Kamis, 28 Oktober 2021

SUMPAH PEMUDA 4.0

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemelesetan berbahasa. 


“Kami” sebagai kata masih sering dipertukarkan penyebutannya dengan “kita”, sedang “kita” luntur makna dari tanda kebersamaan, kebersatuan, kesejajaran.

 

Kami, putra-putri Indonesia, berbahasa ngetren biar tak dianggap kuno, gaptek, dan kudet.

Karena which is kita anak nongkrong, duduk-duduk sambil main Twitter, Tiktok, Instagram, dan lain-lain. Tiba-tiba kita mencuit mengungkap mengsedih, mengcapek, dengan sehonestly kepenatan akhir pekan.


Kami, putra-putri Indonesia, belum tuntas mencari lima saja perbedaan antara “rubah” dan “ubah”. Manakah yang kata kerja, dan siapa yang kata benda?

Kapankah aku perlu mengubah diri agar bisa lebih diterima oleh lingkungan kebangsaanku? Atau haruskah dengan menjadi rubah?

Proseskah atau hasil yang lebih penting di putaran zaman? Manakah yang lebih aku pentingkan, pengubahan atau perubahan?

 

Kami, putra-putri Indonesia, meyakini ‘a’ pada putra dan ‘i’ pada putri sebenarnya tak lebih dari sekadar pembedaan jenis kelamin.

Tapi, adakah kita—yang sama, bersama, satu, bersatu—bangsa Indonesia yang bukan perempuan dan bukan lelaki, tapi semuanya, juga yang di antara keduanya.

Kita, setiap anak Indonesia yang satu, berdaulat, semestinya juga adil, meski belum tentu sama-sama makmur.

 

Kami, putra-putri Indonesia, percuma mengaku berbahasa satu, jika “karena” masih kami imbuhi konfiks di- dan -kan menjadi “dikarenakan”.

Mengapakah kita tak ingin bertanya: Akankah hari ini tak bermakna lebih dari peringatan akan kesejarahan kejadian? Tidakkah kita biarkan tanggalan 28 Oktober tahun sekian-sekian sekadar sejarah yang sudah selesai, lalu mengisinya untuk mengenali kekeliruan dan kesalahan?

 

Kita, anak-anak Indonesia, tak lepas dari godaan generasi baru demi bisa dibilang keren dan beken.

Maka kata kami pelesetkan.

Kita, anak-anak Indonesia, pun sengaja memelesetkan diri, menceburkan diri, menenggelamkan diri dalam slogan. Dalam singkatan. Dalam ragam kata dan rupa bunyi, dengan minim substansi.

PSBB, PPKM, PPKN, P4, JAP, PUSPA, ORBA.

 

Kita, anak-anak Indonesia, sering membantah orangtua, atau orang tua tak mengerti semesta pikir anak muda kiwari.

Kita, anak-anak Indonesia, masih bersatu melawan pandemi. Mungkin tak perlu mengsedih lagi, alih-alih adidaya resiliensi: tahan banting dan lalu melenting.

 

(Oktober)

Sabtu, 16 Oktober 2021

Bukan di Gedung Teater Jakarta

Seorang ibu mengomeli seorang ibu lain karena telah membuat celaka anak balitanya.

Sepenglihatanku yang berjarak sekitar lima meter dari kursi yang diduduki Ibu B,

beberapa menit sebelumnya anak ibu A merengek karena tertindih tas geret milik ibu B.


Ibu A melabrak ibu B.

Keduanya sama-sama tampak sebagai orang berpenampilan biasa, tak mentereng.

Namun Ibu A memilih posisi sebagai superior dibanding lainnya.

Meskipun Ibu A dan B pada dasarnya sama-sama ibu; juga perempuan dan seorang anak-anak pula pada mulanya.


Ibu B menimpali tak terima. "Anak Ibu aja yang main-main jalan ke sana kemari terus menyenggol tas saya!"


Ibu A menjadi lebih tak merasa bersalah.

Rombongan Ibu B-lah yang dianggap biangnya.

"Enak saja sembarangan taruh tas!" teriaknya membela diri. 


Perselisihan pendapat itu memantik cekcok yang samasekali tidak cocok. Seorang lelaki mencoba mengamati kejadian itu. Seperti ingin bangkit dari duduk dan melerai, tapi gagal. Kantuk di mukanya lebih unggul. Mungkin juga terbiasa abai, atau memilih enggan campur tangan.


Anak balita yang kesakitan tadi kini dirangkul saudara laki-laki Ibu A. Tidak terlihat luka atau kondisi parah. Namun kini kepala kecilnya dielus-elus, tangannya yang sakit diolesi minyak gosok.


Ibu B yang dilabrak melelah, ia bingung, dan pelan-pelan mengulurkan selembar uang kertas warna merah. Tanda maaf atau sekadar tanggung jawab. 


Ah, apalah tanggap Ibu A pada duit cepek itu. Katanya, "Kalau uang mah saya juga ada. Bukan uang yang saya mau!"


Omelan-omelan pun terus berluncuran. Ibu B mengeluarkan lembaran duit biru, bertambah nominal jadi pek-go.

Ibu A senyum-senyum sinis. Malah mengejek dan meninggikan kembali suaranya.


Aku diam menahan jengkel. Ingin kubantu menyelesaikan perkara mereka, takut salah-salah aku jadi sasaran api amarah. Melihat pertengkaran di Senin siang nan panas di ruang tunggu Stasiun Pasar Senen itu, perasaanku makin tak karuan. 


Baru saja kutatap sebuah teater bernama: Jakarta.


(Oktober 2021)

Minggu, 03 Oktober 2021

Seminggu Bersama Pelaku Penipuan Berkedok 'Open BO'


Booking Out membuncah di antara isu abadi pelacuran dan pelampiasan nafsu-nafsi.

Perangkat teknologi komunikasi mutakhir, terutama media sosial, mengaksentuasi penyajian kisah film tentang seorang lelaki yang membuka jasa Open BO berlokasi di Yogyakarta. Cara penuturan kisah itu sejalan dengan "usaha" pemesanan jasa, mohon maaf, cewek penghibur yg belakangan cenderung makin mudah dan cepat.

Pengarahan adegan dengan sebagian berteknik following (kamera mengikuti pergerakan aktor) bakal tak berhasil kalau akting pemain belum terbiasa menghadapi langsung mata kamera, apalagi bila tidak cukup mendekati kewajaran dan meyakinkan. Terlebih dalam adegan seorang pemain anak berlaku seperti umumnya video blogging (vlog), sikap grogi yang ditunjukkannya justru menimbulkan kesan unik sebagai rangkaian dengan akhir cerita.

Teknik following membuat penonton seakan diajak mengikuti keseharian tokoh Udin, penipu yang menggunakan kedok sebagai jasa layanan perempuan penghibur. Problemnya, Udin memanfaatkan Arum, iparnya untuk berpura-pura sebagai perempuan penghibur. Semua transaksi berlangsung via media sosial dan telepon.

Film ini secara ringan dan ringkas mengajukan pesan pengingat pada urgensi penetapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Aku berharap film penting yang mengungkap isu kekerasan seksual lainnya bisa dibuat dengan bahasa pengantar utama bahasa Indonesia. Tapi akankah bisa seberhasil atau bahkan kuat dibandingkan film pendek Booking Out?

(Penyalin Cahaya [The Photocopier]? Hmm... Kita tunggu tanggal tayangnya.)

Terima kasih, Mas Alex Suhendra (tokoh Udin), aktingmu menjentikkan bibir ("Ckckck") boleh juga ya! Salah satu ekspresi keseharian orang-orang biasa yang jarang ditampilkan dalam akting film.[]