Senin, 05 April 2021

Pascaperjamuan Terakhir

 

Sesudah hari-hari mencemaskan lantaran ditinggalkan Guru, Petrus dan para murid hampir putus asa dan berakal buntu. Mereka hanya menunggu-nunggu sambil termangu.

 

Sebuah pertanyaan mencuat di hati mereka:

Apakah Pak Guru akan turut masuk kelas kembali sesudah sedu-sedan tragedi?

 

Sedang saudara-saudara mereka telah banyak jadi korban,

              : entah tertunduk lemah lantaran lesunya ekonomi,

                ataupun bibit penyakit yang perlahan merontokkan daya tahan, menggerogoti kesadaran dan membahayakan keselamatan.


Simon Petrus yang terbiasa menyemangati teman-temannya, kini tak bisa membohongi kerisauan yang tergores di wajahnya.

Yusuf Arimatea, seorang murid anyar di perkumpulan ini, menghibur Petrus yang semangat melautnya makin surut dan menciut.

Kan kau pernah diminta menjala manusia. Tak perlu lagi kau memusingkan ikan-ikan di laut, kata Yusuf.

Apalagi masih pandemi begini.

Mantan penjala ikan itu sontak mengangguk, janggut di dagunya terayun pelan mengiyakan saran Yusuf.

Kata Petrus, Bisa jadi. Aku rasa, lebih baik aku mencatat peristiwa yang terjadi belakangan ini. Terutama setelah si Yudas menyelewengkan tabungan bulanan kelas kita.

Nah, itu betul! Yohanes yang mencuri dengar obrolan itu tiba-tiba menghampiri rekan mereka pada meja panjang yang biasa dijadikan tempat perjamuan. Dibawanya senampan lebar dengan cangkir-cangkir berisi kopi hitam aroma Flores Red Caturra.

Dalam remang dan dingin malam, secangkir kopi akan mujarab menghangatkan jalinan persahabatan mereka. Malam itu para murid mengenangkan perjanjian dengan guru mereka yang sekalipun sudah bangkit, belum bisa segera membersamai.

 

Yohanes tersadar satu hal. Persediaan roti tak beragi nampaknya tak cukup untuk mereka berdua belas. Ia hendak mengambil kunci ruang kelas yang tergantung di kantung kanan celana Petrus.

Petrus menahan Yohanes, seakan menolak membiarkan temannya pergi keluar.

Teringat ajaran gurunya, Petrus mengingatkan: Hidup tak hanya dengan roti. Syukurilah yang kausaji. Secangkir kopi pahit cukup untuk turut mengingat derita saudara kita di NTT yang berkali-kali lipat pahitnya karena mendapat banjir.


(April 2021)