Sabtu, 31 Desember 2022

Kehilangan

Hariku tidak bersamanya lagi.

Dia telah pergi…, ataukah aku yang meninggalkannya.

Tak sengaja atau tak sadar meninggalkannya.

 

Pastinya, aku menanggalkannya. Lalu lalai, dan tak lagi menggamitnya.

Segera meninggalkannya, tanpa benar-benar mengawasi pandanganku darinya.

Lagi, aku seakan harus mengejar waktu, atau sesuatu, tapi seperti tanpa beban menanggalkan yang kumiliki, yang kubawa dan kukenakan selama perjalanan.

 

Mereka yang pergi, dan tinggal aku yang merasa kehilangan:

Sepasang sandal.

Topi.

Kacamata.

Tumbler atawa botol minum.

Sebuah buku puisi Mas Kiki.

Setumpuk buku terbitan organisasi kampus.

Mungkin akan ada yang lain… juga kekasih.

Aku ingin berhenti. Please, stop!

 

Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi, kataku suatu kali kepada mantan kekasih.

 

Akhirnya sampai aku menuliskan ini, aku belum bebas dari penyakit lupa dan komplikasinya.

Hingga aku berkesimpulan, bahwa:

Hidup hanya menunda kehilangan…

atau menunggumu hilang ingatan

dan menyadari betapa ruginya lalai, lupa,

dan lain-lain polah laku atas nama “ketinggalan”.

 

Kehilangan ini membuatku tak lagi bersamanya. Kehilangan ini juga menegurku pada pepatah-petitih yang kucatat beberapa tahun silam.

“Jangan pernah menanggalkan sesuatu dengan sengaja untuk waktu lama tanpa menitipkannya

pada seseorang yang kaupercaya.”

 

Seperti pedang-pedangan yang dititipkan Kukuh, teman setimku, padaku.

Sembari memberikannya padaku untuk kubawa pulang, dia berpesan, “Gua percayain ini untuk lu bawa ya.”

 

Oke, kataku. Sedang sejurus kemudian aku kerepotan karena harus membawa dua properti:

pengganti pedang-pedangan dari rotan milikku, dan pedang-pedangan kayu dari Kukuh.

Berangkat latihan teater aku membawa satu pedang, saat pulang membawa dua.

 

Di Karet, di Karet, tempat aku latihan teater sekarang.

Dari Karet, dari Karet. Aku membawa dua pedang.

 

Nah, sesampai di rumah di Pasar Minggu, aku baru mendapat kabar:

Tas wadah pakaianku ketinggalan. Aku biasa membawa dua tas: satu tas punggung, satu tas cangklong.

 

Aku masih belum awas dengan apa-apa yang kupunya.

Ataukah aku masih meleng dengan pikiranku.

Aku seperti butuh tenaga pengingat ‘reminder’ buat mengingatkan:

Segala yang kita punya memang tidak abadi, tetapi selama masih di dunia marilah sedikit lebih menghargai.


Selamat Tahun Baru 2023

5 November 2022, 31 Desember 2022
/RR/




Minggu, 06 November 2022

Panggung 'Sindirwara', Buku Terbaruku Untukmu

“Jika drama hanya hiburan dan menafikan tuntunan, barangkali ia kehilangan jati dirinya. Ia tidak merambah terra incognita, yakni ruang-ruang yang tak terjamah.”




Judul:     Panggung ‘Sindirwara’: Catatan Tentang Film dan Seni Pertunjukan
Penerbit:     Jual Buku Sastra @penerbitjbs
Ukuran:     13 x 19 cm, bookpaper
Tebal:     138 halaman, softcover, pembatas buku
Terbit:     November 2022
ISBN:     978-623-7904-56-4


Buku ini bacaan “jalang”. Dari kumpulan catatan, ulasan, penelitian, timbangan, dan esai-esai ia dihadirkan. Biar bisa menembus tudung kepalamu dengan cukup baik, mereka disusun, diramu, ditulis ulang, menjadi sebuah antologi esai. Mereka tersimpan dalam rentang sekira sepuluh tahun. Aku merasa ada yang menguntitku setiap kali sepulang menonton, selepas turun dari panggung pertunjukan, sesudah cekat ngeri menyisakan berkas cemas tapi juga sembul harap.

Setelah kata-kata dipakaikan kerangka perasaan dan pikiran, aku menganggitnya lebih baik bersama tangan terampil sejumlah kenalan dan teman (beberapa kusebut namanya dalam prakata buku ini). Mereka yang turut berbagi cerita pengalaman adalah juga kesempatan baik bagiku untuk terus menulis.

Penerbitan buku ini merupakan sebagian “jalan ninja” yang aku dan mungkin juga beberapa teman-teman lain pilih. Ia didorong sebuah repihan motivasi. Dari depan panggung dan layar, sesudah peristiwa pertunjukan digelar, penggalan kisah kehidupan manusia terlalu berharga bila dilewatkan tanpa pemaknaan. 

Bersama lima sekawan Vladimir, Estragon, Pozzon, Lucky, dan Boy, semoga aku dan kamu dapat berpikir ulang atas sesuatu atau situasi tidak pasti bernama “Godot”--yang sesungguhnya menawarkan peluang baik. Sebuah ikhtiar yang sudah dan akan selalu diperlihatkan oleh inovasi-inovasi sajian seni pertunjukan mutakhir. 

Jika Anda ingin mendapatkan buku ini, silakan memesan via WhatsApp dengan klik https://tinyurl.com/PanggungSindirwara. Selamat membaca, dan semoga berkenan.


Minggu, 12 Juni 2022

Perihal 'Di Sini' dan 'Saat Ini'

by @ronirobert


Sekurang-kurangnya lima hari dalam sepekan dan seperempat dari 24 jam dalam sehari, kita bekerja. Di kantor atau di rumah. Di balik bilik berpendingin 20 derajat Celcius, atau hanya dengan AC alias angin cepoi-cepoi nan alami bila tidak ada kipas angin.

Dalam 24/7 itu, alur hidup kita selalu dilingkungi latar ruang dan waktu. Di teras atau belakang rumah. Di ruang tamu atau kamar mandi. Di Sayidan, atau di jalanan (tuangkan air kedamaian!).

Jika perihal waktu yang lebih abstrak sulit untuk kita kendalikan, saya rasa kita bisa perlahan belajar hidup #hereandnow dengan menyadari lebih dahulu keberadaan ruang. Di mana saya berada sekarang: Ada apa di depan saya, siapa di samping atau belakang saya, apa yang saya pakai-duduki-injak, hingga… bau apa yang muncul menyengat agak jauh dari seberang saya itu?

Lalu, mengapakah saya di sini? Apa tujuan saya sekarang? Bisakah masa lalu benar-benar ditanggalkan barang sejenak, agar saya dapat memilih. Saya mau di sini sepenuh-penuhnya, bersama apa-apa yang ada di sekitar saya, siapa saja di dekat saya, dan hal-hal apa saja yang bisa saya kontrol.

Ya, begitulah yang saya alami bila hendak “membumi” dengan kondisi saat ini. Waktu beserta pengalaman-pengalaman, kesan, dan nilai-nilai yang melekat di dalamnya mungkin berat untuk dilepaskan begitu saja. Tetapi itu perlahan cukup kita diamkan saja, dan kita mulai alihkan perhatian pada hal yang terdekat dengan kita secara fisik dan inderawi.

Sebelum mengalami “saat ini”, ternyata kita harus benar-benar sadar dengan situasi “di sini”. Perhatikan kembali derap napas, atur perlahan, dan rasakan tubuhmu. Amati. Dengarkan. Lihat sekitarmu, ruang yang mengitarimu. Ambil napas, lepaskan. Sunggingkan senyum. Napas. Lepas.

Selamat melaksanakan aktivitas Anda, dan tetap semangat!

#2022TernyataCinta #hereandnow #harmoni #cinta #kedamaian


Senin, 03 Januari 2022

Sepanjang 2021, Sembilan Buku


Buku-buku baik menjadi berkesan karena menemui momentumnya, atau dibaca oleh seseorang pada waktu yang tepat. Ia berkesan dan bermanfaat ketika pembacanya merasa sedang membutuhkan sesuatu, baik itu petunjuk atau saran, informasi aktual, hingga pelepasan dari kejenuhan (yang tak sebatas jenuh secara psikis) atau fungsi rekreasi.

Pada 2021, saya menemui setidaknya 9 bacaan favorit. Ada beberapa buku lain, termasuk yang saya akses lewat platform membaca daring atau laman. Kali ini saya uraikan pengalaman dan penilaian saya atas 9 buku cetak yang mengesankan bagi saya. Buku-buku ini sebagian besar terbitan lama, tapi baru saya baca di tahun bershio kerbau logam lalu.

Sedikitnya 9 buku yang bagi saya unik dan menyembulkan pesan-kesan cukup mendalam di benak. Pesan itu menyangkut isi buku dan cara penyajiannya. Kesan ialah apa yang saya alami saat membeli, membaca, dan meresapi isi bacaan ke dalam pikiran dan hati.


Janger Merah (Kalabuku, 2021)

Salah satu lakon teater yang ditulis dengan cara tidak biasa. Di antara begitu banyak naskah drama Indonesia, ada beragam teknik penyajian yang dipakai untuk menyampaikan cerita dan gagasan. Ada yang berkutat pada keutuhan gambaran tokoh-tokoh dan pergulatannya, atau bahkan hanya menggambarkan suasana demi suasana hingga meniadakan kejelasan sosok tokoh.

Janger Merah tidak. Penulisnya, Mas Ibed, menuturkan gagasan, cerita, dan proses penyusunan lakon ini menggunakan sudut pandang orang kedua. Dengan sapaan kepada pembaca: “Kau…”, “…-mu”, kita akan dibuat serta-merta larut dalam sebuah percakapan dengan penulis.

Pengisahan lakon Janger Merah bermuara pada perihal stigma penari janger sebagai simpatisan PKI di masa 1960-an. Alih-alih tak nyaman untuk “diasingkan” ke dalam sebuah cerita, saat membaca buku ini kamu—iya, kamu—akan asyik larut menjadi pendengar dan penonton. Ya, kita akan menjadi tak sebatas hanya pembaca. Penulis seakan memberi ruang kebebasan dan imajinasi kepada pembaca untuk turut menjadi semacam “sutradara sebuah pementasan teater”.

Keunikan lain buku ini menawarkan cara penulisan naskah drama yang ringkas tapi juga inovatif. Berbeda dengan naskah lakon-lakon pada umumnya yang ketat membedakan teks petunjuk pemanggungan (nebentext) dari cerita serta dialog-dialog (hauptext), Ibed S. Yuga menyajikan nebentext secara hemat. Sejauh kesan saya, pilihan-pilihan Ibed itu dilakukannya dengan cermat: bahwa ada dialog-dialog yang sudah kuat emosinya sehingga tak perlu ditambahi nebentext, sementara pembaca juga dipersilakan membangun imajinasi peristiwa (adegan-adegan) lain di benaknya masing-masing.

Sebagai sebuah lakon yang ditulis untuk tujuan dapat segera dipentaskan, Janger Merah hadir sebagai bacaan yang terasa komplit. Ia seru dan nikmat dibaca sebagai sastra, sekaligus langsung dapat dibayangkan dan tergambar di benak pembaca sebagai sebuah pertunjukan drama.



      Sepiring Moci & Marshmallow (Penerbit Rehal, 2020)

Di akhir 2020 saya mulai menggenggam buku ini dengan sebuah janji dari penerbitnya: “Dibaca sehari selesai.” Saya membacanya pada Januari, selesai sekitar 2 hari (karena membacanya di sela-sela beraktivitas yang lain).

Ini merupakan buku cerita berdasarkan pengalaman sehari-hari penulisnya, seorang guru taman kanak-kanak bagi siswa berkebutuhan khusus (autisme/ADHD/ disleksia). Bagi kamu yang sudah pernah menonton film “Taare Zameen Par” (diperankan oleh Aamir Khan), kira-kira ada sebagian irisan pengisahan tentang guru yang cukup sabar. Namun, buku ini lebih menyajikan keceriaan, kelucuan, dan sejumput kekonyolan. Buku ini unik karena disajikan berteknik penulisan dengan sebagian berupa percakapan layaknya skenario: antara guru dan murid, antarmurid, antarguru, juga murid dengan benda-benda di sekitarnya.

Cerita di buku ini lebih kental menghasilkan rasa lucu, ketimbang haru dari pengalaman guru yang cukup kewalahan dan mengorbankan diri untuk melatih anak-anak yang tak biasa. Buku ini menunjukkan: Pengalaman nyata seorang guru adalah juga guru yang paling baik.


Sejumlah Perkutut Buat Bapak (Diva Press, 2018)

Hanya ada satu Gunawan Maryanto. Hanya ada seorang Gunawan Maryanto yang mengenal jenis-jenis burung perkutut dari kegemaran ayahnya “bermain” dengan burung merdu itu. Hanya Mas Cindhil seorang yang dengan kepekaannya menangkap isu aktual dan memerangkapnya untuk diolah sejalin (atau tak sekelindan dengan) ciri-ciri setiap burung perkutut ke dalam puisi-puisi.

Beberapa penuturan dalam puisi-puisi di buku ini merupakan bagian dari kisah pewayangan dan berbahasa Jawa. Tapi kamu tak bakal sampai bingung memahaminya karena puisi Mas Cindhil—begitu ia biasa disapa—di sini cenderung membubung di ruang rasa.

Penulis mempersembahkan buku lama ini (pertama kali terbit 2010) untuk mengenang ayahandanya yang mendahuluinya pergi pada Agustus 2017. Sejumlah Perkutut buat Bapak dikemas dan diterbitkan kembali dengan desain sampul baru. Tentu Mas Cindhil, begitu aku menyapanya, sudah berbahagia kembali bersama sang bapak di tempat istirahat sisi-Nya yang terbaik.














Frank Sinatra Kena Selesma (BaNANA, 2021)

Salah satu buku yang sejak lama ingin saya baca, tapi baru kesampaian saat mengikuti kelas Jurnalisme Narasi oleh Yayasan Pantau. Selain kisah tentang penyanyi Frank Sinatra—yang dijumpai oleh Gay Talese sedang sakit pilek, ada pula rekaman petinju legendaris Muhammad Ali di masa tuanya.

Ali dan Frank sama-sama digambarkan menampilkan keutuhan diri selaku manusia: di balik kementerengan pamor dan prestasi, mereka punya sisi lemah.

Ali, sekalipun parkinson, masih mencoba berjalan tanpa alat bantu untuk menghadapi pertemuan di muka umum. Frank mengungkap harapan-harapannya atas perkembangan anak dan kerabat-kerabatnya. Bersama kisah lain tentang tanaman anggrek, cerita di buku ini ditulis dengan semangat jurnalisme narasi. Bertutur, fakta diolah dengan pengisahan, dan diproses dalam liputan yang memakan waktu cukup banyak. Buku ini dapat jadi pegangan untuk contoh menulis feature humanis panjang yang tak menjemukan, bahkan menarik perhatian untuk dibaca hingga tuntas.



8 Depa dari Layar
(Pabrikultur dan Nulisbuku.com, 2021)

Buku ini saya dapatkan sebagai hadiah setelah saya menampilkan pembacaan salah satu puisi karangan Salman Aristo, penulisnya. Mas Aristo menuliskan sajak-sajak yang dihasilkannya sebagai kesan seusai menonton beberapa film. Sebuah proses yang menarik dan menjanjikan ketegangan antara asa, keluhan, dan kesan lain sesudah layar bioskop ditutup atau saat teks credit title bergulir.

Buku kecil ini enteng banget buat diselipkan di tas pinggang, seenteng saya membaca sebagian besar sajak yang ditulis ringkas. Beberapa film yang menjadi rujukan atau titik berangkat penulisan sajak ialah, “Perempuan Tanah Jahanam”, “Hiruk-Pikuk Si Alkisah (The Science of Fictions)”, “Taxi Driver”, dan “La La Land”.











Kisah-Kisah Empat Negara (Pustaka Jaya, 1982)

Tahun 2021 merupakan kali pertama saya membaca karya “sastra Arab” ini. Berisikan cerpen dari empat negara: Suria, Irak, Libanon, dan Palestina. Dalam buku tipis dan mungil ini, sebagian besar memuat cerpen bersuasana haru: tentang anak yang terhanyut oleh gulungan air bah sehingga berpisah dengan sang ayah, atau juga kemiskinan yang menyempil dalam persahabatan dua lelaki dewasa.

Membaca buku ini membutuhkan kesabaran karena tak jarang menyita emosi sedih, tetapi membuat kita empati kepada nasib yang dialami para tokohnya.

Ali Audah adalah satu dari sedikit penerjemah sastra berbahasa Arab yang produktif berkarya. Selain Kisah-Kisah Empat Negara (1982), lelaki kelahiran Bondowoso itu juga menerjemahkan buku Lereng Bukit: Sebuah Kisah dari Palestina (1960), Genta Daerah Wadi (1967), dan Sejarah Hidup Muhammad (1972).


      Tak Hanya Diam (Tollelegi, 2011)

Cukup lama saya tak membaca buku renungan karangan biarawan/wati. Suatu kali menemukan unggahan foto seorang penggemar grup musik Padi di Instagram, saya mencari buku ini di toko daring. Baru pada akhir November 2021 saya memesannya, dan membacanya saat di perjalanan kereta rel listrik Jabodetabek.

Pastor penulis buku ini menghimpun sejumlah renungannya yang melintasi sejumlah isu: politik parlemen yang abai kepentingan wong cilik, persiapan pribadi di masa menyambut hari raya Natal, gambaran imaji Maria sebagai “mahadewi”, hingga nilai kemanusiaan yang mesti dihidupi oleh komunitas orang beriman.

Beberapa bab ditulis dengan mencuplik judul lagu-lagu grup musik favorit saya, Padi. Di antaranya ialah “Save My Soul”, “Sobat”, “Tak Hanya Diam”, dan “Mahadewi”. Kemungkinan besar pastur penulisnya adalah Sobat Padi juga. Dalam salah satu bab, dia menyebutkan bahwa Padi bukanlah sebuah kumpulan orang sembarangan, melainkan seniman berkualitas tinggi.



      How to Respect Myself; Seni Menghargai Diri Sendiri (Transmedia Pustaka, 2021, edisi terjemahan, cetakan kedua)

Tergiur dengan embel-embel “best seller di Korea Selatan”, saya menandai buku ini sebagai calon komoditas yang akan saya beli di toko daring. Pengalaman berkesan selanjutnya, saya malah mendapati cetakan buku ini amat buruk: jenis kertas semacam kertas buram, cetakan huruf seperti hasil fotokopian, dan sampul muka amat tipis. Ah, sial, buku bajakan.

Saya menyesal, tetapi tetap jua saya baca. Menjelang akhir tahun lalu, saya membaca buku ini dan menemukan sejumlah trik yang dapat langsung diterapkan untuk mengenali dan memperbaiki kelemahan diri. Beberapa hal di antaranya, tentang mengelola dinamika emosi hangat dan emosi dingin, juga saran praktis untuk melawan rasa malas atau keluar dari kebiasaan buruk.

Mudah dibaca, gampang diterapkan. Saya kira saya akan lebih berterima kasih kepada penulis dan penerjemah buku ini bila saja saya membeli buku asli dari penerbit pionirnya.












Suara yang Lebih Keras; Catatan dari Makam Tan Malaka
(Footnote Press, 2021)

Judul ini adalah buku terakhir yang saya beli secara tatap muka pada 2021. Saya membelinya di usaha penerbitan independen milik Mas Indrian Koto di Yogyakarta, November lalu.

Menyedihkan tapi juga kesal mengetahui bahwa sosok Tan Malaka masih dipolitisasi oleh sejumlah kalangan hingga di era pemerintahan Presiden Jokowi. Bahkan upaya menutupi kelayakan Tan Malaka untuk dianugerahi gelar pahlawan itu menyusup hingga ke produk budaya berupa film layar lebar.

Biang keroknya ialah stigma aktivis komunisme atau gerakan Partai Komunis Indonesia yang telanjur dilekatkan pada diri Tan Malaka. Memang, sejarah ala pemerintahan Orde Baru yang bercokol tiga dekade lebih amat menentukan citra buruk Tan sebagai “pengkhianat bangsa”.

Padahal Tan Malaka ialah salah satu dari empat pendiri bangsa Indonesia selain Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Hanya saja, dibanding tiga lainnya yang lebih moderat dan via perundingan, Tan menggelorakan semangat kemerdekaan lewat jalur pemberontakan.



Menariknya, buku ini diolah dari hasil riset tesis Heru Joni Putra untuk kelulusan dari prodi Cultural Studies, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Maka sejumlah penyesuaian penuturan hasil riset dilakukan agar menjelma bacaan yang dapat diterima khalayak luas. Setelah menuliskan konten ini, saya akan melanjutkan membaca buku ini demi menjawab pertanyaan penting: Seberapa penting penyematan gelar pahlawan di Indonesia?

Akhirul kalam, saya lapar. Jangan lupakan saran Tan Malaka: “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”[]

(Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 4 Januari 2022.)