Rabu, 10 Mei 2017

SAMBANG GARIS KELUK

Sebuah "Renung Ning" yang membelok dan lambat dalam tahun usia ke-28 yang lewat.


Ada yang pantas dikosongkan dari sebuah wadah yang membuat segala perasaan kita berbelok dan menemui kebuntuan. Wadah itu ialah hatiku. Sedang kepada diriku bersisipan kemunafikan yang berasal dari orang-orang di luar diriku. Mereka bertanya,
Mana teman-temanmu? Kami menyeru menyambangi mereka yang terbiasa menggamit kulit, jangat, dan tengkukmu. Mereka tahu—atau seolah-olah tahu. Sebab menolak tegas rasa ingin tahu akan membebani diri kita sendiri. Maka lahirlah asumsi, tafsiran, dan yang lebih mengesankan: penghakiman terhadap situasi dan kondisi di luar diri mereka, orang lain—liyan.

Jelas, demikian pulalah tak genap bila sebuah corekan tangan berupa garis lurus tidak mengubah arah, sesedikit apapun membeloknya. Dengan sebuah lengkungan memelan, jalan lurus melambat supaya mengarah ke perubahan: alih jalur, ganti alur. Mungkin juga karena mengendurkan ketegangan-ketegangan. Tak sempat melebar jauh, garis itu perlahan pun seakan mengarah ke titik lain. Seperti satu-dua pengecualian dalam kehidupan: kalau hari ini kita menginginkan A, esok B. Lusa berganti lagi: ubah, ulah yang tak menentu arah.

Itulah kesimpangsiuran pun keraguan yang paling kecil. Sebab ia nyata ada, kerapkali terjadi, dan tak mengandaikan kepastian. Perubahan lantas sebuah kewajaran. Dalam kegamangan, keberanian dan kejujuran ditantang, dimainkan, dan disesap untuk perlahan menuju akhir kesenyapan. Senyap itu pengejawantahan dari jeda. Sela waktu yang memberi peluang kepada kita: Siapkah untuk melepaskan ketegangan, lalu lebih bersiap menentukan keputusan? Mengembalikan pada keberadaan diri senyatanya, semacam konsistensi dalam berpijak pada prinsip-prinsip pribadi.



Dalam kongko bersama teman-teman Couch Surfing Jakarta Writers' Club, Jumat, 3 Februari 2017.