Selasa, 09 Februari 2016

EPIPHANY (Ketiga)

Ternyata Saya (Juga) Cina...


Lihat saya. Lihat foto saya. Apa beda saya dengan Ernest Prakasa yang sipit itu? Atau, bagaimanakah membedakan saya dengan Ferry Salim? Keduanya kebetulan adalah pekerja seni sekaligus pesohor di layar kaca.

Mereka adalah sebagian dari kalangan warga Indonesia keturunan Cina atawa Tionghoa. Selain penampakan warna kulit yang jauh lebih terang, mereka jelas sudah lebih matang dan sejahtera dibanding saya. (Dan saya terus berjuang di sela-sela berolah kata untuk beroleh pengembangan diri dalam larik "Berilah kami rezeki pada hari ini...")

Okay, let's to the point. Alis saya yang tebal dan meliuk naik sebelah, kata seorang teman, menandakan Cina. Saya lantas ingat dan perlu menuliskan hal ini: ayah saya dan kerabat ayah saya mengatakan bahwa nenek buyut saya ialah orang Cina. Kurang-lebih, sewaktu kecil saya pernah didongengi, "Nenek dari nenekmu itu Cina lho, Le..."

Saya pun manggut-manggut seraya menggumam, "Ooo..."

Saya, yang semasa sekolah dasar akrab dengan kawan-kawan keturunan Tionghoa, lupa bagaimana berelasi dengan kalangan seperti mereka. Sudah lebih banyak meyakini bahwa diri saya--mencuplik sebutan kolomnis Radhar Panca Dahana--adalah sebuah "remukan".

Saya ialah anak lelaki yang besar dalam keluarga Jawa, tapi dikitari pergaulan masa kecil bersama masyarakat di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya mengukir ke-Jawa-an dalam rentang perkuliahan di Yogyakarta, dan sekarang agak bercita rasa 'lu-gua' di Ibukota, Jakarta.

Saya "orang Jawa yang mulai hilang Jawanya", demikian saya menyitir buah pikiran Dahana.

Apakah ke-Tionghoa-an dalam diri saya, selain lekukan tebal alis itu?

Identitas fana, diri saya mungkin abadi.

Selamat Tahun Baru Imlek 2567, Gong Xi Fa Cai!

Jakarta, 9 Februari 2016.