Selasa, 03 Desember 2013

AYU TING-TING DAN BAHASA TELEVISI KITA



Oleh Robertus Rony Setiawan

MALAM HARI. Jarum jam dinding mengarah ke pukul sembilan. Dua bersaudara Budi dan Badu sedang menonton televisi. Mereka menyimak program bincang-bincang (talkshow) Hitam Putih.
Ada yang berbeda dari Hitam Putih episode Selasa, 12 November 2013, itu. Si “tuan rumah” Deddy Corbuzier kedatangan tamu spesial. Dia adalah penyanyi dangdut belia, Ayu Ting-Ting.
“Ke mana, ke mana… ke mana… Kuharus mencari ke mana…,” begitu lantunannya yang paling akrab di telinga Badu. Badu menggemari musik dangdut sejak biduan cantik itu moncer karena lagu Alamat Palsu. Namun, kali itu Ayu Ting-Ting membuka acara Hitam Putih dengan nyanyian lain. “I am single and I am happy…” begitu pokok tembang yang ia suarakan dengan mulut, kerongkongan, dada, hati, dan… barangkali juga, perutnya.
“Ada apa dengan Ayu?” Budi mengamat-amati penampilan fisik Ayu Ting-Ting.
Ternyata perbincangan Ayu dan Deddy Corbuzier malam itu mengulik kabar burung yang tersebar di media infotainment soal kehamilan Ayu. Mereka berbincang dalam keramahan yang agak kacau. Dengan tutur kata pelan tapi konfirmatif, Deddy bertanya, “Ini Ayu beneran bunting? Terus siapa yang tanggung jawab?”
Setengah grogi dan cemas, Ayu tampak membelalak. Sejurus kemudian ia tersenyum tersipu menanggapi pertanyaan Deddy. Namun karena Deddy bertanya lagi guna mencari jawaban pasti, Ayu lalu melempar pandang ke arah penonton di studio sambil menukas keras, “Iye, gue bunting. Puas, puas loe, puas…?!”
Budi lalu berkata seperti memvonis, “Wah, Deddy sama Ayu kok kasar banget sih, ngomongnya.”
“Kasar gimana, Bang?” Badu menyahut.
“Kenapa mesti pakai ‘bunting’ sih kalau mau bilang ‘hamil’?”
“Emang kenapa, Bang?”
“Kan jelas tha, ‘bunting’ itu terkesan…” Budi hendak menjelaskan tapi terhenti untuk berpikir sebentar. Ia berdehem pelan lalu berkata, “Lebih rendah dari kata yang lain, misalnya ada ‘hamil’, ‘mengandung’, atau ‘berbadan dua’. Kok mesti pakai kata ‘bunting’?”
“Eh, bener juga, Bang. Iya ya, kedengaran aneh gitu bilang bun…”
“Bunting, bunting! Apa itu!” Budi yang kesal mengulang-ulang mengucapkan kata yang banyak dicelotehkan Deddy dan Ayu dari kotak ajaib itu.
Budi menggeleng-geleng. Badu, isi kepalanya berputar-putar, lalu berujar.
“Bang, tahan sebentar. Kayaknya lumrah aja kalau mengucapkan bunting, apalagi buat mereka yang siaran dari Jakarta ini. Saluran TV-nya kan dari Jakarta. Nah, Badu dulu ada teman asli Betawi. Waktu Badu ikut dia main ke Salemba, Jakarta, dia biasa tuh ke teman-temannya ngomong bunting-bunting begitu…”
“Oh, ya? Tapi kan…”
“Terus gini, Bang, ini kan Ini kan acara talkshow, bincang-bincang. Jadi kalimatnya pakai bahasa lisan. Lebih langsung, keluar aja dari pikiran ke mulut. Enggak kayak Abang yang biasa pakai bahasa tulis, harus benar dan baik sesuai ejaan, sesuai aturan. Sesuai rambu-rambu, lampu merah, kuning, hijau, belok kiri…”
“Hei, mulai ya kamu ngeledek terus, ha?!” Budi naik pitam.
Badu cekikikan menahan tawa. “Abis, Abang terlalu serius sih…”
“Bukan begitu, Badu. Bahasanya itu, lho. Kalau ada yang lebih baik dan pantas kenapa tidak dipakai sih…”
“Ya, ya, betul. Tapi Bang, program di tivi kan juga banyak disiarkan langsung, kayak Hitam Putih ini.” Badu terlihat tak sabar menunggu Ayu Ting-Ting yang bersiap menyanyi lagi. Ditekannya tombol VOLUME pada remote yang ia genggam.
“Mana remote-nya, sini!” Budi terganggu dengan suara televisi yang bertambah keras.
Eits…” Badu menjauhkan remote dari jangkauan abangnya. Dia lalu meneruskan, “Jadi ya.., bahasa lisan beda dari bahasa tulisan yang kalau keliru, kata-katanya harus dipilih-pilih, diganti lagi, diedit, diperbaiki. Hah, mana sempat, Bang!”
“Sempat atau tidak sempat menyunting kata-kata, bukan sesederhana itu masalahnya, Badu.”
Badu diam, enggan menanggapi lagi omongan abangnya. Tapi itu justru memberi kesempatan Budi menjelaskan gagasannya.
“Sesuatu yang tidak sempat itu bisa jadi kebiasaan buruk. Tidak sempat bisa menjadi tidak biasa, termasuk tidak sempat memperbaiki kekeliruan pemakaian kata dan tata bahasa. Jangankan Deddy Corbuzier, politisi DPR bahkan Presiden pun ucapannya sering acak-adul. Kamu ingat…”
“Aaaah…, berisik,” Badu memotong. “Sudah tahu, Bang. Badu tahu, mengerti, juga paham bahwa masalah sebenarnya, orang yang punya pemikiran bagus macam Abang ini jumlahnya langka sekali!”
Budi terkejut mematung mendengar ucapan adiknya. Sementara Badu melengos dari muka kakaknya, seperti ingin pergi.
Budi mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menenangkan situasi. Dia ambil remote yang ditaruh Badu di atas meja. Dia pilih saluran stasiun TV lainnya. Hanya sebentar memencet-mencet tombol remote, Budi terkejut. Dia saksikan sepasang presenter dalam bahasa Indonesia berulang kali berucap: Caina, Caina… mmm… bla…bla… Caina… dan…
“Caina, Caina, Caina! Apa, apa-apaan ini…?! Cina!” Budi setengah berseru tapi suaranya seperti memekik.
“Kenapa, Bang? Kok malah teriak-teriak seperti kena siram air panas. Santai.”
“Itu lho, aduh. Payah, bubrah!”
“Seperti abang sering bilang, ‘Media massa sudah merusak bahasa Indonesia’?” Badu menerka maksud abangnya.
“Bukan cuma itu, Du, ternyata…” Tenggorokan Budi tercekat saat ia lihat lagi kata-kata yang menurutnya asal-asalan karena tidak patuh ejaan. Tidak yang seharusnya seperti ia dapatkan saat belajar menulis di pers kampus dulu. Kalimat sampai kata-kata terpendek harus sesuai EYD, KBBI, Tesaurus, dan pedoman berbahasa Indonesia yang baik lainnya.
“Ah! Bahasa Indonesia macam mana ini? Aaaah.., Badu, ternyata televisi sudah payah betul! Tidak hanya merusak, tapi juga memporandakan bahasa kita!”
Dada Budi berdegup keras, sekali dia menahan napas. Badu diam, hanya memegang remote sementara pikirannya bertanya, “Bahasa kita? Kita siapa?”
“Sini,” Budi merenggut remote. Dia tekan tombol POWER. Televisi mati. Sunyi. Tinggal sebuah kotak ajaib yang tiba-tiba seperti berkata, “Aku kesepian. Nyalain aku dong…”[] 

Manggung, Yogyakarta, November 2013.