Sabtu, 04 April 2015

A Conversation on Gloomy Good Friday




“Kalau besok akan berlalu, apa yang akan kamu katakan di hari ini?” Kamu bertanya sambil menyangga kedua sikumu di pahamu.

Aku akan bilang, sore tadi sesuatu menahanku untuk mendudukkan diri di kursi umat seusai perayaan ekaristi. Ialah hujan. Sebuah guntur menggelegar mengagetkan kami. Kami bersorak. Nyaring, seperti yang baru saja kami tunaikan: bernyanyi memadukan suara.

Sang Penghibur yang sekilas menyapa, menggamit leherku. “HEH, KAMU BELUM MENGAKU DOSA, KAN? ENAK AJA, DATANG KE GEREJA MEJENG PAKAI BAJU MENTERENG. SANA, MAAFIN DULU SESAMAMU YANG KAMU SAKITI.”

Aku tercenung sebentar, lantas termangu.

Kamu, masih dengerin ceritaku kan? Plis, jangan bosan, ya!

“Ya, aku nungguin kamu bercerita…” Satu tanganmu menahan dagumu yang mungil.

Tetiba aku ingat, ada seseorang di sudut luar dunia sana yang—bukan siapa-siapa.., kamu nggak usah berprasangka aneh-aneh dulu—pernah mencatatkan rasa. Senang sekadarnya, sakit sejadinya. Tapi aku sudah lepas dari masa itu. So…., I can go through in the new moment. Leave behind.

“Eh, sang penghibur itu siapa sih?” Kamu bertanya, memotong ceritaku ini.

Dia adalah sesosok yang akan selalu hadir walaupun tak dapat kita rengkuh dengan indera secara utuh.

“Tuhan?”

Iya. Oke, aku lanjutin ya….

Kemarin, aku mencoba melepaskan perasaan itu. Mematikan rasa, melepaskan ikatan rasa. Rasa yang seingatku, sesungguhnya sekadar dititipkan padaku. Dititipkan atau tertitipkan. Maka ia bukan benar-benar milikku.

Bersama peluh tanpa mengaduh, lari sore kemarin ialah waktunya. Pelepasan yang menyegarkan. Seperti umumnya seusai berolahraga, saat jogging kemarin aku tak tahu apa yang kukejar hendak kurengkuh, hanya menikmati bermain. Sampai cukup lelah. Cukup berkeringat basah.

Bukankah begitu kisahku yang dulu itu? Mengalirkan rasa dan memantulkan-mantulkannya, tak serta-merta ingin membendungnya. Sampai semua selesai tanpa persepakatan bersama. Kita waktu itu, maksudku kami, lalu kembali sendiri. Kembali ke lubang persembunyian masing-masing. Bersama dengan atau tidak dengan sesiapa.

Tapi, ya demikianlah leganya kaku-kelu badan juga perasaan yang terbiarkan membeku. Lembam.

“Kamu kenapa kok pakai kata-kata yang ada ter- ter- nya? Kesannya kamu itu nggak bisa mengendalikan yang ada di luar dirimu…” Sahut-potong-jeda oleh dan darimu.

Ataukah memang begitu ya? Seolah aku bukan sutradara, aku cuma pelaku, meski aku memiliki kuasa—sedikit kuasa—mengontrol yang aku hadapi. Entahlah.

“’Kita tak boleh lembam’, katamu padaku satu kali. Masih ingatkah?”

Yaaa, karena seperti sepak bola yang ada bola sepaknya. Permainan dan kehidupan suatu permainan tak bisa didiamkan. Bila bola tak ditendang, akan ada yang tak menggairahkan bagi kita yang memainkannya dan bagi yang menyaksikannya. Bukankah hidup ini adalah suatu pertunjukan? Hidup manusia dewasa ini cenderung menjelma performing culture

“Stop, aku malas dikuliahin cultural studies kali ini. Dongengmu aja…” Kamu menegurku.

Sorry. Bila bola dibiarkan diam, ia akan menjadi sejadi-jadinya benda mati. Ia harus terus digulirkan, dimainkan, ditendang-diumpan-ditendang-dioper-ditendang lagi untuk lalu diceploskan.

“Kenapa?”

Supaya tim yang bertanding tak kehilangan momentum terbaiknya membuahkan kemenangan—atau jika kamu tak menang, setidaknya ada kesenangan. Seperti itulah juga kita, manusia yang punya rasa punya hati (Eh, kenapa aku cuplik lirik lagu gini ya?). Ruh yang tersimpan dalam tubuh yang tak bergerak, lembam itu, akan mengerut. Akibatnya kita jadi tak bergairah, semangat patah, jalanmu mudah lelah sebab tak terlatih dan tidak terbiasa susah.

Kesulitan kecil, beban ringan, pertanyaan mudah, godaan-tantangan-tawaran biasa ialah latihan-latihannya. Itu perlu buat kamu-yang-masih-mudah-merengek-di-tengah-derap-usiamu-yang-tak-lamban-lagi. Kamu terlalu dewasa untuk menghadapi yang begitu-begitu saja. Tapi (sambil kuelus pelan hidungmu yang lucu), jika yang kecil saja kamu belum becus mengurus, aku pastikan kamu belum mantap menghadapi yang lebih dari itu.

Kamu mengantuk, kulirik dari kelopak matamu yang meredup sedikit-sedikit hendak mengatup.

Lalu sore tadi, satu per satu, kami pulang setelah rintik hujan berkurang derasnya. Dan ada banyak orang lain yang menuju kursi di dekat kami untuk melantunkan doa-pujian-permohonan sebagaimana biasa.

Tak kuduga, mendung sesaat sebelum aku berangkat ke perkumpulan paduan suara membuahkan hujan.

Yang kuduga, ada yang harus kututurkan kala Jumat mendung ini. Jumat Agung ini. Untukmu.

“Eh, kamu berbakat jadi sutradara deh, kan ceritamu bagus…”

Oh?[]
 
Jumat pertama April 2015. Pukul 23.06.  Mas Pongky bernyanyi: “Tak ada yang akan bisa meruntuhkan niatku ‘tuk bertemu, memeluk, dan menyanding….”