu bahwasanya struktur dalam sistem harian kita adalah aturan yang menentukan alur permainan hidup. Kitalah pemainnya, melakoni permainan, ataupun (justru) dipermainkan. Jelasnya, ihwal homo ludens ‘manusia adalah makhluk yang bermain’ tak dapat disangkal. Kesenangan dan kemenangan yang tersimpan dalam permainan hidup, itulah yang kita dambakan.

Tetapi setelah itu, adakah yang lain, apa lagi? Jenuh muncul lantaran kegiatan yang sama terus-menerus berulang, hampir tanpa jeda. Di titik inilah kekakuan ritme hidup meminta kebebasan dan pelepasannya. Kesadaran untuk tetap terjaga digedor. Kebanalan dan kejenuhan terlabrak. Di tangan sejumlah pihak yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan reflektif, karya bernilai seni berpeluang dilahirkan. Merekalah yang disebut sebagai seniman.

Merespons gambaran kehidupan sosial-politik masyarakat urban, kartunis Muhammad Reza Bustar yang akrab dikenal sebagai Azer melemparkan kartun berlabel Komikazer. Dalam kartun terbarunya, Azer menampilkan gambaran sosok pemuda dengan dandanan nyentrik menggenggam piranti elektronik, semacam ponsel pintar. Di situ tertulis: “Protes Kenaikan BBM dari HP yang Harganya Belasan Juta”. Setelah diunggah ke media sosial, kartun ini menuai beragam komentar. Tidak saja menyangkut setuju atau tidak setuju atas isi yang digambarkan, respons itu bahkan meruap hingga persoalan makna dan kesan yang tertangkap  oleh masing-masing follower Komikazer. Tak sedikit yang me-like, dan me-retweet atau me-regram gambar tersebut.


Gambar 1.

Sebuah kartun Komikazer

Secara visual, kartun ini hadir menyentil kegagapan sebagian besar masyarakat yang lantang menyuarakan protes atas kenaikan harga BBM. Namun, mereka nyaris lupa bahwa piranti tempat mereka berkoar dengan memanfaatkan layanan media sosial­­ harganya sangat mahal. Sindiran yang kiranya pas menyinggung kalangan warga kelas menengah.

Lihat pula sebuah gambar piramida dengan empat elemen aktor yang berperan dalam pasar kesenian. Secara berurutan dari bawah ke atas, keempat elemen ini adalah artist (seniman), curator (kurator), collector (kolektor), dan gallery (galeri, gedung pameran/pertunjukan). Dengan citra visual demikian, Azer ingin menyatakan pendapatnya soal kondisi seni rupa, bahwa jumlah seniman yang berlimpah tak sebanding dengan jumlah kurator dan kolektor. Bahkan ruang pamer jumlahnya jauh lebih sedikit.

Pada ragam seni rupa lainnya, Dilayoe (bernama lengkap Dila Martina) mengetengahkan gambar bergerak dalam medium video berdurasi 7 menit 14 detik. Dalam video berjudul Azab Perempuan Matre dan Pacarnya Yang Selingkuh di Kota Kembang ini, Dila mempertunjukkan karakter lelaki dan perempuan dalam rupa boneka Superman dan Barbie. Dikisahkan bahwa tokoh Fernando dan Maria—yang mengingatkan kita pada nama karakter dalam telenovela—sebagai sepasang kekasih. Dalam sebuah adegan, mereka ditampilkan bermesraan. Dua tahun berselang, Maria lantas mengakui kondisinya yang tengah hamil. Dari sinilah konflik keduanya tercipta. Fernando lalu pergi meninggalkan Maria dan berselingkuh dengan perempuan lain. Maria lalu digambarkan sebagai perempuan yang menaruh dendam dan melepaskan azab untuk Fernando. Melalui penggambaran ini, video Azab Perempuan Matre berkesan sebagai film cerita yang mengemukakan stereotipe karakter dan alur cerita yang marak dalam tayangan televisi setidaknya pada tahun 2000-an.

Terkait hal ini, Dila mengungkapkan sejumlah pokok persoalan stereotipe dan kedangkalan dalam tayangan televisi Indonesia. Pada 2007, saat video ini dibuat, yang teringat oleh Dila dan menggugahnya adalah tampilan isi program televisi di Indonesia yang monoton. Berlatar belakang studi Seni Grafis di Institut Teknologi Bandung, Dila mengaku keterbatasannya untuk mengungkapkan gagasan bila hanya menggunakan medium dua dimensi. Sebagai peserta program workshop OK. Video 2007 yang difasilitasi ruangrupa, Dila memulai pembelajaran dalam membuat video sebagai media seni penyampai ide. Lewat video ini, Dila menyisipkan pesan keprihatinannya atas dampak tayangan televisi bagi anak-anak. Dengan memperlihatkan bentuk kekerasan dalam permainan dua boneka, Dila ingin menegaskan kepada penonton karya videonya, “Lu bisa bayangin nggak sih anak kecil nonton sinetron, terus dia mainin mainannya kayak gitu?”


Kartun dan Video sebagai Medan Budaya (Permainan)
Apa yang diperlihatkan oleh kartun Komikazer dan distribusinya melalui media sosial menunjukkan watak karya seni rupa yang dekat menyapa warga kota. Azer pun mengakui bahwa sebagian besar audiens kartunnya adalah kalangan kelas menengah di perkotaan yang selain membutuhkan hiburan, kerap mengkritisi masalah sosial-politik yang sedang berkembang. Sekalipun demikian, sejumlah karyanya tak dapat dipungkiri membuahkan bermacam komentar lantaran menemui publiknya lewat media sosial yang berkarakter bebas karena relatif tanpa batas ruang dan waktu. Tak jarang, komentar pengikutnya di Instagram bertentangan dengan maksud pribadinya ketika membuat kartun. Berkat kemudahan media sosial, Azer dapat langsung menanggapi guna meluruskan pemahaman keliru dari komentar-komentar miring tersebut.

Di titik inilah, terlihat bentuk komunikasi aktif antara Azer selaku seniman dan publik yang meminati karyanya. Kedua pihak menanggapi secara aktif buah pemikiran masing-masing sehingga terbangun proses dialog dan tawar-menawar. Kondisi ini lantas mengakrabkan keduanya. Seni tak lagi seperti dikesankan selama ini yang berada pada posisi tak terengkuh publik lantaran kerumitan arti dan eksklusivitasnya.
Azer menyadari bahwa setiap citra visual, termasuk karya kartun, yang ia unggah ke media sosial akan menjadi konsumsi publik. Ia justru menilai hal ini memudahkan dan memperluas jangkauan bagi penerimaan karyanya. “Dibanding gua bikin pameran di galeri, di sini [media sosial] komentarnya bisa lebih jelas dan langsung. Gua pikir juga kalau di pameran yang ramai cuma pas pembukaan dan penutupan. Pas artist talk pengunjung malah lebih sedikit,” jelas Azer. Selain itu, lewat media sosial, karyanya akan lebih mudah dilihat orang dalam berbagai kondisi, dan tak harus datang ke galeri.

Dalam pandangan kurator ruangrupa Ade Darmawan, hal tersebut menunjukkan kepekaan bersiasat yang tepat dalam mendistribusikan karya seni. Komikazer yang telah merambah media sosial Instagram menjadi cara menjual karya yang akan menggantikan metode konvensional berpameran di galeri. Pada kelas lokakarya kurator muda di Ruru Gallery, Kamis, 20 November lalu, Ade menegaskan, “Pameran sebagai salah satu metode memajang karya seni rupa itu suatu saat nanti akan menjadi kuno dan elitis.” Ade mengasumsikan setidaknya seperempat dari 40.000 pengikut akun Komikazer di Instagram dengan mudah mengenal karya kartun tersebut yang terakses lewat internet. Angka itu, menurutnya, terpaut jauh dari jumlah pengunjung pameran seni di galeri.

Demi manfaat yang lebih besar, Azer pun mengembangkan karya kartunnya dalam bentuk merchandise yang diperjualbelikan. Dia menempuh hal ini setelah kemungkinan menyebarkan karya cetak berbentuk fotokopian, xerox, atau zine dirasa tidak menjangkau publik. “Orang itu lebih senang membeli sesuatu yang bisa dipakai dan dilihat orang,” katanya. Maka dia pun menjual kaus yang bergambar kartun miliknya lewat media daring (online). Semua bisnis ini dia gawangi secara mandiri dan seorang diri.

Azer bercerita, pengembangan Instagram bagi kepentingan penyebaran karyanya mulai dia lakukan pada 2013. Sebelumnya, di awal 2000-an, Azer banyak menggelar pameran yang menempati beberapa galeri ataupun ruang yang terbuka bagi publik luas, seperti pameran komiknya bersama ruangrupa pada 2004 yang merespons celah kosong di halte Transjakarta. Sejalan perkembangan media internet, banyak orang mulai akrab dengan layanan Blogspot dan Tumblr. Dia pun menggunakan kedua fasilitas tersebut untuk menampung sepilihan karyanya sejak 2012. Dia memandang bahwa fungsi distribusi karya secara konvensional kurang efektif dan tak semasif dulu. Akhirnya, mengingat mobilitas warga kota yang semakin tinggi, setahun kemudian dia mempertimbangkan kecakapan media sosial Instagram sebagai galeri pribadi karyanya.

Sementara itu, sebagai kartunis yang bermukim di ibukota, Azer lebih banyak mengungkapkan persoalan warga kota besar—terutama kelas menengah—melalui karyanya. Lewat karakter yang dinamai Simon, Azer menawarkan humor satire yang seakan mereplika kisah persoalan hidup masyarakat urban. Mereka antara lain adalah kalangan pekerja kantoran yang cukup tanggap dengan isu aktual tapi juga membutuhkan hiburan. “Makanya komik-komik gua kebanyakan satire dan humor,” Azer beralasan.


Gambar 2.

Karakter Simon dalam Kartun Komikazer



Dengan watak Komikazer yang demikianlah, kartun guratan tangan Azer hadir sebagai sebentuk budaya populer. Komik yang demikian, seperti disebutkan Putu Wijaya (1997: 107), merefleksikan geliat masyarakat atau bangsa sebagai sekumpulan warga yang hidup dalam lingkup wilayah tertentu, dalam konteks ini Indonesia. Sebagian besar kartun Komikazer mencerminkan tindakan, pikiran, dan tuturan warga perkotaan yang bersinggungan dengan isu sosial-politik aktual.

Lain Azer, lain pula Dilayoe. Dila menuturkan, ketertarikannya mempelajari medium video dimulai sejak mengikuti lokakarya produksi video di kota asalnya, Bandung, yang diadakan OK. Video di bawah koordinasi Divisi Pengembangan Seni Video ruangrupa. Video Azab Perempuan Matre yang dia buat adalah hasil karya dari lokakarya ini. Pilihan video sebagai medium karyanya dilatarbelakangi kapasitas video yang baginya mumpuni sebagai bahasa untuk mengungkapkan gagasan. Bertajuk MILITIA, OK. Video sebagai festival video internasional yang digelar kali ketiga itu memutar seratusan karya video di Galeri Nasional, 10–27 Juli 2007 silam. Di galeri inilah karyanya mulai menghampiri publik penonton yang menghadiri festival tersebut.



Gambar 3.

Tangkapan adegan dalam video ‘Azab Perempuan Matre dan dan Pacarnya Yang Selingkuh di Kota Kembang



Dalam Azab Perempuan Matre, bahasa visual atau teks dialog antara tokoh Fernando dan Maria disajikan secara renyah dan bergaya anak muda metropolitan. Kita akan dibuat terkekeh-kekeh sekaligus menahan keinginan untuk tertawa lepas. Sebab di sepanjang cerita video ini, banyak representasi dari tayangan televisi yang diungkapkan. Tak saja di bagian awal video yang memperdengarkan lantunan bernada sendu persis seperti lagu dalam sinetron religi, sorotan kamera pada gerak-gerik dua karakter utama di video ini mengesankan kelucuan. Boneka yang menjelma sepasang kekasih, Fernando dan Maria, menarik perhatian sejak pertama hadir. Mereka saling menyapa dengan suara yang dibuat lembut. Isian suara yang berganti-ganti dalam dialog antara tokoh laki-laki dan perempuan menjadi terkesan unik. Kita pun sadar bahwa menonton video ini tak ubahnya menyaksikan pertunjukan sebuah permainan. Selain suara Dilayoe yang disamarkan menjadi ucapan karakter dalam video, tangan dan jemari yang terlihat menggerakkan atau memain-mainkan boneka menjadi acuannya.

Diterka dari metode bercerita yang memunguti remahan unsur tayangan televisi, video Azab Perempuan Matre mudah diterima oleh kalangan masyarakat manapun. Tidak hanya pelajar dan mahasiswa, warga umum lainnya juga dengan segera memetik beragam kesan dari video ini. Dila sendiri mengakui, video ini ditujukan bagi siapa saja. Begitu pula ketika karyanya menjadi salah satu video yang dipamerkan di Galeri Nasional. Azab Perempuan Matre sudah menyinggahi mata dan pikiran pengunjung yang mencakup publik luas nan heterogen.

Menyangkut konteks media gambar bergerak, Agung Hujatnikajennong menulis dalam katalog OK. Video MILITIA, “Video adalah sebuah entitas kesatuan bahasa dalam bentuk citra bergerak dan (atau tanpa) suara yang spesifik, sehingga apapun wujudnya diasumsikan ‘bermakna’ atau paling tidak menimbulkan dampak indrawi tertentu.”[i] Dari sinilah dapat dipahami video merupakan medium yang dapat menyampaikan beragam hal dengan pesan tertentu atau perantara dalam rantai representasi politik, budaya, ekonomi, maupun sosial.

Secara khusus dalam video ini, kritik dari kegelisahan Dila atas isi program televisi berhasil terkuak. Tak sekadar seragam dalam bentuk sajian sinetron, telenovela, hingga tokoh fantasi produk Barat yang mewakili citra lelaki dan perempuan, video ini menyodorkan sebuah kesederhanaan komunikasi pandang-dengar yang merefleksikan kembali isi televisi kita hari ini. Ternyata, kita mafhum dan insaf, rasa jemu serta jengkel tetap saja menempeli benak kita saat berpaling ke televisi. Dalam rupa hiburan yang berbeda dibanding awal 2000-an, konten acara hiburan yang monoton, dangkal, dan murahan (selain dibuat dengan budget rendah, sejumlah program TV memang bermutu rendah atau “murahan”) masih menjiwai TV. Terkait hal ini Dila berujar, “TV itu selalu punya cara untuk pembodohan dan lain-lain. Jadi beda bahasa saja sih. Cuman, orang perlu tahu apa yang terjadi di masa itu dari apa yang terungkap di dalam video gue. Sekarang TV pun ternyata masih banyak kekurangannya.”

Menyimak video Azab Perempuan Matre lantas menggugah benak kita mengenai keberadaan dan fungsi video sebagai media yang menyusun lalu menampilkan kembali representasi teks audio-visual asalinya. Ia, dengan demikian, hadir sebagai bentuk re-representasi yang mengembangkan representasi dari teks dasar yang diacunya. Di titik inilah, video mampu menjadi alat edukasi untuk membuka kesadaran sebagian masyarakat yang terlampau lena atas isi sajian televisi yang telanjur bertabur stereotip, laku kekerasan, sampai banalitas yang sesungguhnya direka-reka.

Lantaran potensinya sebagai corong ide yang merespons masalah sosial itulah, media video telah mewujud sebagai bagian dari pertumbuhan budaya visual kontemporer. Menurut Agung Hujatnikajennong, perkembangan video di Indonesia telah masif sebagai “perantara kebenaran”. Praktik pembuatan dan penyebaran video kian jauh bertumbuh sehingga dikenal dan diakses secara meluas oleh masyarakat.[ii] Maka dapatlah dikatakan bahwa video telah menjadi unsur yang penting dalam menandai corak budaya populer mutakhir.

Pada akhirnya, kartun Komikazer dan video Azab Perempuan Matre mengundang kita untuk berhenti sebentar dari hiruk-pikuk keseharian nan melenakan. Buah dari goresan tangan Azer yang tersalurkan lewat karakter “aneh” yang menjelma karikatur mengajak kita bermain-main dan berekreasi secara kreatif. Entah ingin tersenyum simpul atau tertawa lepas, silakan. Sementara Dilayoe sebenarnya juga menyentil kita untuk menyadari keberadaan video yang dapat menjadi media pembelajaran, dengan setidak-tidaknya terlebih dahulu mengejek konten program televisi yang semakin genting (atau juga tidak penting?). Maka, dari kedua contoh bentuk karya seni rupa ini kita diimbau secara pelan dan berbisik: “Hei, manusia, mari bermain dengan sungguh dan tidak main-main!”[]
(Ulasan ini adalah buah karya dari keikutsertaan saya dalam lokakarya kritik seni rupa dan kurator muda 2014, Jakarta, 10-22 November 2014.)


Referensi:
Wijaya, Putu. 1997. NgEH Kumpulan Esai. Jakarta: Pustaka Firdaus.             
Katalog OK. Video MILITIA 3rd Jakarta International Video Festival 10–27 July 2007. Jakarta: Ruang Rupa.


[i] Agung Hujatnikajennong. 2007. Katalog OK. Video MILITIA 3rd Jakarta International Video Festival 10–27 July 2007. Jakarta: Ruang Rupa. Hal. 20–21.
[ii] Ibid.