Rabu, 22 Juni 2016

melukis batas, batas melukis




Setiap tujuan dan konteks punya cara perlakuannya masing-masing.




Setiap tanggung jawab tidak akan ada yang dilalaikan dan diabaikan bila kita tahu apa tugas kita. Setidaknya, bila kita tahu apa yang perlu dilakukan dalam suatu momen dan kondisi tertentu. Ada persoalan, tanganilah, selesaikanlah. Jika belum memperoleh apa yang menjadi keinginanmu, terus mencarilah dan kembangkan usaha untuk mendapatkannya sebagai pembelajaran untukmu. Tak salah untuk beralih pada pengganti apa yang kamu harapkan menjadi milikmu, asalkan kamu terus aktif untuk bergerak. Bergerak bukan hanya didorong oleh apa yang kamu rasakan. Bukan perasaan saja yang menggerakanmu. Selain karena sebuah perasaan, kamu perlu bergerak dengan didasari pikiran atau pengetahuan dan jiwamu.

Tapi, kamu juga bisa menerima dan menyetujui kebalikan dari premis-premis itu. Seperti juga kita dapat melalaikan dan menyisihkan sebuah-dua buah kegetiran yang melanda sebagian kebahagiaan kita. Namun, di antara dua hal, selalu ada garis pembatas yang memisahkan. Lalu, apa yang dimaksud dengan batas?

Untuk menjawabnya, saya bercerita. Di siang hingga sore pada Jumat lalu, 10 Juni 2016, saya bersama teman-teman sekantor melukisi dinding dalam kantor. Dengan pola doodle yang unik dan menggambarkan sebuah perjalanan zaman dan zaman yang bergerak dalam kota buku cetak (“Book City”), kami bersenang-senang. Bertajuk “Ngabural” (Ngabuburit Sambil Mural) kami berjalan-jalan sepanjang dinding, menulisi dan melukisi dengan warna-warni sambil meledek seorang-dua orang teman dari yang lain. Tinta hitam untuk outline atau kerangka dan kata-kata kutipan, sedang putih dan kuning untuk beberapa bagian lain dalam gambar.

Namanya juga orang yang suka membaca dan menganalisa, insting saya tercelik saat mewarnai dinding itu dengan cat putih. Saya memilih mewarnai bagian yang harus diberi putih. Sementara teman-teman lain lebih dulu memilih tinta hitam untuk membuat kerangka dasar gambar, tanpa alasan yang cukup kuat saya tercetus saja memilih putih. Bukan kuning. Lalu, saya mewarnai DENGAN HATI GEMBIRA. Sebagian waktu melukis saya isi dengan kekhusyukan—yang selalu berdampingan dengan keceriwisan teman-teman yang bercanda dan saling menyindir.




Dengan tak jemu-jemu, saya warnai setiap bagian yang harus diwarnai putih sesuai gambar foto petunjuk yang tertempel pada sisi dinding lain. Pada dinding yang akan diwarnai, outline gambar yang sudah dibikin oleh teman-teman tinggal saya isi dengan putih. Teman lainnya mengisi bagian lain yang harus diisi kuning.

Eh, ternyata kerangka bergaris hitam itu juga adalah sebuah warna yang memberi fungsi kuat ketimbang hanya dipandang sebagai batas dan dasar dari bentuk obyek-obyek. Ya, memang batas adalah batas. Ia membatasi warna lain agar semestinya tak keluar melebihi garis tepi. Tapi si hitam itu berperan pula yang tak sesedikit itu. Meskipun hadir dalam kedudukan yang kecil, sesungguhnya ia besar dalam memberi andil.

Nah, ketika ada bagian lowong cukup besar yang harus diwarnai putih dengan kuas besar, saya kelabakan saat akan mewarnai celah-celah kecil. Dengan sedikit memaksa, saya warnai celah kecil itu dengan kuas yang sama namun cara memperlakukan kuasnya yang agak berbeda. Berbeda dengan sebelumnya, membujurkan, kali ini saya memoles celah kecil dengan cara melintangkan sapu kuas. Maka, ada bagian yang bisa dipoles cukup dengan sedikit cat. Tapi karena terlalu asyik ingin menyelesaikan dan mewarnai semua bagian termasuk celah-celah kecil dengan tinta putih, saya memberi warna putih hingga menindih garis batas hitam, pun keluar dari batas garis hitam itu. Hasilnya jadi tidak rapi.

Alhasil, batas hitam itu harus ditegaskan kembali agar bentuk tampilan dan isi obyek-obyek itu dapat terlihat jelas dan baik. Cara mewarnai celah-celah kecil warna putih pun diubah: memakai kuas yang jauh lebih kecil.

Dari sini, saya belajar menyoal kreativitas. Apa yang kita buat dengan satu dorongan kebebasan, kerap dapat melampaui batas. Kita lupa pada tujuan dan manfaat penting batas, pada ketentuan atau aturan, meski ada kehendak dan maksud baik yang ingin kita capai dari kebebasan itu. Jalan keluarnya ialah, bentuk dan kukuhkanlah kembali batas itu dalam sebuah kesepakatan agar memberi kesepahaman—meski tak mesti kesalingsetujuan—antara dua hal, dua bagian, atau juga dua pihak/orang bila menyangkut sebuah jalinan relasi. 

Setelah masing-masing bagian—warna putih dan kerangka hitam, pihak satu dan pihak lain—sama-sama hadir dan tampil dengan cukup tegas (merasa nyaman dan aman dengan diri masing-masing), keduanya sungguh menyatu dalam keutuhan dan kebersamaan. Mereka menerima diri pihak lain selaras dengan menyadari keberadaan diri masing-masing.