Minggu, 22 November 2020

Asa, Asi, Asu

 

Asa kehabisan kata

Dua jam lebih ia sulit merumuskan perasaan yang menyinggahi pikirannya

 

Kepalanya telanjur penuh dengan rumus kalkulus

Tangannya mengepal keras, seperti dia yang keras kepada diri sendiri:

“Ingin kulawan cemas, ingin kupancang terus tegak asaku. Tapi kumakin takut.”


Tapi, bukanlah Asa jika mudah putus asa

Dirapikannya meja belajarnya:

disisihkannya buku paket ajar matematika

Ngapain sih aku ngerjain soal-soal rumit ini?

 

Kata-kata lalu ditaburkannya begitu saja:

Asa. Aku. Asu. Asi. Aus. Usa. Uas. Sua, sudah.

Ada. Adu. Adi, dia.

Ia, air.

 

Tak puas, diberantakkannya kata-kata itu

Acak mawut.

Tanggung tandas, dilemparkannya tubuhnya ke kasur.

 

Ini hari libur, kan. Ribet amat, sih.

Luapan kata Asa dari asa kata-katanya.

 

Jatuh dia berbaring.

Sampai tertidur lelap.

 

Di pagi buta hari Senin.

Asi, ibu Asa, mengetuk pintu kamarnya dua kali.

Tak ada sahutan, pintu terbuka pelan.

 

Ibu masuk, melongok Asa masih tenggelam dalam mimpinya.

Asi menghela napas pendek.

Melangkahkan kaki dua ayun.

 

Meja belepotan dengan kata-kata. Kata yang penuh dengan asa-asa putranya.

 

Disusunnya puisi dengan dua tim jemarinya.

Jemari kanan menyisihkan, jemari kiri mengambil untuk menyusun kata-kata terbaik.

Bukan asa yang membalik, bukan asa yang terputus.

 

Asa terbangun, mengedip-kedipkan mata

tergugah dari kenangan sapihan ibunya tujuh tahun silam.


Betapa dalam ibunya membimbing, dengan lembut dan diam-diam.

Dia membaca perkataan ibunya pada sehampar di atas meja:


(“Asi bagi Asa”)

“Asa, jangan pernah putus asa. Tak ada air mata sia-sia.

Dulu kau menimba asi ibu, Ibu kini menanam asa padamu.

Sua kita menjadi satu. Tak usa menyedu air duka dari ragu lalumu.

Asi ada dalam asa, asa terawat oleh asi. Kita takkan pernah aus.

Kita menjadi adi. Kuat selantang serumu: Asu!”


Asa buru-buru mengambil ponsel. Memotret dan mengirimkan karya puisi itu.

Asa lulus dengan nilai terbaik pada UAS Berbahasa Indonesia.

Ujian akhir sekolah yang sesungguhnya sudah dimulai.

Semenjak sejenak ia bertekad berbalik dari kebiasaan lamanya.

 

Saatnya ia membangun mimpinya sendiri.

 

Aku mau menghadiahi ibu dengan bangun lebih pagi.

Dengan kasur, bantal, dan selimut yang rapi

Tentu, laguku: sesudah mandi akan kutolong ibu

Merapikan asa-asanya, karena aku harapan satu-satunya.

 

 

Jakarta, 2020