Sabtu, 16 Juli 2011

Hopeful


Even though his dad is a paperboy, he can be a journalist.

Aneh bin membingungkan apabila melakukan perjalanan yang tak pernah kita tahu tujuannya. Seperti saat bangun tidur, diri kita masih tersingkap oleh kidung bayangan indah. “Semalam mimpi apa ya?” kira-kira kita mengingat. Masih adakah cerita yang bergulir bila kutidur kembali? Menelungkup dalam selimut dan bergumul pada hangat alas tidur.

Kriiinggg….! Alarm jam ngedumel gara-gara bumi pusing memutari bintang besar. Tapi terkadang kita mengabaikannya, juga cahaya mentari yang mengintip di celah daun pintu. Ia seakan mengetok. Tak meracau, ingin membawa salam setitik, hanya berbisik. “Selamat pagi. It is a nice day!”

Seperti itulah andai tangan tak meraih sesuatu lain. Selaras ketika belum mengetahui di mana kita berada. Datang ke wilayah baru yang belum pernah kita pijak, pun tidak kenal seorang pun di situ. Kita menjadi orang asing atau pendatang. Namun… “Welcome to a wonderful city!” Hati kita lantas berbunga-bunga disambut oleh rasa keingintahuan. Teringat sebuah iklan di televisi yang memarodikan sekumpulan anak muda hendak berwisata ke Yogyakarta. “Jogjaa…, Jogja.., Jogja…,” mereka berdendang riang.

Namun ibarat perkenalan, adakalanya kita ditodong dengan pertanyaan: siapa diri ini dan apa impian, harapan, minat, serta niat. Begitu sulit menjawabnya bila tak akrab dengan cita-cita pribadi. Saat kecil, saya kenal motto: Raihlah setinggi langit cita-citamu. Begitu yang biasa terdengar saat di bangku taman kanak-kanak.

“Mau apa jadi apa, Dik?” Ibunda bertanya. Adik—yang dimaksud saya—mengatup bibir. Ia berhenti sejenak. Mainan pasang-pasangan—nama kerennya lego—bertebaran di lantai. Kedua tangannya memegang erat dua potongan yang akan ia satukan, hijau dan kuning.

“Tentara?”

Adik geleng-geleng. Ibu menyebut sebuah profesi yang akrab terlihat dalam hari-hari anaknya. Tak heran lantaran sekitar 50 meter dari gubuknya, berdiri rumah sakit tentara. Kecuali itu, si bocah memiliki teman TK yang berayah seorang tentara. Dor! Dor! Sekali-dua kali bunyi tembakan dari pos perwira di seberang TK itu terdengar.

“Siapa yang mau jadi dokteee…r?” Ibu guru di TK mengajukan tanya suatu hari.

Banyak teman yang mengacungkan jari. Sebagian kecil laki-laki, perempuan pada umumnya. Ah, dokter perempuan? Belum terbayang saat itu. Yang ditahu si anak hanya Bapak Dokter. Dokter Agus sapaannya. Beberapa jam setelah diliputi demam, suatu kali adik diantar ayah ke klinik dr. Agus. Ayah rela menunggui adik hingga gilirannya dirawat.

“Jangaa…n! Sakit, Pak, disuntik…,” adik murung sejadi-jadinya.

“Ah, ndak…, kayak digigit semut aja kok..” ayah menghibur seraya membujuk. “Ya kan, Dok?”

Adik jadi sangsi pada ayahanda. Ayah hanya basa-basi, duganya. Ayah kan cuma guru. Mana tahu soal suntik-menyuntik?

Tapi adik mengerti sekarang, ayah memberi sayang. Agar adik berani dan tak sungkan diberi obat. Biarpun lewat jarum kecil berukuran sekian milimeter. “Get well soon,” kata gambar di pembungkus penawar sakit. Adik bingung, “Bisa ya ular menempel di gelas,” terus, “Udah gitu ngomong lagi…?”

Adik ingin menulis. Apa sajalah, asalkan, seperti Ki Hadjar Dewantara pernah berpetuah, jangan menyakiti hati orang lain. Pada mulanya puisi. Kemudian semacam curahan dan diary. Bertumbuh menjadi cerita. Namun, si bocah pernah menggoreskan luka dalam batin orang yang ia kenal. Ya karena tulisan. “Maaf ya teman,” ia kecewa dan mengecewakan. :(

“Dia seneng nulis,” Ibu bercerita kepada orang-orang di tempat kerjanya. Sedikit ceriwis, tapi tetap manis.

“Bukan obyek cerita aku ini,” si anak lelaki kesal. Sekarang masih belajar. Ditambah menulis warta. Berita. Ingin sekali ia menjelaskannya pada ibu. Mungkin saat mudik nanti. Adik juga belajar macam-macam, tentang sekolah, musik, teater, bencana, sampai penelitian. “Keep spirit!” itu kata penting yang bersorak di hati. Tersiar lewat mulut, juga pesan singkat. Hemat, tapi manfaatnya hebat. Seperti Smart (lha, jadi promo.).

Adik tetap menyandangkan tekad yang sama. Walau sedikit terganggu oleh kata mendiang Rosihan Anwar—wartawan produktif nan gigih di tiga zaman, “Journalist write in water, here today, and gone tomorrow.” Tapi, hidup toh hanya sekali, sesudah itu mati, meski ingin hidup seribu tahun lagi. Si Anwar yang lain, Chairil Anwar, lirih mengiyakan dari dunia lain.

Lewat menulis dan memotret, adik mendokumentasikan keadaan sekitar. Lingkungan yang rusak. Ketimpangan yang tersebar pun terserak. Bumi indah nan memanas. Orang-orang dengan berbagai kreativitas. “Tulisan itu bercerita, berbicara, Bu. Ia menggamit hati, meneriakkan kebenaran, Pak.”

“Terus habis lulus, mau ke mana?” Adik mengira-ngira tanya mereka—my lovely parents. “Mau apa?”

Adik menahan napas. Pak, Bu, dengan menjadi jurnalis adik bisa ke mana-mana. Menjelajahi kota-kota di planet biru. Tempat yang “wah” dan baru. Betapa senang serta haru.

Eh, btw, para pemuda tadi ternyata bukan ke kota pelajar lan kabudayan, melainkan Pulau Dewata. “Baliii…, Bali.., Bali…,” si bocah ikut berlantun mengejek mereka yang tersasar ke pulau yang sebagian pantainya tak molek lagi itu. Meskipun tidak berlibur ke Jogja, mereka ceria sesampainya di Bali. Mereka hanya di dalam iklan. Tapi adik yakin, baginya itu bisa menjadi kenyataan. Mudah-mudahan.

Adik termangu. Kadang pilihan tak harus diajukan. Ia mengunjungi kita dalam proses mengarungi titian. Hanya senoktah kepekaan untuk bersyukur dan merenung yang dibutuhkan. Seiring dengannya, kita percaya, every cloud has a silver lining ‘setiap awan pasti punya celeret peraknya’. Tetap menumbuhkan semangat yang berbingkai harap, itu kuncinya…


Jumat bersahabat, 22 April 2011, diiringi nyanyian, “Sahabat untuk selamanya/ berbagi dan saling menjaga…”