Minggu, 21 Juni 2020

Indera Keenam: Padi Mengakustik nan Tetap Asyik


Pada mulanya Padi. Semua Tak Sama, Sobat, Sang Penghibur, dan... Begitu Indah. Melanjutkan kelahiran menjadi Padi Reborn, album keenam mereka punya banyak kejutan dibanding sejumlah lagu yang telah jadi hits. Sebagian di antara kesan itu saya tuangkan di sini, berurutan dari lagu yang berkesan menyemangati dari sisi lirik hingga komposisi musik paling menyentil rasa sentimentil saya.



         1. Menanti Keajaiban (4/5)

Kesan saya pada lirik lagu ini sudah melekat sejak versi pertama lagu ini dimainkan dalam album Save My Soul (2003). Namun, dalam balutan string dan petikan gitar akustik, kali ini semua jadi berbeda. Ada aspek aural yang lebih dipuaskan dari lagu versi akustik ini. Intonasi, lafal, dan lantunan Fadly tersampaikan lebih terang dan memanjakan telinga. Ketukan drum Yoyo jauh lebih dikontrol dan rapi-lantas selaras dengan irama instrumen lainnya.

Hingga bait terakhirkarena lagu ini memang mengalir begitu saja tanpa refrain atau pengulangan bait tertentukesederhanaan lagu ini tampak karena cuma menambahkan lantunan frasa: Menanti keajaiban.

Seraya lirik yang menuturkan pandangan bahwa hidup ini sebuah perjalanan, sepertinya para punggawa Padi tak lelah terus mencari. Sepanjang meniti waktu dan perjalanan hidup, mereka menanti keajaiban-keajaiban kecil.


2. Disini Tanpamu (4/5)

Plus instrumen trompet, lagu ini berubah drastis dari lagu asalinya. Lebih riang sekaligus syahdu, ketimbang keras dan menghentak seperti dalam album Lain Dunia (1999).

Mau tidak mau perbedaan kualitas vokal Fadly di lagu ini paling terasa mencolok. Nyanyian Fadly didampingi backing vocal yang lirih. Melodi trompet pun di beberapa bagian selaras dengan bebunyian vokal silabel aha-aha-aha yang mempertegas musik Padi yang dapat berisi keceriaan.

Saya terkejut pula: Ada kesan menarik dari vokal Fadly yang berpadu dengan bunyi trompet di akhir lagu. Komposisi ciamik yang memanjang dan perlahan mengecil (fade out) itu mengesankan perasaan kepasrahanIni sukses bikin saya jatuh hati.


3. Ketakjuban (3,5/5)
Seperti judulnya, lagu ini bersiap membuat takjub sejak awal intro dimainkan. Jika dibandingkan dengan lagu asalinya dalam album Save My Soul (2003) lagu Ketakjuban di album Indera Keenam menjelma andante 'irama bertempo lambat'.

Di sebuah sesi pertunjukan solo drum secara langsung via Instagram, Yoyo sempat menceletuk: Iki lagu gitar kabeh!

Yoyo bermaksud menilai komposisi musik Ketakjuban di album Save My Soul yang ngerock dan bertempo cepat sangat bertumpu pada bunyi permainan gitar elektrik. Maka, bunyi lagu yang dihasilkan didominasi auman gitar nan keras.

Di versi akustik ini, kita akan mendapatkan sajian berbeda. Diawali genjrengan gitar perlahan, musik disambung ketukan drum dan petikan sitar. Baik setiap bait maupun di bagian refrain, kemasan musik Padi berbanding terbalik dengan genre rock yang biasa mereka mainkan.

Ketakjuban bukan lagi sebuah erangan, melainkan pertanyaan yang dibarengi kesan kecurigaan. Seperti tercerap dari bagian bait pertama menuju bridgeApa mungkin kau sungguh hadir untuk... /Membebaskan aku, Selamatkan aku.../

Permainan drum yang dinamis menjelma warna musik yang bervariasi: dari hening, lalu riuh, juga pelan ke perlahan-lahan menjadi lebih rapat.

Tak urung, pendengar akan dibuat penasaran, ingin terus mendengarkan lanjutan untaian musik selanjutnya. Agaknya komposisi musik dinamis ini digubah Denny Chasmala selaku arranger pendamping bersama kelima personel Padi sebagai hasil tangkapannya atas kecenderungan ruh bermusik Padi.

Tak lama setelah album ini diluncurkan, Denny menyebut musik Padi selalu dinamis dalam setiap nomor lagunya. Hal itu diungkapkannya ketika megakonser Padi Reborn di Studio RCTI+, Kebon Jeruk, Jakarta, 1 November 2019. Menurut Denny, kematangan dan ciri khas bermusik Padi tertuang dalam paduan lirik dan permainan instrumen yang komplit.

Namun, kebaruan aransemen lagu Ketakjuban ini tidak menumbuhkan kerumitan. Tatanan musik di bagian intro lagu cukup dipakai kembali menjadi penutup yang sempurna.


4. Terlanjur (5/5)

Jauh berbeda dari versi asali dalam album Lain Dunia (1999), lagu Terlanjur akan membuat pendengar merasa terlena, jatuh dalam alunan lembut vokal Fadly yang mampu meliuk dari nada rendah hingga tinggi. Tak lupa disahut-sahuti backing vocal yang terdengar harmonis.

Inilah juaranya, lagu favorit saya di album Indera Keenam. Dalam tempo lagu lebih lambat, muncul kesan semacam sikap nakal seseorang dalam mengungkapkan rasa cinta yang agak ditahan sehingga mewujudkan lebih santuy dan santun.

Biarkan semua orang tahu kau memang kekasihku/ Karena 'ku terlanjur mencintai dirimu.../

Refrain yang diulang beberapa kali dimeriahkan vokal Fadly yang makin menegaskan kekuatannya sebagai salah satu penyanyi terbaik Indonesia.


5. Menerobos Gelap (3,5/5):
Ada satu nuansa yang sama dan dipertahankan dalam lagu ini: misterius dan dinamis. Bebunyian dengan dominasi string alat gesek jelas menambah keriuhan bunyi yang menyayat. Tidak itu saja, tekanan bunyi tuts piano mengisi celah sunyi dalam bagian lirik yang menggambarkan masa penantian.

Ketika aku tenggelam dalam kesunyian ini, kucoba mendamaikan hatiku/ Sepatutnya aku mampu melaluinya, menjejakkan kakiku, meretaskan jiwa...//

Satu sisi yang jarang diperdengarkan Padi ialah lantunan berbunyi silabel du-du-du.... Ini membuat sisi misterius lagu ini agak sedikit teredam, sekaligus membuat warna komposisi menjadi makin kaya. Permainan sitar Piyu mendukung sekali suasana eksentrik khas Padi sejak album kedua (aransemen baru ini mengingatkan permainan sitar di lagu “Bayangkanlah di album Sesuatu yang Tertunda [2001] yang juga bernuansa Timur Tengah).


6. Kau Malaikatku (4/5)
Lagu ini asyik dan mudah didengarkan, tapi tak semudah untuk dimainkan dan dinyanyikan. Backing vokal bertimbre suara lelaki di lagu ini sepertinya berasal dari Fadly dan personil Padi lain. Ini menunjukkan kerja bareng yang total dan kompak. Sebuah keberhasilan Fadly, dkk. yang berbuah manis dan ramah setelah mengutak-atik lagu ini dari versi pertamanya. Sebelumnya, Kau Malaikatku beraliran rock dengan instrumen gitar dan bas elektrik.

Bagian coda lagu ini terdengar sangat menyenangkan, dalam untaian bunyi vokal O yang dilantunkan memanjang hingga tuntas ditingkahi tabuhan simbal Yoyo.

Plus vokal Jenaka Mahila, putri Tora Sudiro, membuat nuansa riang dalam lagu ini jadi terasa mantap. Pilihan tepat ini berasal dari ide Piyu, yang disambut Fadly untuk mengajak Jenaka menyumbangkan suaranya.


7. Menanti Sebuah Jawaban (3,5/5)
Menanti sebuah jawaban membuat saya merasa seakan hampir tercekik. Bukan karena deg-degan mendengar jawaban "ya" dari yang terkasih, melainkan waswas mendengarkan vokal Fadly yang hampir tercekat.

Berbeda dari lagu versi asalinya, Fadly bernyanyi dengan lebih pelan dalam versi ini. Kesan irama lagu yang variatif dalam album Padi (2005) terasa begitu populer. Lagipula, sudah cukup banyak musisi lain membawakan dan mengaransemen ulang lagu Menanti Sebuah Jawaban. Agak mengejutkan dan membuat saya bertanya-tanya pula, mengapa Padi mengaransemen ulang lagu ini? Mau dikreasikan seperti apa lagi?

Beruntung hasilnya memberi tawaran menarik dengan menonjolkan petikan gitar akustik sebagai pembuka dan penutup lagu. Ada modulasi pula untuk refrain yang panjang dan terdengar cukup menyusahkan bagi Fadly untuk mencapai nada tertinggi di bagian berlirik Sepenuhnya aku..., Setulusnya aku…. akan terus menunggu…”

Akan tetapi, dugaan saya itu gugur seketika sebab Fadly berhasil dalam rekaman lagu ini. Namun saya ragu keberhasilan sama akan terwujud saat lagu ini dibawakan secara langsung di panggung di depan jutaan penggemarnya.


8. Angkuh (4/5)
Suasana Timur Tengah merambat pelan sedari intro. Bebunyian irama padang pasir di lagu ini secara langsung seperti menghadirkan sebuah lagu baru. Ini membuat lagu Angkuh seperti menemani single Kau Malaikatku sebagai nomor baru. Sejatinya, Angkuh merupakan lagu lama dari album Sesuatu yang Tertunda (2001).

Musik irama padang pasir dalam lagu ini tersusun dari permainan instrumen tiup seruling (flute), petikan sitar, dan gesekan biola.

Dari seluruh lagu di album ini, tampaknya instrumen bas Rindra dan efek gitar Ari tak begitu mengemuka dibandingkan dalam komposisi album-album Padi sebelumnya. Rindra beralih memainkan bas akustik, sedang Ari menyokong permainan gitar akustik. Ini bukan hal yang mengejutkan, justru menunjukkan kualitas Padi pada kelas yang lain: lagu balada tetap berkualitas dalam balutan akustik.

Saya dan para Sobat Padi lain menantikan kebaruan apa yang akan disajikan Padi di album ketujuh yang akan datang![]

Kamis, 18 Juni 2020

Tanda-tanda Sahaja Wiji Thukul

Dok. Pribadi



Aku tak ingin kamu pergi. Aku juga tak ingin kamu pulang. Aku hanya ingin kamu ada.
(Sipon, istri
Wiji Thukul)


Sosok Wiji Thukul berambut ikal dan urakan kerap dilekatkan dengan semangat juang aktivis melawan Orde Baru. Bahkan sampai kini, aksi mahasiswa kerap memakai kredo dari petilan puisi “Peringatan” karyanya: “Hanya ada satu kata: Lawan!”

Berkebalikan dari itu, film Istirahatlah Kata-kata menggambarkan kegelisahan Wiji semasa pelariannya di Pontianak, Kalimantan Barat. Wiji (diperankan oleh Gunawan Maryanto) ditampilkan terkucil dari hiruk-pikuk perjuangan aktivis yang memprotes pemerintahan otoriter Presiden Soeharto.

Sejarah mencatat, usai tragedi kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta, Wiji masuk daftar buronan pemerintah. Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang digawanginya dituduh sebagai dalang kerusuhan. Dia pun menjadi terpisah dari istrinya, Sipon (Marissa Anita), dan kedua anaknya yang masih kecil, Fitri dan Fajar.

Menumpang di rumah Martin, salah satu kenalannya di Pontianak, kehidupan Wiji digambarkan kelam dan terimpit keterbatasan. Dibayang-bayangi tindak represif aparat, keterasingannya mencuat dalam puisi-puisinya. Sesekali dengan sembunyi-sembunyi dia menemui istrinya.

Hari-hari Wiji diliputi sunyi diperkuat akting Gunawan Maryanto yang berbicara cadel dan minim dialog, kecuali menonjol lewat gestur.

Kekuatan film ini juga terlihat dari pilihan penceritaan melalui adegan-adegan puitik. Dibandingkan film-film biopik umumnya yang menceritakan babak kehidupan tokoh-tokoh besar secara heroik, seperti Sukarno, KH. Ahmad Dahlan, dan Tjokroaminoto, Wiji Thukul dihadirkan sebagai sosok sahaja. Wiji yang kalut, yang lebih dari takut—hingga tak dapat tidur berhari-hari. Wiji yang kata-kata protesnya diredam oleh deru senapan.

Sejumlah adegan berkesan melekat di ingatan saya. Wiji yang keluar rumah kala listrik padam, menjumpai seorang ibu yang tengah menggendong bayinya yang merengek.

Dalam suasana pekat kelabu malam itu, Wiji bertanya, “Bapaknya mana?

Jawaban si ibu membuat saya tertegun karena seakan-akan menggenapi kisah hidup Wiji sendiri. “Bapaknya lagi pergi, enggak tahu pergi ke mana…

Adegan puitik lain tak hanya “bersuara” lantang, tapi kreatif membangun nuansa mencekam secara aural. Satu yang terkuat ialah adegan dua tentara bermain bulutangkis yang menggaungkan bunyi seperti letupan peluru-peluru senapan.

Gambar dan suara berpadu laras dengan baris-baris puisi yang dituturkan Wiji Thukul lewat suara latar (voice over). Kelihaian Anggi ini patut diacungi jempol. Begitu pun adegan saat Wiji menelepon Sipon lewat wartel. Perbincangan keduanya yang menggantung disambung siulan dari mulut Sipon membunyikan nada Darah Juang”—lagu wajib para aktivis yang kerap dilantunkan di setiap unjuk rasa mahasiswa.

Lirih terngiang di telinga saya sebaris lagu itu: Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar/ Bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat...//

Film ini menjelmakan sisi kepahlawanan Wiji secara puitik karena mengingatkan sisi manusiawi Wiji. Semangat kepahlawanan membela rakyat kecil dan tertindas yang digelorakannya nyaris tak muncul.

Namun, dalam tempo yang amat lambat di beberapa adegan, film ini justru mampu menyajikan cerita yang melangut. Didera cemas dan fasilitas hidup terbatas, Wiji tetap menaruh harapan hidup dan rindu keluarga.

Dialog akhir Sipon seperti mewakili harapan setiap orang pada penegakan keadilan dan kemanusiaan di negeri ini. Film ini membawa kita merefleksikan dalam hening: Betapa perjuangan menegakkan keadilan belum tuntas dan roh perjuangan Wiji Thukul akan selalu kita rindukan. Ia akan terus ada, dan berlipat ganda!