Rabu, 19 Desember 2012

Hujan Bulan Lalu


Kapan terakhir kali kau memakai payung?
Saat malam kau menghujaniku dengan satu pembicaraan yang ku tak tahu sebelumnya
Aku benar-benar merasa seperti baru saja berjumpa denganmu

Kala hujan datang mengguyur ingatanku, kau saat itu berada di sisiku
Kau berkata, ku bertanya-tanya, kau tenang menyimak, ku riang membagi aliran kata beriak
Sedang di sana, di seberang duduk kita, hujan berbicara lain
Tentang mengapa sudah dua bulan tiada pelangi saat mereka tak letih menuruni bumi

Kau sedang sedu. Tampak  dari raut wajahmu
Kau merindu. Kira begitu pikirku atau kau larut lamunan kisahku
Kosong, terisi

Masih kucerita dalam derit-derit berita hari itu
Tentang Presiden membuka gerai mobil baru
Tapi tak kita tahu buat apa mobil di kota besar sedang sumpek lagi jalannya
Ah, kataku, aneh bukan, sambungku
Kau termangu, mengangguk pelan, menyahut lembut
Kau setuju atau tak mau tahu, atau kau tahu dan kau malu menyanggah omonganku
Kosong, terisi

Lalu kau kehujanan, hujan kata-kata kosong yang tak kau pahami apa isinya
Kau kehujanan dengan terbasahi ujaran dalam dadamu yang tak kuasa menampung perasaan
Kau kehujanan… kehujanan saat payung yang kutudungkan atas kepala kita merdu lagunya

Rintik hujan bulan itu, lantunkan nada abadi untuk sepasang ciptaan terindah
Titik yang berbintik corekkan ingatan baik walau setitik
“Titik.. titik hujan… masih membasahi… kala kau menyapa pelangiku…” *)
Adakah suatu apa menyanyi?
Hujan bernyanyi, sebutmu
Kau bernyanyi, tahuku
Tidak, kami…

Adakah hujan memintamu menadahkan tangan melindungi rambut indahmu?
Hujan deras bulan itu
Kau hampiri aku dalam genggam hangat
Sesaat kita berhadapan, sedepa kita melangkahkan
Kaki-kaki kita, harap-harap kita, hujan kita
Di hujan bulan lalu

6 Desember 2012


* ) Penggalan lirik lagu Sherina Munaf, “Pelangiku”.

                                                    Sumber gambar: flashradiountirta.com


Selasa, 27 November 2012

Rela Lila Tresna


Lila itu ungu muda.
Lainnya, rela.
Tresna itu dikau, Cinta.

Dan akhirnya aku jatuh cinta
tidak, aku benar-benar kembali jatuh, tapi juga bangun. Berdiri.
Karena cinta bukan membuat lemah, melainkan kuat. Menguatkan. Menggugah jiwa.

Siapa yang tidak merasakannya: mereka yang tidak merasa cinta.
Atau yang tak menggores warna pada selembar nan putih.

Siapa suka mewarnai?
Mereka yang punya cinta.
Aku adalah alat mewarnai.
Warnanya bisa apa-apa, atau satu apa. Itu cinta, akulah jua.

Maka putih kertas sungguh bukan warna-warni, ia mengungkap perasaan.
Warna cinta. Tidak jambon, merah hati, pula biru.

Seperti itu pula cinta yang mengisi, tidak satu rupanya.
Ia laiknya air, menyesuaikan ruang wadahnya.

Sering kita dipenuhi keinginan tak tentu. Sudahkah kita mencarikan celah untuk menghentikan keinginan semu?
Belanja, sebut saja.
Kita tak sadar dibuat beku oleh seseorang yang selalu menjajakan barangnya.
Kita mau tanpa mengerti: mengapa atau perlukah.

Baiklah kita kemudian mengisinya oleh cinta.
Dari Yang Kuasa, Cinta.
Ia menyuci, membasahi.
Membasuhi diri—jiwa, raga, hati.

Amboi, malam ini, semua penyanyi sedang berlagu merdu dari dalam perasaan mereka.
Buat siapa lagi kalau bukan untukku.
Aku mengharap, itu juga bagimu.
Padamu aku begitu.

Bisa saja kau tak sama denganku, tapi aku lila: pada satu waktu, kini.
Lagi, rasaku. Kembali, waktuku. Dirimu, tak perlu ragu.
Satu garis tipis pun mengembang, melengkung: simpul sabit pada wajahmu.

Sampai jumpa di ruang tunggu, tempat kita bersatu, apa itu? Tentu tak tahu.
Seperti kau yang ingin tahu, menyana siapakah aku saat mula bersapa, siapa.

Kau adalah separuh dari impian yang menjemputku dalam perjalanan.
Perjalanan tak bersampan, mungkin tak memapan.
Tapi nyata kau ada walau tak ingin kurasakan.
Tak selalu ingin kudambakan.
Itu harapan?

Harapan, katamu?
Kau pernah mengatakan, harapan adalah ketika satu tak berhenti di situ, tapi menggubah dua.
Harapan, ketika juga tak meminta kembali atas suatu ungkapan perasaan.
Harapan, ketika mengasihi tidak mesti untuk diterima.
Harapan, ketika kita tahu bahwa sayang adalah tanpa batasan.

Yogyakarta, Sebelas Juni. (Damainya Cinta, Gigi.)

                   Sumber gambar: http://www.marcandangel.com/2012/10/29/10-ways-to-live-life-with-no-regrets/

Jumat, 23 November 2012

MENCARI IBU


Ibu, malam ini aku ingin jujur kepadamu
Ada satu hal yang harus kuungkapkan, aku, anakmu
Telah begitu lama kau biarkan aku tidak di tempat layak
Telah lama aku berpeluh mencari dirimu, baumu, suaramu

Tapi di mana? Tapi tiada

Sedu-sedan seru, sedang aku menunggu hanya begitu

Ibu, katamu kau akan membuatkan lagi sarapan bubur yang sangat kudoyan
untuk bekal makan kecil, dalam campuran daging tersebar mungil
Kutanya, “Mengapa kecil dagingnya? Aku mau yang besar.”
Jawabmu, “Kau masih kecil, kau dapat nanti saat sudah besar.”
Aku merengut sedang erat kupangku mangkuk bubur biar tak terenggut

Ibu, kau setia dan selalu tepat waktu mengiyakan apa-apa untukku
Di subuh sekali, gelas kaca besar kesukaanku kau isikan dengan susu putih kental itu
Aku sumringah Ibu, selagi aku basuh muka dan kening, agar sadar dan dapat mendengar
saat lalu kudengar, “Nak, susunya di samping amben tempat Ayah dulu tertidur.”
Aku mengangguk dan melihat mana susuku, susu buatan ibu
Terkejut, ‘ku berseru, “Bu, susunya dirubung semut, semutnya hitam berbaris rapi sekali!”

Ibu mendengar, tapi sepenggal-penggal
Saat langkahnya keluar kamar, menuju pintu depan, pintu tertutup, “Bruk.”
Aku cemberut, susuku kemasukan semut
Aku sendiri, pagi sedini ini

Jumat, 23/11/2012

                                             Sumber gambar: hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com