Senin, 28 Desember 2020

Harapan

Esai Goenawan Mohammad*



PROFESOR tua yang gemar berdansa itu akhirnya terbaring, sakit, menunggu mati, pelan-pelan. Sebelumnya, tiap Rabu malam ia selalu pergi ke Harvard Square. Di sana ia bergabung dengan para mahasiswa, di bawah sorot lampu yang memancar-mancar dan pengeras suara yang hingar. Ia akan mengikuti irama apa saja, sebuah tango atau sebuah musik Jimi Hendrix, seraya mengenakan kaus oblong putih dan celana olahraga hitam dan sehelai handuk yang dikalungkan di leher. Tak ada yang tahu bahwa pak tua itu seorang guru besar sosiologi terkemuka di Brandeis University. Tak banyak memang yang mengenal Morrie Schwartz, sampai penyakit fatal itu menyerangnya dan ia akhirnya terbaring, sakit, menunggu mati, pelan-pelan.

Kini sebuah buku ditulis tentang hari-hari terakhir orang tua itu oleh Mitch Albom, bekas mahasiswanya. Seorang sahabat saya membelikan buku itu, Tuesdays With Morrie—tentu saja bukan karena ia membayangkan saya terbaring, sakit, tetapi karena dalam catatan Mitch Albom yang tipis itu (tak sampai 200 halaman) kita dapat membaca, bagaimana di hari-hari terakhirnya Morrie Schwartz berbicara, dengan jasad yang semakin macet, tentang pelbagai hal yang menyangkut hidup dan mati, yang entah kenapa bagi saya menjadi soal harapan.

Dalam umur 60-an, Morrie seperti terkena asma. Pada suatu hari, ketika berjalan sepanjang Sungai Charles, angin dingin bertiup ke tubuhnya, dan ia seakan-akan tercekik. Ia jatuh dan diangkut ke rumah sakit. Dokter menyuntiknya dengan adrenalin. Beberapa tahun kemudian, ia mulai sulit berjalan. Pada suatu hari, ia terjatuh di tangga teater. Orang menyangka itu hanya karena ia tua. Tapi Morrie tahu ada sesuatu yang lebih serius ketimbang itu. Akhirnya ditemukan: Morrie menderita ALS, atau amyotrophic lateral sclerosis. Sistem sarafnya kena penyakit yang tak bisa diobati.

ALS melumerkan saraf kita. Sering dimulai dari kaki, lalu menjalar ke tubuh atas. Akhirnya kita akan hanya bisa bernapas melalui satu tabung yang dipasang di leher kita yang dilubangi. Nyawa kita seakan-akan tersisa di dalam onggokan yang lumpuh, yang hanya bisa mengerdipkan mata. Proses kematian bisa berlangsung selama lima tahun. Dalam kasus Morrie, dokter memperkirakan dua tahun.

Profesor yang tak bisa lagi mengajar itu pun tahu tak ada yang bisa ia bantah. Ia memutuskan: ia akan membuat kematiannya sebagai proyek dia yang penghabisan. Belajarlah bersama aku, dalam perjalanan sakit menuju Maut yang pasti dan pelan ini. Maka ia pun membentuk kelompok diskusi tentang kematian, ia menerima wawancara—dan ia menjadi terkenal ketika di bulan Maret 1995, ia muncul dalam wawancara dengan Ted Koppel dalam Nightline di televisi ABC. Ia juga membuka semacam ”kuliah mingguan”.

Itulah yang terjadi pada tiap hari Selasa sampai ajalnya tiba. Mitch Albom, bekas mahasiswanya yang sangat menyayangi guru yang baik itu, menyediakan diri untuk jadi satu-satunya murid. Ia akan datang, sehabis sarapan. Di sisi ranjang tempat sang profesor terbaring dan menatap kembang sepatu yang tampak di jendela ruang studi, ia akan merekam kuliah itu. Dr Morrie Schwartz tak mengajarkan lagi sosiologi, tapi sesuatu yang lebih dalam dan lebih pendek, serangkaian kuliah tanpa buku, yang akan berakhir bukan dengan sebuah wisuda, tapi dengan pemakaman.

@ronirobert/ Instagram


Ada 14 Selasa yang tercatat dalam Tuesdays With Morrie. Ada sejumlah topik yang dibahas, di antaranya tentang kematian, tentang keluarga, tentang emosi, usia tua, cinta, maaf, dan pelbagai hal lain. Dr Morrie Schwartz tidak lagi disebut sebagai mahaguru, melainkan sebagai seorang yang akrab: Albom memanggilnya ”coach” dan juga dengan nama depan, Morrie. Yang diutarakannya kian lama kian ringkas, karena tubuhnya kian lama kian lumpuh. Akhirnya bukan pengetahuan, melainkan kearifan. Tapi intinya bisa disebutkan dalam satu kalimat yang pada Selasa ke-4 ia katakan: ”Sekali kita belajar tentang kematian, kita akan belajar tentang kehidupan.”

Tak banyak yang aneh dalam kearifan Morrie. Mungkin tak ada yang baru. Intinya adalah kepasrahan. Ketika akhirnya Morrie tak bisa lagi mengelap kotorannya sehabis buang air besar, ia menyerahkan diri—tak lagi dengan rasa malu—ke orang lain. ”Aku mulai menikmati ketergantunganku,” katanya. ”Seperti kembali menjadi anak-anak.... Kita semua tahu bagaimana menjadi seorang anak. Ada dalam diri kita itu. Bagi saya, ini soal mengingat dan menikmatinya”.

Tampaklah pada Morrie: perlawanan terakhir bukanlah perlawanan terhadap sesuatu yang lebih kuat dan pasti menang—yang akhirnya berwujud Maut. Perlawanan terakhir adalah terhadap kepedihan merasa kalah. Kita perlu menang atas godaan untuk menganggap kemenangan itu satu hal yang paling penting.

Tapi tidakkah ini hanya sebuah pemberian dalih? Bukankah pasrah memberi kita ketenangan, tapi tetap saja bahwa ada yang menang dan ada yang kalah, dan kita tak pernah tahu alasannya? Mungkin. Kita akan mengatakan, ”jangan-jangan hidup memang tak pernah adil”, dan dengan itu kita bisa maklum bila kita kehilangan. Atau sebaliknya, kita bisa jadi brutal: karena hidup tak pernah adil, pengertian keadilan adalah satu hal yang omong kosong. Mungkin soalnya tinggal memilih.

Morrie tahu ia jadi korban nasib yang tak ada alasannya. Yang menarik ialah bahwa ia tak memilih untuk menjadi marah dan membuat orang lain jadi korban. Harapan, baginya, ialah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih dan getir dan rapuh. Tapi akhirnya ia memberi tahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapan?


Tempo, 6 Agustus 2000

*) Catatan Pinggir 5 (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2012), hal. 517--520.

Senin, 21 Desember 2020

Siapakah Saya?


Esai
Soe Hok-Gie *

  
BELUM LAMA BERSELANG di hadapan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra UI telah diputar Film Cekoslovakia ...Dan Penunggang Kuda Kelima Adalah Ketakutan (...And The Fifth is Rider is Fear)**. Film ini adalah kisah tentang kisah manusia dan ketakutannya, lalu bagaimana akhirnya ia menemukan dirinya dan mengalahkan ketakutan. Musik, pengambilan tema, maupun suasana film ini sedemikian rupa sehingga mencekam hati manusia.

Kisahnya tentang seorang dokter Yahudi yang dilarang praktik oleh Nazi di kota pendudukan Praha pada waktu Perang Dunia II. Oleh orang-orang NAZI ia disuruh untuk menolong seorang partisan yang tertembak dan disembunyikan dekat kamarnya. Ia menolak karena ia tahu apa akibatnya jika ia ketahuan oleh pihak polisi rahasia.

Saya bukan seorang dokter, saya hanyalah seorang penjaga gudang dan oleh karena itu bukanlah kewajiban saya untuk menolongnya, katanya. Tapi ia tidak dapat membohongi kata hatinya, bahwa ia seorang dokter (walaupun sekarang dilarang praktik) dan harus menolong siapa pun juga. Akhirnya setelah melawan dirinya sendiri, ia memutuskan untuk menolong partisan yang terluka itu.

Pada waktu itu seorang dapat dihukum jika ia tidak melaporkan sesuatu yang mencurigakan. Seorang tetangganya yang curiga dengan tingkah laku sang dokter melaporkan pada polisi. Karena ia takut akibatnya jika ia tidak melaporkan pada polisi. Saat sang dokter ditangkap. Ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu. Jawabnya sangat sederhana: Seorang manusia adalah seperti yang dipikirkannya, kau tak dapat mengubahnya. (A man is as think, you can't change it).

Persoalan yang dilontarkan pada kita oleh film ini adalah persoalan kemanusiaan… Dan sebagai manusia kita dihadapkan oleh pemilihan-pemilihan yang meragukan. Sebelum melakukan sesuatu kita harus menanyakan pada diri kita sendiri: Siapakah saya? Dan jawaban kita menentukan pilihan-pilihan kita. Sang dokter tadi juga harus menjawab pertanyaan besar ini. Jika ia menyatakan hanya seorang penjaga gudang (profesi resminya) maka soalnya selesai. Demikian pula halnya dengan tetangganya yang melaporkan pada polisi. Jika ia memutuskan ia hanyalah warga yang harus patuh pada polisi maka tindakannya adalah benar. Tetapi jika ia menyatakan bahwa dirinya adalah manusia Cekoslovakia yang harus membantu perjuangan bangsanya, soalnya sangat berubah. Kitalah yang menentukan diri kita dalam menentukan pilihan-pilihan.

Ya saya cuma bawahan kecil yang hanya menurut perintah atasan. Jika atasan saya bilang X maka saya harus patuh,” kata seorang pembantu letnan pada seorang dosen VI ketika ditanyakan mengapa ia mau melakukan perintah yang jelas-jelas merupakan tindakan manipulasi. Sang pembantu letnan tadi telah menentukan dirinya sebagai manusia kecil dan ia tak pernah berkembang menjadi MANUSIA dengan 'M' besar.

Seorang jenderal membiarkan dirinya diperalat seorang pedagang besar (katakanlah diangkat sebagai presiden direktur boneka) biasanya berkata: Gaji saya tidak cukup, dan anak saya banyak. Lagi pula teman-teman saya juga melakukan hal yang sama. Ia telah menjawab siapakah dia. Dia telah menentukan dirinya seorang alat dan sebagai alat ia harus memfungsikan dirinya sebaik-baiknya. Sebagai alat ia tak akan pernah menjadi pemimpin yang baik.

Orang Indonesia sekarang amat mudah merasionalisasikan keadaan. Kepengecutannya dirasionalisasi sebagai kesulitan ekonomi (ada seorang dosen malas yang selalu bilang tak ada ongkos jika ditanyakan mengapa ia tidak mengajar).

Kadang-kadang kita harus bertanya kepada diri kita sendiri Siapakah Saya?Apakah saya seorang fungsionaris partai yang kebetulan menjadi mahasiswa sehingga harus patuh pada instruksi dari bapak-bapak saya dalam partai. Apakah saya seorang politikus yang harus selalu realistis dan bersedia menerima kompromi-kompromi prinsipial dan tidak boleh punya idealisme yang muluk-muluk? Apakah saya seorang kecil yang harus patuh pada setiap keputusan DPP ormas saya, atau pimpinan-pimpinan fakultas saya, atau pemimpin-pemimpin saya? Ataukah saya seorang manusia yang sedang belajar dalam kehidupan ini dan mencoba terus-menerus untuk berkembang dan menilai secara kritis segala situasi. Walaupun pengetahuan dan pengalaman saya terbatas?

Setiap hari pertanyaan tadi datang. Saya katakan pada diri saya sendiri: Saya adalah seorang mahasiswa. Sebagai mahasiswa saya tak boleh mengingkari ujud saya. Sebagai pemuda yang masih belajar dan mempunyai banyak cita-cita, saya harus bertindak sesuai dengan wujud tadi.

Karena itu saya akan berani untuk berterus terang, walaupun ada kemungkinan saya akan salah tindak. Lebih baik keliru daripada tidak bertindak karena takut salah. Kalaupun saya jujur terhadap diri saya, saya yakin akhirnya saya akan menemukan arah yang tepat. Saya adalah seorang manusia dan bukan alat siapa pun juga, tetapi harus dihayati secara kreatif. A man is as thinks.

Kadang saya bertanya pada kenalan-kenalan saya Siapakah kamu? Seorang tokoh mahasiswa menjawab: Saya adalah antek partai saya. Kebenaran ditentukan oleh DPP Partai.” ][


Disalin dari dokumentasi Dr. Arief Budiman (kakak kandung
Soe Hok-Gie).

Notabene:
*) Esai ringkas dan lugas So Hok-Gie ini, seingat saya, termuat dalam buku berjudul Soe Hok-gie …Sekali Lagi: Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya (Kepustakaan Populer Gramedia, 2009).

**) Ditelusuri di mesin pencari, film Cekoslovakia ini berjudul ...a pátý jezdec je Strach (...And The Fifth Horseman Is Fear), diproduksi tahun 1965.

Selasa, 15 Desember 2020

Panggung ‘Sindirwara’

 

DALAM CATATAN SASTRAWAN GAEK Putu Wijaya, kata drama lebih diterima di masyarakat sebagai “sandiwara”. Pemadanan “drama” dengan “sandiwara” adalah semata demi membumikan drama kepada publik.

Dari akar katanya (sandi ‘rahasia’ dan wara ‘kabar’), sandiwara bermakna kabar rahasia (“Kearifan Lokal v Kolonialisme Budaya”, Jawa Pos, Minggu, 27 Desember 2009). Maka dapat dikatakan “drama” umumnya lebih dikenal di kalangan pembelajar. Dramaturgi misalnya, merupakan ilmu yang mengamati drama dan muatan-muatan yang dikandungnya. Bagi masyarakat kebanyakan, “sandiwara” cenderung lebih dikenal dan diterima secara akrab.

Maka meluncurlah sebuah kalimat dari budayawan Bakdi Soemanto, “Teater mini kata berbeda dalam menyampaikan pesan dibanding bentuk sandiwara lainnya.” Bakdi yang berorasi pada acara “Dua Tahun Mengenang Rendra” di Museum Karta Pustaka, Yogyakarta, Minggu malam (7/8/2011) silam, mengungkapkan pemikiran sang “Burung Merak” yang ia ingat betul. Pertunjukan teater dapat, bahkan seringkali, dengan mudah membangkitkan emosi penonton. Rasa senang, misalnya. Namun, kata dia, makna suatu pertunjukan teater akan dipahami penonton bila pesannya logis. Karena itu, pesan yang hendak dilontarkan belum tentu dapat cepat ditangkap.

“Penonton seneng, mugo mudeng (penonton senang, mudah-mudahan mengerti),” seloroh Bakdi.

Lalu, susahkah memahami pertunjukan drama yang umum dikenal sebagai sandiwara itu? Benarkah sandiwara menjadi kabar yang benar-benar rahasia, bahkan saat ia dipergelarkan di depan khalayak? Mungkin, masyarakat penonton umumnya mengganggap itu urusan yang tak harus menambah beban pikiran. Alih-alih memaknainya sebagai sebentuk komunikasi dan menyerap makna-makna pun amanat yang terkandung di dalamnya, suatu pertunjukan seni—dalam hal ini sandiwara—hanya dinikmati sebagai pemenuh dahaga akan hiburan. Ini tidaklah berlebihan, kesenian hadir di tengah-tengah rakyat juga untuk melepaskan penat mereka sejenak setelah bekerja.

Lamat-lamat imaji W.S. Rendra mengetuk ingatan saya pada diri mendiang Heru Kesawa Murti. Heru, pegiat kelompok Teater Gandrik yang disapa dengan Pak Bina itu (Pak Bina ialah tokoh yang diperankan Heru dalam sebuah porgram drama televisi di TVRI), dalam suatu wawancara mengatakan kepada saya, bahwa karya seni selalu merespons keadaan zaman. Demikian pula sandiwara yang seringkali menanggapi perubahan kehidupan sosial pada suatu masa.

Menurutnya, pada 1970-an, Rendra sebagai penggerak geliat kepenyairan mengobarkan seni teater ke seantero publik. Kondisi yang diwarnai awan kelabu pemerintah Orde Baru yang mengontrol ketat peri kehidupan masyarakat, memecut gelora aspirasi, kritik, pun pemberontakan melalui jalur kesenian. Penghargaan atas martabat manusia yang kala itu melepuh menjadi nadir turut melecutnya.

Kini, wahana komunikasi yang begitu canggih mengakibatkan potensi seni pertunjukan dalam melontarkan kritik publik makin tersisih. Alih-alih sampai di pundak penguasa, pendapat dan kritik yang dimungkinkan tersalur dengan bebas dan terbuka belakangan ini justru seolah masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Seperti dinilai Heru, pemerintah terlihat enggan menampung suara-suara rakyat—yang adalah suara Tuhan.

Benih semangat sandiwara yang bernapaskan keprihatinan warga pun makin kabur. Bila dulu sandiwara menyajikan gambaran kondisi nyata derita masyarakat, kini kebanyakan tampak mengkreasi isu-isu sosial sebagai sampiran. Isu yang pelik, seperti diamati Heru, disisipkan dalam cerita yang disajikan sedemikian rupa hanya berupa satire. Pertunjukan teater kemudian secara menonjol menghadirkan nilai-nilainya sebagai karya seni.

“Merespons kenaikan BBM (bahan bakar minyak) melalui seni, itu hanya sindiran saja,” amsal Heru ini sangat jelas terekam di benak saya, walau ia kini bersama-Nya.

Seni drama dahulu begitu giat berjuang menggoyahkan kepongahan penguasa. Apa kata dunia bila gairah itu luluh karena berubahnya situasi zaman? Drama yang dipentaskan cenderung sebagai tontonan, mengundang masyarakat untuk menyaksikan, dan menghadiahkan sebuah hiburan. Cerita hampir tak menggugah jiwa penonton terhadap persoalan aktual. Meski mengkritik, pesannya sekadar percikan sindiran yang sedikit menggelitik.

Pertimbangan dapat atau tidak membangun pembacaan dalam diri khalayak, lantas mengayuhkan semangat untuk mengubah kondisinya merupakan sesuatu yang mungkin tak lagi dirasa penting. Jika drama hanya hiburan dan menafikan tuntunan, barangkali ia kehilangan jati dirinya. Ia tidak merambah terra incognita, yakni ruang-ruang yang tak terjamah, seperti sempat disinggung Bakdi Soemanto, selayaknya diperjuangkan oleh seni teater.

Padahal, perpolitikan kita belakangan bergelimang dengan soal. Lembaga pengawas koruptor goyah karena banyak pihak bersilang-sengketa dengan misi oportunis, tarik-ulur aturan hukum atas oknum sebuah partai akbar yang tertangkap di negeri seberang, hingga ancaman disintegrasi yang sebagian dituai dari pohon otonomi daerah. Andai permasalahan itu mampu menyulut satire dalam pentas sandiwara kita, betapa melimpahnya sumber sindiran itu!

Ia menjelma wilayah yang belum tersentuh, malahan memungkinkan lubernya “kabar yang menyindir”. Ia adalah terra incognita, juga panggung “sindirwara”.***


Dianggit pertama kali untuk BPPM Balairung UGM
, 12 Agustus 2011.

(https://www.balairungpress.com/2011/08/panggung-sindirwara-bahasa/)

Minggu, 22 November 2020

Asa, Asi, Asu

 

Asa kehabisan kata

Dua jam lebih ia sulit merumuskan perasaan yang menyinggahi pikirannya

 

Kepalanya telanjur penuh dengan rumus kalkulus

Tangannya mengepal keras, seperti dia yang keras kepada diri sendiri:

“Ingin kulawan cemas, ingin kupancang terus tegak asaku. Tapi kumakin takut.”


Tapi, bukanlah Asa jika mudah putus asa

Dirapikannya meja belajarnya:

disisihkannya buku paket ajar matematika

Ngapain sih aku ngerjain soal-soal rumit ini?

 

Kata-kata lalu ditaburkannya begitu saja:

Asa. Aku. Asu. Asi. Aus. Usa. Uas. Sua, sudah.

Ada. Adu. Adi, dia.

Ia, air.

 

Tak puas, diberantakkannya kata-kata itu

Acak mawut.

Tanggung tandas, dilemparkannya tubuhnya ke kasur.

 

Ini hari libur, kan. Ribet amat, sih.

Luapan kata Asa dari asa kata-katanya.

 

Jatuh dia berbaring.

Sampai tertidur lelap.

 

Di pagi buta hari Senin.

Asi, ibu Asa, mengetuk pintu kamarnya dua kali.

Tak ada sahutan, pintu terbuka pelan.

 

Ibu masuk, melongok Asa masih tenggelam dalam mimpinya.

Asi menghela napas pendek.

Melangkahkan kaki dua ayun.

 

Meja belepotan dengan kata-kata. Kata yang penuh dengan asa-asa putranya.

 

Disusunnya puisi dengan dua tim jemarinya.

Jemari kanan menyisihkan, jemari kiri mengambil untuk menyusun kata-kata terbaik.

Bukan asa yang membalik, bukan asa yang terputus.

 

Asa terbangun, mengedip-kedipkan mata

tergugah dari kenangan sapihan ibunya tujuh tahun silam.


Betapa dalam ibunya membimbing, dengan lembut dan diam-diam.

Dia membaca perkataan ibunya pada sehampar di atas meja:


(“Asi bagi Asa”)

“Asa, jangan pernah putus asa. Tak ada air mata sia-sia.

Dulu kau menimba asi ibu, Ibu kini menanam asa padamu.

Sua kita menjadi satu. Tak usa menyedu air duka dari ragu lalumu.

Asi ada dalam asa, asa terawat oleh asi. Kita takkan pernah aus.

Kita menjadi adi. Kuat selantang serumu: Asu!”


Asa buru-buru mengambil ponsel. Memotret dan mengirimkan karya puisi itu.

Asa lulus dengan nilai terbaik pada UAS Berbahasa Indonesia.

Ujian akhir sekolah yang sesungguhnya sudah dimulai.

Semenjak sejenak ia bertekad berbalik dari kebiasaan lamanya.

 

Saatnya ia membangun mimpinya sendiri.

 

Aku mau menghadiahi ibu dengan bangun lebih pagi.

Dengan kasur, bantal, dan selimut yang rapi

Tentu, laguku: sesudah mandi akan kutolong ibu

Merapikan asa-asanya, karena aku harapan satu-satunya.

 

 

Jakarta, 2020 


Selasa, 06 Oktober 2020

Kebutuhan Ketubuhan


Tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?’*

Tubuh siapakah gerangan yang kukenakan esok hari?

Bila esok malam ‘ku bertemumu lagi,

masihkah kau seperti dulu?

Kembali ‘memintaku minum susu, sambil membenarkan letak leher kemejaku.’**


Kau bertanya, “Tubuh siapakah yang kau kenakan di balik kemeja hijau lusuhmu itu?”

Aku pun bertanya, menahan simpul senyum padamu.

“Tubuh siapakah yang kau kenakan di balik daster kembang sepatumu itu?”


Tiba pagi dari malam

Tinggal kita dan kerling senyum dari balik mata lelahmu

Tinggal kita dan cerlang sungging di balik hangat tubuhku


Oktober 2020

*) Penggalan dari puisi Sapardi Djoko Damono, “Metamorfosis”.

**) Penggalan sebaris dari puisi Soe Hok Gie, “Sebuah Tanya”.

Minggu, 21 Juni 2020

Indera Keenam: Padi Mengakustik nan Tetap Asyik


Pada mulanya Padi. Semua Tak Sama, Sobat, Sang Penghibur, dan... Begitu Indah. Melanjutkan kelahiran menjadi Padi Reborn, album keenam mereka punya banyak kejutan dibanding sejumlah lagu yang telah jadi hits. Sebagian di antara kesan itu saya tuangkan di sini, berurutan dari lagu yang berkesan menyemangati dari sisi lirik hingga komposisi musik paling menyentil rasa sentimentil saya.



         1. Menanti Keajaiban (4/5)

Kesan saya pada lirik lagu ini sudah melekat sejak versi pertama lagu ini dimainkan dalam album Save My Soul (2003). Namun, dalam balutan string dan petikan gitar akustik, kali ini semua jadi berbeda. Ada aspek aural yang lebih dipuaskan dari lagu versi akustik ini. Intonasi, lafal, dan lantunan Fadly tersampaikan lebih terang dan memanjakan telinga. Ketukan drum Yoyo jauh lebih dikontrol dan rapi-lantas selaras dengan irama instrumen lainnya.

Hingga bait terakhirkarena lagu ini memang mengalir begitu saja tanpa refrain atau pengulangan bait tertentukesederhanaan lagu ini tampak karena cuma menambahkan lantunan frasa: Menanti keajaiban.

Seraya lirik yang menuturkan pandangan bahwa hidup ini sebuah perjalanan, sepertinya para punggawa Padi tak lelah terus mencari. Sepanjang meniti waktu dan perjalanan hidup, mereka menanti keajaiban-keajaiban kecil.


2. Disini Tanpamu (4/5)

Plus instrumen trompet, lagu ini berubah drastis dari lagu asalinya. Lebih riang sekaligus syahdu, ketimbang keras dan menghentak seperti dalam album Lain Dunia (1999).

Mau tidak mau perbedaan kualitas vokal Fadly di lagu ini paling terasa mencolok. Nyanyian Fadly didampingi backing vocal yang lirih. Melodi trompet pun di beberapa bagian selaras dengan bebunyian vokal silabel aha-aha-aha yang mempertegas musik Padi yang dapat berisi keceriaan.

Saya terkejut pula: Ada kesan menarik dari vokal Fadly yang berpadu dengan bunyi trompet di akhir lagu. Komposisi ciamik yang memanjang dan perlahan mengecil (fade out) itu mengesankan perasaan kepasrahanIni sukses bikin saya jatuh hati.


3. Ketakjuban (3,5/5)
Seperti judulnya, lagu ini bersiap membuat takjub sejak awal intro dimainkan. Jika dibandingkan dengan lagu asalinya dalam album Save My Soul (2003) lagu Ketakjuban di album Indera Keenam menjelma andante 'irama bertempo lambat'.

Di sebuah sesi pertunjukan solo drum secara langsung via Instagram, Yoyo sempat menceletuk: Iki lagu gitar kabeh!

Yoyo bermaksud menilai komposisi musik Ketakjuban di album Save My Soul yang ngerock dan bertempo cepat sangat bertumpu pada bunyi permainan gitar elektrik. Maka, bunyi lagu yang dihasilkan didominasi auman gitar nan keras.

Di versi akustik ini, kita akan mendapatkan sajian berbeda. Diawali genjrengan gitar perlahan, musik disambung ketukan drum dan petikan sitar. Baik setiap bait maupun di bagian refrain, kemasan musik Padi berbanding terbalik dengan genre rock yang biasa mereka mainkan.

Ketakjuban bukan lagi sebuah erangan, melainkan pertanyaan yang dibarengi kesan kecurigaan. Seperti tercerap dari bagian bait pertama menuju bridgeApa mungkin kau sungguh hadir untuk... /Membebaskan aku, Selamatkan aku.../

Permainan drum yang dinamis menjelma warna musik yang bervariasi: dari hening, lalu riuh, juga pelan ke perlahan-lahan menjadi lebih rapat.

Tak urung, pendengar akan dibuat penasaran, ingin terus mendengarkan lanjutan untaian musik selanjutnya. Agaknya komposisi musik dinamis ini digubah Denny Chasmala selaku arranger pendamping bersama kelima personel Padi sebagai hasil tangkapannya atas kecenderungan ruh bermusik Padi.

Tak lama setelah album ini diluncurkan, Denny menyebut musik Padi selalu dinamis dalam setiap nomor lagunya. Hal itu diungkapkannya ketika megakonser Padi Reborn di Studio RCTI+, Kebon Jeruk, Jakarta, 1 November 2019. Menurut Denny, kematangan dan ciri khas bermusik Padi tertuang dalam paduan lirik dan permainan instrumen yang komplit.

Namun, kebaruan aransemen lagu Ketakjuban ini tidak menumbuhkan kerumitan. Tatanan musik di bagian intro lagu cukup dipakai kembali menjadi penutup yang sempurna.


4. Terlanjur (5/5)

Jauh berbeda dari versi asali dalam album Lain Dunia (1999), lagu Terlanjur akan membuat pendengar merasa terlena, jatuh dalam alunan lembut vokal Fadly yang mampu meliuk dari nada rendah hingga tinggi. Tak lupa disahut-sahuti backing vocal yang terdengar harmonis.

Inilah juaranya, lagu favorit saya di album Indera Keenam. Dalam tempo lagu lebih lambat, muncul kesan semacam sikap nakal seseorang dalam mengungkapkan rasa cinta yang agak ditahan sehingga mewujudkan lebih santuy dan santun.

Biarkan semua orang tahu kau memang kekasihku/ Karena 'ku terlanjur mencintai dirimu.../

Refrain yang diulang beberapa kali dimeriahkan vokal Fadly yang makin menegaskan kekuatannya sebagai salah satu penyanyi terbaik Indonesia.


5. Menerobos Gelap (3,5/5):
Ada satu nuansa yang sama dan dipertahankan dalam lagu ini: misterius dan dinamis. Bebunyian dengan dominasi string alat gesek jelas menambah keriuhan bunyi yang menyayat. Tidak itu saja, tekanan bunyi tuts piano mengisi celah sunyi dalam bagian lirik yang menggambarkan masa penantian.

Ketika aku tenggelam dalam kesunyian ini, kucoba mendamaikan hatiku/ Sepatutnya aku mampu melaluinya, menjejakkan kakiku, meretaskan jiwa...//

Satu sisi yang jarang diperdengarkan Padi ialah lantunan berbunyi silabel du-du-du.... Ini membuat sisi misterius lagu ini agak sedikit teredam, sekaligus membuat warna komposisi menjadi makin kaya. Permainan sitar Piyu mendukung sekali suasana eksentrik khas Padi sejak album kedua (aransemen baru ini mengingatkan permainan sitar di lagu “Bayangkanlah di album Sesuatu yang Tertunda [2001] yang juga bernuansa Timur Tengah).


6. Kau Malaikatku (4/5)
Lagu ini asyik dan mudah didengarkan, tapi tak semudah untuk dimainkan dan dinyanyikan. Backing vokal bertimbre suara lelaki di lagu ini sepertinya berasal dari Fadly dan personil Padi lain. Ini menunjukkan kerja bareng yang total dan kompak. Sebuah keberhasilan Fadly, dkk. yang berbuah manis dan ramah setelah mengutak-atik lagu ini dari versi pertamanya. Sebelumnya, Kau Malaikatku beraliran rock dengan instrumen gitar dan bas elektrik.

Bagian coda lagu ini terdengar sangat menyenangkan, dalam untaian bunyi vokal O yang dilantunkan memanjang hingga tuntas ditingkahi tabuhan simbal Yoyo.

Plus vokal Jenaka Mahila, putri Tora Sudiro, membuat nuansa riang dalam lagu ini jadi terasa mantap. Pilihan tepat ini berasal dari ide Piyu, yang disambut Fadly untuk mengajak Jenaka menyumbangkan suaranya.


7. Menanti Sebuah Jawaban (3,5/5)
Menanti sebuah jawaban membuat saya merasa seakan hampir tercekik. Bukan karena deg-degan mendengar jawaban "ya" dari yang terkasih, melainkan waswas mendengarkan vokal Fadly yang hampir tercekat.

Berbeda dari lagu versi asalinya, Fadly bernyanyi dengan lebih pelan dalam versi ini. Kesan irama lagu yang variatif dalam album Padi (2005) terasa begitu populer. Lagipula, sudah cukup banyak musisi lain membawakan dan mengaransemen ulang lagu Menanti Sebuah Jawaban. Agak mengejutkan dan membuat saya bertanya-tanya pula, mengapa Padi mengaransemen ulang lagu ini? Mau dikreasikan seperti apa lagi?

Beruntung hasilnya memberi tawaran menarik dengan menonjolkan petikan gitar akustik sebagai pembuka dan penutup lagu. Ada modulasi pula untuk refrain yang panjang dan terdengar cukup menyusahkan bagi Fadly untuk mencapai nada tertinggi di bagian berlirik Sepenuhnya aku..., Setulusnya aku…. akan terus menunggu…”

Akan tetapi, dugaan saya itu gugur seketika sebab Fadly berhasil dalam rekaman lagu ini. Namun saya ragu keberhasilan sama akan terwujud saat lagu ini dibawakan secara langsung di panggung di depan jutaan penggemarnya.


8. Angkuh (4/5)
Suasana Timur Tengah merambat pelan sedari intro. Bebunyian irama padang pasir di lagu ini secara langsung seperti menghadirkan sebuah lagu baru. Ini membuat lagu Angkuh seperti menemani single Kau Malaikatku sebagai nomor baru. Sejatinya, Angkuh merupakan lagu lama dari album Sesuatu yang Tertunda (2001).

Musik irama padang pasir dalam lagu ini tersusun dari permainan instrumen tiup seruling (flute), petikan sitar, dan gesekan biola.

Dari seluruh lagu di album ini, tampaknya instrumen bas Rindra dan efek gitar Ari tak begitu mengemuka dibandingkan dalam komposisi album-album Padi sebelumnya. Rindra beralih memainkan bas akustik, sedang Ari menyokong permainan gitar akustik. Ini bukan hal yang mengejutkan, justru menunjukkan kualitas Padi pada kelas yang lain: lagu balada tetap berkualitas dalam balutan akustik.

Saya dan para Sobat Padi lain menantikan kebaruan apa yang akan disajikan Padi di album ketujuh yang akan datang![]

Kamis, 18 Juni 2020

Tanda-tanda Sahaja Wiji Thukul

Dok. Pribadi



Aku tak ingin kamu pergi. Aku juga tak ingin kamu pulang. Aku hanya ingin kamu ada.
(Sipon, istri
Wiji Thukul)


Sosok Wiji Thukul berambut ikal dan urakan kerap dilekatkan dengan semangat juang aktivis melawan Orde Baru. Bahkan sampai kini, aksi mahasiswa kerap memakai kredo dari petilan puisi “Peringatan” karyanya: “Hanya ada satu kata: Lawan!”

Berkebalikan dari itu, film Istirahatlah Kata-kata menggambarkan kegelisahan Wiji semasa pelariannya di Pontianak, Kalimantan Barat. Wiji (diperankan oleh Gunawan Maryanto) ditampilkan terkucil dari hiruk-pikuk perjuangan aktivis yang memprotes pemerintahan otoriter Presiden Soeharto.

Sejarah mencatat, usai tragedi kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta, Wiji masuk daftar buronan pemerintah. Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang digawanginya dituduh sebagai dalang kerusuhan. Dia pun menjadi terpisah dari istrinya, Sipon (Marissa Anita), dan kedua anaknya yang masih kecil, Fitri dan Fajar.

Menumpang di rumah Martin, salah satu kenalannya di Pontianak, kehidupan Wiji digambarkan kelam dan terimpit keterbatasan. Dibayang-bayangi tindak represif aparat, keterasingannya mencuat dalam puisi-puisinya. Sesekali dengan sembunyi-sembunyi dia menemui istrinya.

Hari-hari Wiji diliputi sunyi diperkuat akting Gunawan Maryanto yang berbicara cadel dan minim dialog, kecuali menonjol lewat gestur.

Kekuatan film ini juga terlihat dari pilihan penceritaan melalui adegan-adegan puitik. Dibandingkan film-film biopik umumnya yang menceritakan babak kehidupan tokoh-tokoh besar secara heroik, seperti Sukarno, KH. Ahmad Dahlan, dan Tjokroaminoto, Wiji Thukul dihadirkan sebagai sosok sahaja. Wiji yang kalut, yang lebih dari takut—hingga tak dapat tidur berhari-hari. Wiji yang kata-kata protesnya diredam oleh deru senapan.

Sejumlah adegan berkesan melekat di ingatan saya. Wiji yang keluar rumah kala listrik padam, menjumpai seorang ibu yang tengah menggendong bayinya yang merengek.

Dalam suasana pekat kelabu malam itu, Wiji bertanya, “Bapaknya mana?

Jawaban si ibu membuat saya tertegun karena seakan-akan menggenapi kisah hidup Wiji sendiri. “Bapaknya lagi pergi, enggak tahu pergi ke mana…

Adegan puitik lain tak hanya “bersuara” lantang, tapi kreatif membangun nuansa mencekam secara aural. Satu yang terkuat ialah adegan dua tentara bermain bulutangkis yang menggaungkan bunyi seperti letupan peluru-peluru senapan.

Gambar dan suara berpadu laras dengan baris-baris puisi yang dituturkan Wiji Thukul lewat suara latar (voice over). Kelihaian Anggi ini patut diacungi jempol. Begitu pun adegan saat Wiji menelepon Sipon lewat wartel. Perbincangan keduanya yang menggantung disambung siulan dari mulut Sipon membunyikan nada Darah Juang”—lagu wajib para aktivis yang kerap dilantunkan di setiap unjuk rasa mahasiswa.

Lirih terngiang di telinga saya sebaris lagu itu: Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar/ Bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat...//

Film ini menjelmakan sisi kepahlawanan Wiji secara puitik karena mengingatkan sisi manusiawi Wiji. Semangat kepahlawanan membela rakyat kecil dan tertindas yang digelorakannya nyaris tak muncul.

Namun, dalam tempo yang amat lambat di beberapa adegan, film ini justru mampu menyajikan cerita yang melangut. Didera cemas dan fasilitas hidup terbatas, Wiji tetap menaruh harapan hidup dan rindu keluarga.

Dialog akhir Sipon seperti mewakili harapan setiap orang pada penegakan keadilan dan kemanusiaan di negeri ini. Film ini membawa kita merefleksikan dalam hening: Betapa perjuangan menegakkan keadilan belum tuntas dan roh perjuangan Wiji Thukul akan selalu kita rindukan. Ia akan terus ada, dan berlipat ganda!

Minggu, 24 Mei 2020

Sebuah Kabar Sukacita


Perawan Maria duduk diam berbalut sepi. Tunangannya, Yusuf si tukang kayu, belum tiba kembali dari karya pertukangannya.

“Sebentar lagi, sebentar lagi,” pikirnya, sambil merapikan kain panjang biru melambari pucuk kepala, pundak, hingga ke dadanya.

Belum kunjung tiba, alih-alih Gabriel mendatanginya. Lewat jendela kamar rumah Maria, Gabriel tiba-tiba menghadirkan dirinya.

Tirai-tirai membuka, semburat sedih memudar.

Kepak-kepak sayapnya, tuk-tuk-tuk langkah kaki Gabriel perlahan.
Tutur mengulur dari Gabriel, “
Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.

Maria belum mafhum, siapakah gerangan sosok di hadapannya.
Hening sebentar, Maria mencari jawab pada dirinya sendiri.

Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan hendaklah engkau menamai Dia: Yesus,” kata Gabriel.

Maria tak mengerti
Gabriel mengajukan arti

Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya. Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya.”

Adakah ini sebuah kabar gembira? Di tengah-tengah semburan kabar bohong-bohong.
Konon katanya era pascakebenaran.

Kata Maria, Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?

Sebab Yusuf belumlah sah memperistrinya. Kelak dia pun hendak menceraikan Maria secara diam-diam.
Sebelum akhirnya Yusuf dari uring-uringan menjadi mengurungkan niatnya itu.

Gabriel menggenggam sepucuk kembang daun di tangan kanannya.
Tongkat kecil bersimbol salib turut mendampinginya.
Ia memberkati Sang Bakal Bunda Allah:

Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau. Anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.

Berpusing di hati, Maria menyimpan erat-erat janji Gabriel.

Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan. Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Malaikat itu lalu meninggalkan dia. Sendiri, tapi sejak itu menjadi jauh dari sepi.


Jakarta, 24 Mei 2020