Jumat, 30 Mei 2014

Pesan yang Tertunda



Pada dasarnya, setiap kita ingin bersama. Ada kala kita terpisah sendiri-sendiri dalam tempat berbeda. Kala lain bertemu hanya bersapa menyebutkan nama. Lalu lupa. Bisa pula menghadirkan luka. Siapa yang tahu jelasnya apa. Sebab kita begini adanya: bertemu, bersama, kemudian bersama-sama setuju untuk bersendiri dalam diam. Ya, diam-diam menyepakati untuk diam menyendiri dengan dunia masing-masing. Aku dan kau melupakan. Kau tak tahu apa aku lalu. Perlukah aku begitu pula padamu. Lalu menutup diri, hingga nanti. Nanti, kapankah itu? Esok.

Esok adalah bukan sehari kemudian, semacam janji yang bisa tak tertepati lantaran Pak Pos pengantar surat yang mundur sehari lalu sehari lagi kemudian menyampaikan. Pesan yang tertunda, kabar yang enggan cepat sampai, lagu yang sedu berlalu diredam waktu lalu.

Aku tak mau jika kau begitu, tapi kau berkata, “Itu mulanya dari kamu sendiri!”

Aku termangu beku. “Lho apa yang kau maksud… Aku bingung.” Diam, mencari kekhilafan-kenaifan-kealpaan yang dibungkus oleh kebaikan-kebaikan kenangan baik.

Baik katamu, alaaaaah, apanya yang baik?

Kita takkan pernah tahu: apakah maksud kebaikan yang kita bagikan kepada seorang yang kita anggap baik akan tetap tinggal atau tidak. Kau menyederhanakan sekali mempersamakannya dengan senyuman yang kecil yang kata Teresa sepi tapi takkan terlupa. Besarnya kasih dalam segelintir aksi mengalahkan banyaknya perbuatan baik.

Akhirnya aku keluar dari pengertian usang: pemujaan itu sendiri adalah sesat! Termasuk bila kulakukan padamu, manis, yang kutahu itu cuma mengangkat lalu menggeletakkan kita saja!

“Kita? Elu aja kali…!” Kau mencerocos.

“Iya, kamu…” kutimpal bertutur menirukan Dodit si komedian tunggal.

“Maksudmu apa?”

Aku menyimpan rasa tapi kau belum tahu, mungkin nanti saja seiring waktu. Bermain rahasia-rahasiaan ceritanya. Biar agak gimana gitu, misteriuslah.

“Heh, apaan sih?!” Jelek monyong dower bibirmu kembali menonjol ke muka.

“Maksudku, sesaat aku memujimu, aku pikir sebenarnya indahmu biasa saja, tak seberapa dibanding perempuan yang kukenal lainnya. Kamu kayak gorila.”

“Huuuh, jelek!” kau mulai mengambek.

“Ciee, kayak kambing lu, habis ngambek terus ngembik.”

Pipimu mencekung, kau merengut.

“Hahahaha!” aku tertawa mengendorkan ketegangan, meski kutahu ini belum lepas dari tegang.

Kau, kulihat dengan pinggir mataku, menangkapi jebakanku. Gurauan-rayuan-atau apalah namanya yang kuluncurkan. Cur….

“Hehehe, kamu tu mulai deh….”

Kita tertawa bersama, sesaat lalu senyum. Lepas, terlepas dari kekangan yang memaksa diri kita sebelumnya bersitegang yang bagiku, sungguh apa perlunya?!

Belum, belum bertemu kan kita?

Iya, kira-kira bisikmu bertengger perlahan di daun telinga kananku.

“Kita merindu.”

“Tapi tinggal tunggu waktu, kita akan bertemu.”



Pagi, Rabu, 28 Mei 2014. Ditutup dengan lantunan rada fals temen band gue yang boleh dinilai “cukup”. Kepada Suatu Pesona judul lagunya. Pukul 07.45.

Jumat, 23 Mei 2014

Perkenalan Intelektual dengan Soe Hok-Gie


OLEH Mona Lohanda (sejarawan-peneliti, bekerja di Arsip Nasional RI)*






                  Sumber gambar: http://justforsoehokgie.tumblr.com/Biograph

Saya mengenal SOE HOK-GIE hanya terbatas pada ruang lingkup kelas pada semester pertama mengikuti kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada waktu itu perkuliahan dimulai pada bulan Januari, dan saya masuk tahun 1968, ketika demonstrasi sudah reda. Semua kembali ke kampus, kuliah, mengejar ilmu dan angka supaya tidak kena sanksi. Perlu diingat bahwa pada masa itu belum dikenal sistem tiga lapis pendidikan tinggi: S-1, S-2, S-3.
Mahasiswa yang tidak naik tingkat dua kali terpaksa harus drop-out, tidak akan disebut alumni tapi cuma dianggap sebagai jebolan UI. Tidak heran jika kita mengenal si anu pernah di Jurusan Sastra Inggris, lalu ketemu pula di Jurusan Perpustakaan atau Jurusan Arkeologi. Pada waktu itu, mahasiswa yang tidak naik tingkat satu kali masih boleh mengikuti kuliah, walau kebanyakan lebih suka memilih pindah jurusan.
Jurusan bahasa-sastra asing masih dianggap lebih bergengsi daripada jurusan non-asing seperti Arkeologi, Sejarah, Antropologi (masih di Fakultas Sastra, belum pindah ke FISIP) atau Sastra Indonesia. Tetapi tokoh-tokoh mahasiswa malah kebanyakan berasal dari jurusan non-asing ini. Sementara jurusan sastra-bahasa asing lebih dimeriahkan oleh mahasiswi-mahasiswi yang pandai bergaya.
Ketika saya masuk di Jurusan Sejarah, Soe-Hok-gie masih menjadi asisten pengajar, memberi mata kuliah Teknik Studi. Mata kuliah ini diberikan pada semester satu untuk mahasiswa tingkat satu. Pada masa itu belum ada kuliah bebas dengan mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan tingkat. Maka kami kuliah dengan  jadwal yang sudah tersusun dan harus diikuti sepenuhnya tanpa kecuali. Mulanya saya tidak paham betul apa maksud mata kuliah Teknik Studi, tetapi itu harus diikuti karena masuk dalam jadwal perkuliahan semester pertama. Materi kuliah lebih bersifat bimbingan untuk para mahasiswa pemula agar bisa memahami tulisan ilmiah dan juga mengenal gaya penulisan, komposisi, dan bagaimana harus menulis sebuah karya akademik yang baik.
Tidak banyak yang saya ingat dari materi kuliah yang diberikan Soe-Hok-gie ini. Tetapi ada satu-dua hal yang terus melekat dalam benak saya sampai sekarang. Yang pertama, menulis tidak perlu datar—rata macam jalan tol yang licin dan kinclong, sebab gaya penulisan bisa sangat naratif-deskriptif, bisa persuasif, bisa pula provokatif. Tinggal bagaimana kita menyusun organisasi dan struktur penulisan, termasuk kalimat dan gaya bahasa yang kita gunakan. Pengetahuan ini sangat membantu dalam pekerjaan saya di kemudian hari ketika harus sering menulis dan menyunting serta mengoreksi tulisan-tulisan ilmiah.
Karena pada tahun-tahun tersebut belum ada mata kuliah komposisi, maka apa yang diberikan Soe-Hok-gie sekaligus juga merupakan bimbingan bagi mahasiswa Jurusan Sejarah dalam menyiapkan diri untuk menulis skripsi ketika waktunya tiba. Maka sudah barang tentu soal referensi-bibliografi juga disinggung dalam kuliah Teknik Studi ini. Dari sini saya bisa memasukkan hal yang kedua, yaitu inspirasi dalam menemukan-mencari judul tulisan. Menurut So-Hok-gie, judul karya ilmiah tidak selalu mesti kaku-datar dengan jargon ilmiah. Judul itu bisa juga bernada sastra bahkan simbolis.
Hok-gie mencontohkan karya Harry J Benda  berjudul The Crescent and The Rising Sun, yang terbit pada 1958. Dengan membaca judulnya Hok-gie menjelaskan bahwa the crescent—bulan sabit adalah simbol Islam, sementara the rising sun—matahari terbit diartikan sebagai negeri Jepang. Dari sini akan mudah bagi mahasiswa memahami sub-judul disertasi HJ Benda tersebut, yaitu Indonesian Islam under the Japanese occupation, 1942 –1945. HJ Benda adalah Indonesianis dari Universitas Yale yang juga memimbing Ong Hok Ham menyelesaikan disertasinya.
Saya menduga boleh jadi Harry J Benda menjadi perintis penggunaan judul karya akademik yang bernada sastra ini. Sebab, sampai sekarang kecenderungan sejawaran Amerika, Australia, dan juga Belanda untuk memberi judul yang bernada simbolik-puitis pada karya-karya akademik  mereka, masih terus berlangsung, walau kecenderungan yang paling umum adalah dengan memakai kata-judul kunci yang merefleksikan tema pokok dan topik bahasan karya masing-masing.
Hok-gie rupanya juga mengikuti gaya Harry J Benda ini ketika dia menyebut tulisan yang menggambarkan aktivitas dan ide politik kaum sosialis dan komunis pada masa perang kemerdekaan dengan klimaks pada peristiwa Madiun September 1948. Tulisan itu berjudul Simpang Kiri Sebuah Jalan. Saya tanya, judul buku apa itu? Jawabnya, “Itu judul skripsi gue.” Soal bahasan skripsi ini akan saya uraikan di bagian lain.
Satu hal lain adalah “pesan-peringatan” Soe-Hok-gie kepada kami mahasiswa yang masih hijau dan masih diliputi kabut demam sok aksi. Katanya sesuatu tidak bisa dilihat dan ditengarai secara hitam-putih. Selalu ada ruang abu-abu dalam kenyataan sejarah, sehingga kita tidak bisa berpendapat yang ini benar yang lain salah. Selalu ada kemungkinan untuk melihat fakta peristiwa sejarah dari sudut pandang yang beragam dan berbeda. Ini memang bagian pemahaman metodologis yang harus dipegang oleh sejarawan.
Pada akhir kuliah Teknik Studi, mahasiswa diwajibkan menulis makalah dengan tema menurut pilihan sendiri. Karena belum banyak memiliki pengetahuan kesejarahan yang cukup, saya menulis tentang Ismail Marzuki, komponis yang banyak melahirkan karya-karya berlatar belakang perang kemerdekaan. Sebetulnya saya baru meraba-raba dan menafsirkan sendiri, dengan keterbatasan seorang mahasiswa semester pertama. Pengetahuan saya tentang Ismail Marzuki ini lebih didasari atas pengalaman sebagai anggota paduan suara di SMA yang banyak mempelajari karya-karya komponis yang orang Betawi ini. Untung saja, Soe-Hok-gie menganggap topik Ismail Marzuki ini menarik karena dia ternyata peminat karya-karya sastra dan musik.

Berniat bikin klub buku
Dari sini saya lalu bisa melangkah ke perkenalan intelektual di luar kelas, tetapi tetap dalam konteks kampus. Suatu kali Soe-Hok-gie mengundang saya untuk ikut diskusi buku di suatu hari Sabtu. “Kita ngobrol aja dulu,” katanya. Saya tidak ingat berapa orang yang datang. Yang jelas, Hok-gie berniat membuka klub buku yang setiap bulan akan membahas satu buku, dan diharapkan menarik peminat. Jadi, tidak hanya naik gunung yang banyak mendapat peminat dan penggemar.
                Buku pertama yang akan dibahas bersama adalah karya Toha Mochtar, Pulang. Kebetulan saya sudah membaca buku ini semasa di SMA dan juga karyanya yang lain yang berjudul Daerah Tak Bertuan. Toha Mochtar adalah penulis yang banyak berkisah tentang suasana perang dan gejolak kemanusiaan di dalamnya. Novel Pulang berkisah tentang seorang heiho (pemuda Indonesia yang menjadi anggota pasukan tambahan tentara Jepang), yang setelah bertugas di Burma berhasil kembali pulang ke kampung halamannya. Bagaimana pengalaman kembali ke tanah air dalam suasana perang kemerdekaan setelah kekalahan Jepang menjadi plot cerita.
                Novel Daerah Tak Bertuan menceritakan suasana daerah perbatasan antara wilayah pendudukan Belanda/NICA dan daerah Republik yang dikuasai gerilyawan, dan bagaimana tokoh cerita yang menjadi komandan pasukan harus menghadapi berbagai ekses akibat perbenturan di dalam suasana chaos peperangan. Sekarang saya baru menyadari kenapa Hok-gie memulai diskusi buku dengan novel Toha Mochtar. Ketertarikannya pada hal-hal kemanusiaan, suasana perang dan suasana batin yang sering berbenturan, boleh jadi mencerminkan suasana batin seorang Soe Hok-gie yang gelisah dan galau melihat kehidupan sehari-hari, dekadensi pada masa akhir kekuasaan Soekarno.
Sayangnya, niat mendirikan klub buku itu tidak jalan, dan itu sudah terlihat sejak awal. Hari pertama diskusi tidak ada yang hadir. Saya jadi bengong sendirian, dan karena sesudah satu setengah jam menunggu tidak ada yang nongol di ruang pertemuan di lantai atas gedung I di Rawamangun, Hok-gie membubarkan acara sebelum dimulai. Saya tidak tahu apakah Hok-gie kecewa, atau mestinya dia menyadari bahwa untuk diskusi serius tidak banyak mahasiswa yang tertarik, sekalipun moto anak-anak Sastra UI adalah buku, pesta, dan cinta. Boleh jadi mereka lebih tertarik pada moto yang dibalik: pesta dan cinta. Kalau buku? Kapan-kapan saja, bila sempat.
Anehnya, ketika Hok-gie juga memperkenalkan kine klub malah lebih bisa berlangsung lama. Saya ingat, tidak hanya secara rutin kita menonton “art movies” itu di gedung teater Sastra UI di Rawamangun, tetapi kita juga mengembara ke berbagai kedutaan besar di Jakarta hanya untuk menonton film-film produksi negara bersangkutan. Rupanya kalau menonton film semua orang suka, tetapi mendiskusikan buku kalau tidak sempat atau tiada minat untuk membaca buku tersebut, buat apa. Seingat saya, sesudah pemutaran film tidak ada diskusi serius tentang film yang dibahas. Pernah satu kali, tapi karena hanya Soe Hok-gie yang berbicara jadi tidak serulah.
Walau Soe Hok-gie sudah tiada di bulan Desember 1969, saya pribadi masih meneruskan minat terhadap kine klub sampai tahun 1980-an di Taman Ismail Marzuki. Ketika tugas belajar di New York 1976–1977, saya juga ikut kine klub The Thousand Eyes yang punya gedung bioskop sendiri di Bleecker Street, di daerah Greenwich Village, di selatan Manhattan.
Sekarang saya juga bertanya kepada diri sendiri, kenapa saya semasa di SMA tidak pernah membaca tulisan-tulisan kolom Soe Hok-gie? Barangkali saya belum berminat pada masalah politik dan urusan sosial, karena lebih tertarik membaca cerita pendek asing terjemahan yang sering dimuat pada hari Sabtu di koran Sinar Harapan. Seingat saya, ada beberapa kali saya membaca tulisan Soe Hok-gie yang berkisah tentang kunjungannya di berbagai kampus di Amerika Serikat. Tetapi terus terang, saya tidak tertarik pada kolom yang ditulis Soe Hok-gie itu. Favorit saya waktu itu adalah kolom tentang kehidupan kampus di Amerika Serikat yang ditulis oleh wartawan Yozar Anwar dan dimuat lebih dulu di Sinar Harapan.
Hok-gie menyelesaikan skripsi dan ujian sarjana sejarahnya pada 12 Mei 1969, dan beberapa bulan kemudian ia menghadap Sang Khalik di Gunung Semeru. Aneh pula bahwa tidak pernah terpikir oleh saya untuk membaca skripsinya itu. Mungkin karena konsentrasi studi saya yang lebih kepada sejarah kaum minoritas di bawah pemerintah kolonial, sehingga tema-tema yang kontemporer tidaklah segera membuat saya tertarik untuk dengan segera mengamati periode ini. 
Tetapi untuk penulisan artikel ini saya harus menyimak dengan serius skripsi Soe Hok-gie, mengingat ini mungkin satu-satunya karya akademik yang ditulisnya sebagai seorang sejarawan. Juga karena Hok-gie lebih banyak menulis kolom-artikel dalam surat kabar dan majalah, maka ia lebih dikenal sebagai seorang kolumnis yang tajam, cerdas tetapi juga lugas.
 
Sumber gambar: http://gemalaputri.blogspot.com/2013/07/perjalanan-orang-orang-kiri.html

Skripsinya jadi buku
Skripsi Soe Hok-gie yang berjudul Simpang Kiri dari sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 menguraikan situasi politik menjelang pecahnya peristiwa Madiun September 1948; sebuah tema yang memerlukan keberanian untuk menuliskannya, mengingat skripsi itu diselesaikan pada pertengahan April dan diuji pada 12 Mei 1969, dengan hasil “menyenangkan”. Tema bahasan itu dengan berani diangkat oleh Soe Hok-gie ketika suasana pergantian rezim Soekarno ke Soeharto masih sangat kental; ketika topik tentang gerakan dan aliran sosialis-komunis yang diterjemahkan sebagai paham kiri dimunculkan di tengah suasana ‘anti’ segala yang berbau kiri dan komunis. Soe Hok-gie seperti Mohammad Hatta, Soebadio Sastrosatomo, Sumitro Djojohadikusumo, Semaun, dan beberapa lainnya adalah para pelaku (actor) yang sekaligus juga saksi sejarah (eyewitness).
                Dengan judul yang dibuat bernada alegoris, struktur dan organisasi penulisan yang dibuat oleh Soe Hok-gie juga berbeda dari kebanyakan karya akademik dalam bidang sejarah. Dimulai dengan tata-letak panggung sejarah (historical setting) yang menggambarkan situasi ideologis-organisasi partai-partai kiri (bab I sampai bab V), Hok-gie membangun klimaks cerita pada bab VI. Dengan diberi judul “Awal dan Akhirnya”. Konsentrasi pada peristiwa Madiun September 1948 itu diuraikan secara runtut. Di sini Hok-gie berhasil menggunakan uraian historis yang sangat pas bagi ‘proses sejarah sebagai peristiwa’ yang oleh Fernand Braudel, sejarawan Prancis, sebut sebagai pendekatan evenement.

                Tetapi saya juga “terpengaruh” oleh komentar almarhum Prof Harsya W. Bachtiar yang menaruh perhatian besar pada uraian tema sosial dengan pendekatan sejarah. Disertasi beliau, The Formation of the Indonesian Nation (Harvard University, 1972), berpegang pada perspektif sejarah yang sangat kental dalam latar belakang politik masa kolonial. Dalam suatu pertemuan di kantor beliau semasa menjadi Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, beliau berpendapat bahwa Soe Hok-gie itu seorang kolumnis yang baik, tetapi tidak sebagai sejarawan. Pendapat ini, baru saya ketahui kemudian, telah beliau ungkapkan dalam Kata Pengantar buku Soe Hok-gie, Catatan Seorang Pemuda Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Mandalawangi tahun 1972.

                “Soe Hok-gie tidak dapat dikatakan seorang sarjana dalam arti sempit, karena ia kurang sabar dalam mempelajari persoalan-persoalan sejarah secara teratur dan teliti. Memang benar ia berhasil menyelesaikan studinya, sehingga mendapat ijazah Sarjana Sastra dari universitasnya, Universitas Indonesia, tapi ia tak dapat dianggap seorang ahli sejarah yang baik.”

                Maka ketika membaca skripsi Soe Hok-gie saya lalu mencoba mencatat apakah memang betul bahwa Hok-gie itu kurang teliti. Kesimpulan yang saya dapat ternyata sama. Terutama karena Hok-gie tidak mau bersusah-payah menjelaskan latar belakang—sekalipun singkat—tentang apa yang menjadi pokok bahasan dalam setiap alinea yang dia tulis. Misalnya, ketika Muso datang kembali ke Indonesia tahun 1935 dan membentuk kelompok PKI Muda, atau PKI angkatan ’35, dia tidak merasa perlu untuk menjelaskan bahwa kelompok ini selanjutnya akan ditulis PKI 1935; atau ketika grup yang berasal dari Boven Digul kemudian ikut diungsikan ke Australia dan mereka membentuk Sarekat Indonesia Baru yang kemudian dikenal sebagai PKI SIBAR. Sama halnya ketika ia menulis tentang kelompok yang dipengaruhi oleh grup Van der Plas.
                Bahkan dia tidak merasa perlu menjelaskan siapa itu Charles van der Plas, perwira intelijen Belanda yang giat bergerak mempengaruhi aktivis muda Indonesia sejak zaman pendudukan Jepang, dan pada periode 1946–1949 menjadi orang kepercayaan Gubernur Jenderal HJ van Mook. Charles van der Plas juga memegang peranan penting dalam pembentukan negara-negara federal (Bijeenkomst voor Federal Overleg) di tahun 1946, sementara Republik Indonesia harus mencurahkan segenap kekuatan untuk menghadapi peperangan dengan Belanda.
                Soe Hok-gie juga tidak mau berpayah-payah mencantumkan tanggal-tahun secara lengkap dalam uraiannya, padahal ini merupakan hukum wajib bagi tulisan sejarah, mengingat sejarah bergerak dalam dimensi ruang dan waktu. Masih banyak lagi bagian-bagian dari skripsinya yang terlihat kurang lengkap, kurang rinci, sehingga membaca skripsi tersebut terasa ada “lubang-lubang” yang semestinya tidak muncul. Tetapi tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengupas hal tersebut menjadi ulasan buku.
                Hal lain lagi adalah ekspresi dan gaya bahasa. Hok-gie terlihat banyak dipengaruhi oleh kebiasaan menulis kolom di surat kabar dan majalah. Kalimat yang singkat dan pendek, melompat-lompat, seringkali tidak cukup untuk menjelaskan suatu konsep atau analisis. Belum lagi struktur bahasa yang tidak bisa menyembunyikan latar belakang budayanya sebagai warga Cina peranakan. Sebagaimana diketahui, komunitas peranakan menumbuhkan gaya bahasa Melayu-Pasar yang sudah terlebih dahulu hidup berkembang, di masyarakat sebelum Bahasa Indonesia modern muncul di tahun 1920-an.
                Maka tidak heran pula jika Hok-gie banyak sekali menggunakan kata-kata asing yang tidak perlu, banyak memakai tanda petik “…”, juga menulis dalam tanda kurung yang sebetulnya dapat digabungkan dalam kalimat, dan memberi komentar dalam tanda kurung yang sebetulnya pantang dilakukan dalam sebuah karya akademik di bidang sejarah. Repotnya lagi, terlalu banyak digunakan kata daripada, daripada, daripada… yang seharusnya ditulis dari, bahkan bisa dihilangkan karena tidak perlu.
                Ketika mengetahui bahwa skripsi ini juga diterbitkan, mau tidak mau saya juga terpaksa harus membandingkan antara teks ketikan dan teks yang diterbitkan. Dengan judul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, dicetak pertama kali pada Juli 1997 dan cetakan kedua Juni 2005, buku ini ternyata juga membuat kesalahan dan kekeliruan yang sama sekali tidak mampu mengangkat nilai skripsi Soe Hok-gie.
Tambahan judul itu menurut saya salah menafsirkan pokok bahasan skripsi Soe Hok-gie, karena Hok-gie tidak melulu berbicara tentang orang-orang yang beraliran kiri. Skripsi itu sebenarnya lebih banyak menekankan pada pergumulan gagasan dan pemikiran tentang kemerdekaan yang baru diperoleh, tentang persaingan dan kejatuhan partai politik akibat dari pergulatan untuk memperoleh kekuasaan, tentang perdebatan mengenai strategi untuk menghadapi Belanda, dan persoalan sosial-politik yang mencapai puncak pada peristiwa Madiun 1948.
Itu pula sebabnya bab terakhir diberi judul Awal dan Akhirnya. Semestinya judul asli skripsi Soe Hok-gie itu dipertahankan, begitu juga dengan beberapa sub-judul yang diubah, padahal itu tidak perlu. Seperti misalnya, sub-judul dalam Bab IV: “Pertumbuhan Organisasi-Organisasi Komunis” yang dalam cetakan pertama dituliskan “Lampu Aladin yang Bermukjizat”, dan dalam cetakan kedua dituliskan “Mukjizat Lampu Aladin”. Soe Hok-gie sangat pandai membuat judul karangan memikat yang cepat menarik perhatian pembacanya. Jadi, penggantian sub-judul itu malah mubazir.
Yang justru paling menyakitkan adalah penyuntingan dalam buku Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, baik pada cetakan pertama (Juli 1997) maupun cetakan kedua (Juni 2005). Ketika saya simak lebih lanjut, penyuntingan hanya pada penggantian ejaan dan menghilangkan atau mengganti kata daripada-daripada, kadang ada pula sisipan kata di sana-sini. Tetapi materi yang semestinya ditambah atau diisi dibiarkan, bahkan kesalahan istilah yang digunakan Hok-gie seperti ‘perang kolonial I’, semestinya ‘Agresi Militer I Juli 1947’, tetap ada (cetakan pertama, hal. 124; cetakan kedua, hal. 126).
Paling fatal adalah istilah kesejarahan yang tidak diperbaiki, karena kemungkinan besar hanya salah ketik dan Hok-gie tidak cukup telaten untuk memperbaikinya. Contohnya, ‘putsch’. Kata yang berasal dari bahasa Jerman untuk menunjukkan “an attempt at political revolution; a violent uprising” (Oxford English Reference Dictionary, edisi revisi, 2003), yang lebih populer diartikan sebagai kudeta, tetapi dituliskan putch (cetakan pertama, hal. 60, 75, cetakan kedua, hal. 62, 64, 78). Apa arti kata putch itu tidak saya temukan di kamus bahasa Inggris, bahasa Jerman, ataupun bahasa Belanda.
Entah kenapa, Hok-gie gemar sekali menggunakan ekspresi ataupun kata-kata asing yang seringkali juga salah kaprah dan salah tempat. Contohnya, ketika membicarakan soal rasionalisasi di lingkungan TNI tahun 1948 Hok-gie menuliskan perwira cadangan (opsir reserve), kalau dalam bahasa Belanda semestinya ditulis reserve officer. Ini juga tidak diperbaiki oleh penyunting buku (cetakan pertama, hal. 194, 196; cetakan kedua, hal. 199, 201). Satu lagi, ekspresi yang dimaksudkan untuk ‘menyelamatkan muka’ atau sering disebut ‘agar tidak kehilangan muka’, pada bagian tentang perubahan yang terjadi dalam gerakan sayap kiri, Hok-gie menuliskan “saving face”, yang semestinya adalah cara ‘face-saving’ agar yang bersangkutan tidak kehilangan reputasi dan kredibilitasnya (Oxford English Reference Dictionary, 2003).
Penyunting buku juga tidak mau berpayah-payah untuk memeriksa apakah ekspresi itu sudah betul penulisannya, jadi, ya, tetap saja saving face (cetakan pertama, hal. 171, 173, 205; cetakan kedua, hal. 175, 178, 211). Ada terlalu banyak kesalahan yang cukup fatal akibat keteledoran (atau kemalasan?) penyunting buku penerbitan skripsi Soe Hok-gie ini. Walau rasanya tidak perlu berpanjang-panjang membongkar kesalahan-kesalahan tersebut, masih ada satu hal yang perlu saya ungkapkan di sini. Penulisan kata ‘front’ yang diubah menjadi “fron”, baik dalam isi naskah dan terutama pada Daftar Isi, yaitu pada bab V sub-judul “Pemerintah fron (sic!) Nasional di Madiun”, pada cetakan pertama maupun cetakan kedua.
Front Nasional adalah nama diri, nama gerakan, yang pada tahun 1960-an malah menjadi suatu organisasi besar yang berkantor di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Front artinya garis depan, medan pertempuran, dan yang tepat dalam konteks ini adalah gerakan kesatuan atau gerakan bersama untuk mencapai suatu tujuan politik atau idelogi. Sementara kata “fron” yang digunakan dalam buku tersebut adalah istilah dalam bidang meteorologi, yang artinya permukaan pemisah antara dua macam massa udara (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, 2005). Paling akhir, dalam Daftar Isi cetakan kedua tahun 2005, tertera “Bab Lima: Mimpi-mimpi Indah yang telah berakhir” dan di bawahnya ditulis kembali “Bab Lima: Awal dan Akhirnya”, yang seharusnya adalah Bab VI. Bukan main kerja penyunting buku ini!
Hok-gie sudah pergi sejak 40 tahun yang lalu. John Maxwell menulis disertasi tentang dirinya, Soe Hok-gie: A Biography of Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997). Versi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti, Soe Hok-gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani (2001). Buku hariannya, Catatan Seorang Demonstran yang diterbitkan dengan penyuntingan oleh LP3ES telah mencapai cetakan ke-7 (tahun 2005). Beberapa tahun yang lalu film tentang dirinya diproduksi, GIE (Miles Production, 2005) dan dipuji banyak orang. Maka jadilah Hok-gie sebuah ikon gerakan mahasiswa, ikon orang muda. Dia menjadi terlalu populer, nyaris menjadi idola tanpa cacat.
Bisa dibayangkan, kalau saja sampai hari ini dia masih berada di tengah-tengah kita, boleh jadi Hok-gie menjadi seorang selebriti. Akankah dia tergiur dengan ketenaran, ataukah dia akan tetap kritis terhadap situasi politik hari ini, terharu menyaksikan banyak warga yang masih didera kemiskinan, nyaris melarat, menganggur, sementara gedung pencakar langit bertebaran di mana-mana. Tetapi saya tidak tahu apakah dia akan lebih memilih menjadi seorang kolumnis yang tajam, meledak-ledak, ataukah dia akan tercatat sebagai seorang sejarawan yang piawai dalam merangkum-menuliskan fakta sejarah menjadi sebuah ‘thriller’.

*) Disalin dari buku Soe Hok-gie …sekali lagi Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya (Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R. [ed.]). Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia. Cetakan kedua, Januari 2010 (Halaman 389–400).