Kamis, 28 Desember 2017

KESAKITAN


kesal

kesal kesal kesalahan siapa
kesal kesal kesal kesalku padamu

kesakitan kesakitan kesakitan ini tak harus dialami
lupa, lupa, lupa
lantas apa
mereka diam
mereka membicarakan

rasa hilang
tiada, karam

peka luka
peka sudah lupa
lupakan sajalah

flu. 18-12-2017



Selasa, 07 November 2017

Sang Pencemburu


  1. Ia melepaskan kita untuk bertindak sesuai kemauan kita. Tapi lalu, kita menjadi terbentur, kecewa, dan berhenti sendiri. Ia tidak rela untuk ditinggalkan, Ia menarik kita untuk kembali kepada-Nya.
  2. Ia belum benar-benar tuntas—tidak pernah selesai menyusun rambu-rambu, menuntun, dan mengarahkan apa yang belum kita rengkuh—sesuatu yang layak dan sesuai bagi kita masing-masing untuk direngkuh.
  3. Belum pernah ia mengecewakan anak-anak yang dikasihi-Nya. Hanya saja, kita harus rela dan mau dibentuk oleh tangan-Nya, waktu-Nya, dan bersama siapa saja kita menjalaninya. 
  4. Lalu kecemburuan dan kecemberutan Tuhan ialah pada momen saat kita lupa dan abai pada-Nya. Tanggal dan salah atas keputusan-keputusan-Nya. Menanggalkan dan menyalahgunakan kebebasan untuk kesenangan, tujuan, atau nafsu diri sendiri, tidak berperan dan bertindak seturut dengan kehendak-Nya.
  5. Esok, lusa, dan waktu yang baik atau pada saat yang tepat kita akan pantas menjalani waktu bersama dengan sesiapa. Saat kamu semata membutuhkan seseorang untuk memenuhi harapanmu yang belum terisi, itu bukan hubungan yang tulus, melainkan hanya memanfaatkan. Hubungan yang pantas ialah dimotori oleh keinginan memiliki, tanpa bermaksud memaksakan keinginan diri sendiri. Ia komunikatif: menawarkan suatu keinginan baik kepada pihak lain serta memberikan kesempatan kepadanya untuk mengiyakannya dalam keasyikan berinteraksi--bermain bersama-sama dan terus bersama-sama.

    Nah, Tuhan percaya kepadamu, bahwa kamu berani mengubah-ganti yang buruk darimu. So, kamu tidak akan pernah kecewa atau dikecewakan—bila bersandar kepada-Ku.
     

Jumat, 6 Oktober 2017 
Hari lepas hari, disandar-tanggalkannya bebannya.

Rabu, 10 Mei 2017

SAMBANG GARIS KELUK

Sebuah "Renung Ning" yang membelok dan lambat dalam tahun usia ke-28 yang lewat.


Ada yang pantas dikosongkan dari sebuah wadah yang membuat segala perasaan kita berbelok dan menemui kebuntuan. Wadah itu ialah hatiku. Sedang kepada diriku bersisipan kemunafikan yang berasal dari orang-orang di luar diriku. Mereka bertanya,
Mana teman-temanmu? Kami menyeru menyambangi mereka yang terbiasa menggamit kulit, jangat, dan tengkukmu. Mereka tahu—atau seolah-olah tahu. Sebab menolak tegas rasa ingin tahu akan membebani diri kita sendiri. Maka lahirlah asumsi, tafsiran, dan yang lebih mengesankan: penghakiman terhadap situasi dan kondisi di luar diri mereka, orang lain—liyan.

Jelas, demikian pulalah tak genap bila sebuah corekan tangan berupa garis lurus tidak mengubah arah, sesedikit apapun membeloknya. Dengan sebuah lengkungan memelan, jalan lurus melambat supaya mengarah ke perubahan: alih jalur, ganti alur. Mungkin juga karena mengendurkan ketegangan-ketegangan. Tak sempat melebar jauh, garis itu perlahan pun seakan mengarah ke titik lain. Seperti satu-dua pengecualian dalam kehidupan: kalau hari ini kita menginginkan A, esok B. Lusa berganti lagi: ubah, ulah yang tak menentu arah.

Itulah kesimpangsiuran pun keraguan yang paling kecil. Sebab ia nyata ada, kerapkali terjadi, dan tak mengandaikan kepastian. Perubahan lantas sebuah kewajaran. Dalam kegamangan, keberanian dan kejujuran ditantang, dimainkan, dan disesap untuk perlahan menuju akhir kesenyapan. Senyap itu pengejawantahan dari jeda. Sela waktu yang memberi peluang kepada kita: Siapkah untuk melepaskan ketegangan, lalu lebih bersiap menentukan keputusan? Mengembalikan pada keberadaan diri senyatanya, semacam konsistensi dalam berpijak pada prinsip-prinsip pribadi.



Dalam kongko bersama teman-teman Couch Surfing Jakarta Writers' Club, Jumat, 3 Februari 2017.

Senin, 24 April 2017

Ahok: "Pemahaman Nenek Lu!!"


Selain "yang tertulis", ada yang lain yang akan abadi. Ia adalah karya seni yang mengabadikan nilai-nilai.



Salah satu karya seni instalasi dalam pameran "Abad Fotografi 2016" di Galeri Nasional Indonesia.

Suatu kali, Sabtu, 26 November 2016 silam, saya sempat mampir ke Galeri Nasional Indonesia yang tengah menggelar pameran seni bertajuk "Abad Fotografi". Sebuah karya yang dipajang di salah satu ruang pameran perlahan namun pasti menahan langkah saya untuk sejenak berhenti.

Sebuah foto raut muka Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atawa Ahok terpampang di satu sisi tembok. Satu-dua pengunjung memperhatikan instalasi itu sambil menjejak-jejakkan kakinya. Lantas ada bunyi rekaman yang lamat-lamat terdengar mengingatkan suara dari perkataan pejabat publik di foto tadi. Juga bunyi perempuan yang mengomel menuntut haknya, dan seruan tegas aparat kepolisian atau tentara.

Saya lantas mencoba mengamati lebih cermat, juga memijak-mijak petak-petak kayu yang tertata rapi di lantai. Macam-macam frasa yang tertera di petak itu: Komisi Proyek, Fee Siluman, Proyek Ijon, sampai Mark Up. Banyak tikus-tikusan warna-warni berkeriapan di petak-petak itu juga ke tumpukan laci besi yang sejajar dengan foto Ahok.

Saya dan teman saya yang "memain-mainkan" instalasi itu (juga beberapa karya interaktif lainnya yang mendekonstruksi seni fotografi) waktu itu tersenyum-senyum sambil memandang foto Ahok. Spontan karena kagum, sesekali saya mengumpat, "Asu". Tahun sudah berganti, bulan-bulan berlalu. Karya itu berkesan mendalam hari-hari ini, sampai nanti.


Jakarta, 21 April 2017