Sabtu, 20 Maret 2021

Doa Sebelum Tidur



Maria Goretti Rahayu sedang mengeloni putranya, Aloysius Susilo, di malam Minggu yang syahdu. Ysius kelelahan setelah hampir seharian bermain di halaman kapel yang berada di tengah-tengah permukiman, berjarak seperempat jam berjalan kaki dari gubuk mereka di daerah Bintaro Sono Dikit.

Setengah jam sebelumnya, Maria mendongengkan kisah cinta “999 Kuil, 1 Malam, 2 Sahabat”. Kelihaian Maria bercerita sempat mengejutkan Ysius, persis di bagian kisah menjelang fajar merambati pagi, kala ayam jago berkokok bersahut-sahutan seperti saat ibu-ibu komplek bergosip.

Maria berkata, “Saat itulah, nanti sahabatmu yang berdiang di pelataran candi akan dengan tegas menyangkalmu. Katanya, Aku tidak kenal dia. Siapa sih yang kamu maksudkan? Guru? Guru siapa?’”

Ysius tidak mengerti apa maksud cerita dan plot twist yang didongengkan ibunya. Ia hanya menyimpannya dalam hati dan langit-langit pikiran, lantas menggumam sambil setengah menguap.

“Doakanlah aku yang sudah mengantuk ini, Bunda, sekarang dan waktu Bunda memangkuku nanti. Amin.”

Ysius tidur lelap beralas kepala tumpukan bendel catatan pembukuan penjualan mebel milik ayahnya. Jusuf Ishak, ayahnya, baru usai mengecat salah satu tiang petunjuk jalan perumahan yang mencatut salah satu nama tanaman bunga. Jusuf memasuki rumah dan berjalan pelan melintasi amben tempat Ysius tidur.

Jusuf mengecup kening Ysius seraya merapikan lipatan sarung cokelat yang dipakaikan untuk menyelimuti tubuh putranya.

Dia tersenyum. “Tidurlah nyenyak, Nak. Kau anakku, meskipun sesungguhnya bukan anakku.”


Sabtu, 13 Maret 2021

Barong Garong



 /1/    

Brandenburg Gate, matari tenggelam, matari terbit

sekira sejengkal rasa kita berpilin menyatu

 

Kuda lepas tunggang dari pucuk pilarnya

Napoleon, Napoleon, pahlawan kami!

seharu sorak konvoi pasukan Bonaparte.

 

Derap kereta Eirene, sang dewi damai Yunani

ditingkahi surai Quadriga memburai diembus remah-remah angin perlawanan

Jerman balas ungguli: sang kuda pun kembali

Taktik tangan dingin Ernst von Pfuel

 

Denging dentum degup jantung prajurit

Kini sayup-sayup jadi petik jemari lentik musikus

Di situ, meski sekadar taman jalanan,

notasi violis mengalun berorkestrasi

Membuai mulus lalu-lalang hati penonton

Leleh menjalin memadu lagu.


—Saksi kemenangan Jerman atas Prancis


/2/

Di perempatan jalan lebar berhias kafe Starbucks,

sebuah mesin kotak beroda

melantang seru menantang deru

debu-debu knalpot metropolitan

 

Kapaw, pemuda tanggung tanpa alas kaki,

dipayungi paling terik matari

“Sirih Kuning” atau “Kicir-kicir”

bukan itu lagunye

 

Hanya satu, tak sepasang boneka besar yang tampil

Padahal mereka ekuilibrium: bumi-langit, hitam-putih, baik-buruk, laki-bini

Tinggallah nyaring “Entah apa yang merasukimu…”

Biar modern, katenye

 

Sesaat ujung kaki menyeru jeri

Selaras pekak berisik mengusik dari irama band pop

Butir-butir kerikil tajam menghampar-menempeli

Lapis aspal hitam panas


/3/

Dari jauh, roda-roda empat berunding:

Siapa lebih kuat menghadapi hidup di bawah pencakar langit?

Sedang Ibu membunuh kota:

Ibu Berlin,

atau Ibu Jakarta?

 

Di atas trotoar, dua pelajar berdebat di emper kaki lima:

Apa itu live performance art yang hidup?

Yang Orkestra?

atau boneka Ondel-ondel?

 

Sepasang barong kian memburam indahnya

Tanggal dari kaidahnya

Beralih kebenarannya

terjaja dalam ritus keliling—mengamen ngider-ngider

 

Siang bolong, kehausan kepanasan

Di sore kisat menerabas marka dan kepadatan

rembang petang pun lewat

pelan-pelan malam kelam pekat

 

Kau menanti

perubahan otomatis seperti memencet tombol remote

Aku bermimpi

Haji Bolot dirasuki arwah Ernst von Pfuel!


12 Maret 2021, pukul 17.37.