Sabtu, 23 Januari 2016

Usai Usia


Perubahan dan perkembangan tidaklah menjadi hal yang pasti.

Aku berlari bisa sampai ataupun tak sampai di tempat tujuan, maka ia sekadar persinggahan. Singgah bisa berarti berhenti atau juga terhenti. Aku jatuh akan pula tertindih bila pasrah. Aku rebah tanpa resah. Hanya berserah. Esok, lusa, datang atau pergi menjadi suatu perulangan yang akan menjadi biasa. Bisa membeku. Jadi yang tak menarik minat lagi.

Itulah mati. Dalam kejumudan dan kebekuan nan tak terkira, pengulangan begitu dapat terduga. Bertemu dengan sosok yang sama, perihal yang sama. Tiada perubahan apapun.

Jangan terlalu lama diam di satu titik yang sudah terlalu kaukenal dan terlalu sering kau ulang-ulang. Lakukan perubahan, walau sedikit.

Selaras perkataan mahaguru keaktoran realisme dunia Constantin Stanislavsky yang mengiang di telingaku, air kopiku telah habis. Kosong. Jelas menyisakan kerak hitam di sisi dalam cangkir. Juga bibir, batas perkara dan berkat dari perkataan yang terlontar.

Lembaran hidupku pun menyisihkan lengang: ruang yang menanti kisah dan jelajah. Batas dan simpang bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan. Meniti adalah tujuan, bukan lagi apa yang kesampaian. Usai ialah usia hidup yang bertambah dan berbuah.

(Jakarta. Hari ulang tahunku ke-27)
 

Selasa, 05 Januari 2016

EPIPHANY (Kedua)

Diampuni dan mengampuni itu kurang-lebih seperti sepasang lelaki dan perempuan yang saling mengutarakan diri masing-masing.

Satu bertutur tentang perasaannya, yang lain mendengar dengan sabar. Tak ada sebuah jeda kecuali jeritan hati yang diliputi selimut kasih.

Kesalahan seorang diberikan maaf oleh suatu keputusan, bukan menunggu waktu tenang perasaan.
Lantas mengakui salah, butuh perjuangan bagi hati menerima diri sendiri. Memaafkan diri sendiri, menerima orang lain sebagai hadiah, dan melepaskan perasaan yang disebut bersalah agar dapat memperoleh maaf.

Semua akan merangkul diri masing-masing dalam pelukan bersama yang meluruhkan ego keduanya.