Selasa, 28 Oktober 2014

Ayah yang (Merasakan) Kehilangan Putra Bangsanya




                                                 Gambar diambil dari: yogahart.wordpress.com





#SuratbuatPuanMaharani

Di depan Balai Desa Condongcatur, Yogyakarta.

Ayah: “Saiki ki estetika wayang wis diwolak-walik kok, Le…”
Putra: “Ngapa, Yah?”
Ayah: “Lha deloken kuwi…”

Ayah bertutur panjang-lebar-tinggi soal pentas wayang kulit di balai desa itu yang sudah tidak lagi mempertontonkan bayang-bayang (Jawa: wayang) dari tokoh-tokoh wayang, melainkan memajang para penyanyi (sinden) cantik, dalang yang terlihat memain-mainkan boneka wayang, lengkap dengan permainan bebunyian memekakkan telinga.

Dalam diam, Ayah menggumam sambil mengusap kepala putranya.
BAGAIMANA INI, KALAU-KALAU ANAKKU SUDAH BEGITU LEKAS SEKALI MENGENAL PEREMPUAN ADUHAI. PULA TINDAK KEKERASAN, BERANTEM, EJEK-EJEKAN YANG TERLIHAT LANGSUNG DIMAINKAN OLEH AKTOR-AKTOR INTELEKTUAL BERNAMA DALANG TANGAN-TANGAN JAHIL! INI TAK UBAHNYA DENGAN YANG ADA DALAM TELEVISI. ASTAGFIRULLAH….!!

Putra: “Nek estetika wis diwalik berarti wis ra estetis ya, Yah?
Ayah: (Setengah terkejut) “Eh, yo, mbuh, takona guru kesenianmu! Ini karena salah eyang buyutmu, Le, yang dulu tidak sempat mengajari eyangmu nonton beginian. Salahkan kakekmu, yang belum pernah sekalipun mengajak ayah datang ke panggung seperti ini. Ayah sendirian, Le, suka nonton wayang dan ketoprak. Dulu sekali, pas masih muda, zaman bersenang-senang itu.”

Putranya mengangguk-angguk, antara mengerti atau tidak.

Ayah: “Hayo, Le, gek ndang dipangan Mister Burger-nya. Ndak selak anyep. Ben wayang iki wae sing anyep!”[]


Ttd.

Saya

     (Ceritanya calon) Ayah yang kehilangan putra Bangsanya yang Bernama Budaya