Senin, 28 Desember 2020

Harapan

Esai Goenawan Mohammad*



PROFESOR tua yang gemar berdansa itu akhirnya terbaring, sakit, menunggu mati, pelan-pelan. Sebelumnya, tiap Rabu malam ia selalu pergi ke Harvard Square. Di sana ia bergabung dengan para mahasiswa, di bawah sorot lampu yang memancar-mancar dan pengeras suara yang hingar. Ia akan mengikuti irama apa saja, sebuah tango atau sebuah musik Jimi Hendrix, seraya mengenakan kaus oblong putih dan celana olahraga hitam dan sehelai handuk yang dikalungkan di leher. Tak ada yang tahu bahwa pak tua itu seorang guru besar sosiologi terkemuka di Brandeis University. Tak banyak memang yang mengenal Morrie Schwartz, sampai penyakit fatal itu menyerangnya dan ia akhirnya terbaring, sakit, menunggu mati, pelan-pelan.

Kini sebuah buku ditulis tentang hari-hari terakhir orang tua itu oleh Mitch Albom, bekas mahasiswanya. Seorang sahabat saya membelikan buku itu, Tuesdays With Morrie—tentu saja bukan karena ia membayangkan saya terbaring, sakit, tetapi karena dalam catatan Mitch Albom yang tipis itu (tak sampai 200 halaman) kita dapat membaca, bagaimana di hari-hari terakhirnya Morrie Schwartz berbicara, dengan jasad yang semakin macet, tentang pelbagai hal yang menyangkut hidup dan mati, yang entah kenapa bagi saya menjadi soal harapan.

Dalam umur 60-an, Morrie seperti terkena asma. Pada suatu hari, ketika berjalan sepanjang Sungai Charles, angin dingin bertiup ke tubuhnya, dan ia seakan-akan tercekik. Ia jatuh dan diangkut ke rumah sakit. Dokter menyuntiknya dengan adrenalin. Beberapa tahun kemudian, ia mulai sulit berjalan. Pada suatu hari, ia terjatuh di tangga teater. Orang menyangka itu hanya karena ia tua. Tapi Morrie tahu ada sesuatu yang lebih serius ketimbang itu. Akhirnya ditemukan: Morrie menderita ALS, atau amyotrophic lateral sclerosis. Sistem sarafnya kena penyakit yang tak bisa diobati.

ALS melumerkan saraf kita. Sering dimulai dari kaki, lalu menjalar ke tubuh atas. Akhirnya kita akan hanya bisa bernapas melalui satu tabung yang dipasang di leher kita yang dilubangi. Nyawa kita seakan-akan tersisa di dalam onggokan yang lumpuh, yang hanya bisa mengerdipkan mata. Proses kematian bisa berlangsung selama lima tahun. Dalam kasus Morrie, dokter memperkirakan dua tahun.

Profesor yang tak bisa lagi mengajar itu pun tahu tak ada yang bisa ia bantah. Ia memutuskan: ia akan membuat kematiannya sebagai proyek dia yang penghabisan. Belajarlah bersama aku, dalam perjalanan sakit menuju Maut yang pasti dan pelan ini. Maka ia pun membentuk kelompok diskusi tentang kematian, ia menerima wawancara—dan ia menjadi terkenal ketika di bulan Maret 1995, ia muncul dalam wawancara dengan Ted Koppel dalam Nightline di televisi ABC. Ia juga membuka semacam ”kuliah mingguan”.

Itulah yang terjadi pada tiap hari Selasa sampai ajalnya tiba. Mitch Albom, bekas mahasiswanya yang sangat menyayangi guru yang baik itu, menyediakan diri untuk jadi satu-satunya murid. Ia akan datang, sehabis sarapan. Di sisi ranjang tempat sang profesor terbaring dan menatap kembang sepatu yang tampak di jendela ruang studi, ia akan merekam kuliah itu. Dr Morrie Schwartz tak mengajarkan lagi sosiologi, tapi sesuatu yang lebih dalam dan lebih pendek, serangkaian kuliah tanpa buku, yang akan berakhir bukan dengan sebuah wisuda, tapi dengan pemakaman.

@ronirobert/ Instagram


Ada 14 Selasa yang tercatat dalam Tuesdays With Morrie. Ada sejumlah topik yang dibahas, di antaranya tentang kematian, tentang keluarga, tentang emosi, usia tua, cinta, maaf, dan pelbagai hal lain. Dr Morrie Schwartz tidak lagi disebut sebagai mahaguru, melainkan sebagai seorang yang akrab: Albom memanggilnya ”coach” dan juga dengan nama depan, Morrie. Yang diutarakannya kian lama kian ringkas, karena tubuhnya kian lama kian lumpuh. Akhirnya bukan pengetahuan, melainkan kearifan. Tapi intinya bisa disebutkan dalam satu kalimat yang pada Selasa ke-4 ia katakan: ”Sekali kita belajar tentang kematian, kita akan belajar tentang kehidupan.”

Tak banyak yang aneh dalam kearifan Morrie. Mungkin tak ada yang baru. Intinya adalah kepasrahan. Ketika akhirnya Morrie tak bisa lagi mengelap kotorannya sehabis buang air besar, ia menyerahkan diri—tak lagi dengan rasa malu—ke orang lain. ”Aku mulai menikmati ketergantunganku,” katanya. ”Seperti kembali menjadi anak-anak.... Kita semua tahu bagaimana menjadi seorang anak. Ada dalam diri kita itu. Bagi saya, ini soal mengingat dan menikmatinya”.

Tampaklah pada Morrie: perlawanan terakhir bukanlah perlawanan terhadap sesuatu yang lebih kuat dan pasti menang—yang akhirnya berwujud Maut. Perlawanan terakhir adalah terhadap kepedihan merasa kalah. Kita perlu menang atas godaan untuk menganggap kemenangan itu satu hal yang paling penting.

Tapi tidakkah ini hanya sebuah pemberian dalih? Bukankah pasrah memberi kita ketenangan, tapi tetap saja bahwa ada yang menang dan ada yang kalah, dan kita tak pernah tahu alasannya? Mungkin. Kita akan mengatakan, ”jangan-jangan hidup memang tak pernah adil”, dan dengan itu kita bisa maklum bila kita kehilangan. Atau sebaliknya, kita bisa jadi brutal: karena hidup tak pernah adil, pengertian keadilan adalah satu hal yang omong kosong. Mungkin soalnya tinggal memilih.

Morrie tahu ia jadi korban nasib yang tak ada alasannya. Yang menarik ialah bahwa ia tak memilih untuk menjadi marah dan membuat orang lain jadi korban. Harapan, baginya, ialah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih dan getir dan rapuh. Tapi akhirnya ia memberi tahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapan?


Tempo, 6 Agustus 2000

*) Catatan Pinggir 5 (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2012), hal. 517--520.

Senin, 21 Desember 2020

Siapakah Saya?


Esai
Soe Hok-Gie *

  
BELUM LAMA BERSELANG di hadapan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra UI telah diputar Film Cekoslovakia ...Dan Penunggang Kuda Kelima Adalah Ketakutan (...And The Fifth is Rider is Fear)**. Film ini adalah kisah tentang kisah manusia dan ketakutannya, lalu bagaimana akhirnya ia menemukan dirinya dan mengalahkan ketakutan. Musik, pengambilan tema, maupun suasana film ini sedemikian rupa sehingga mencekam hati manusia.

Kisahnya tentang seorang dokter Yahudi yang dilarang praktik oleh Nazi di kota pendudukan Praha pada waktu Perang Dunia II. Oleh orang-orang NAZI ia disuruh untuk menolong seorang partisan yang tertembak dan disembunyikan dekat kamarnya. Ia menolak karena ia tahu apa akibatnya jika ia ketahuan oleh pihak polisi rahasia.

Saya bukan seorang dokter, saya hanyalah seorang penjaga gudang dan oleh karena itu bukanlah kewajiban saya untuk menolongnya, katanya. Tapi ia tidak dapat membohongi kata hatinya, bahwa ia seorang dokter (walaupun sekarang dilarang praktik) dan harus menolong siapa pun juga. Akhirnya setelah melawan dirinya sendiri, ia memutuskan untuk menolong partisan yang terluka itu.

Pada waktu itu seorang dapat dihukum jika ia tidak melaporkan sesuatu yang mencurigakan. Seorang tetangganya yang curiga dengan tingkah laku sang dokter melaporkan pada polisi. Karena ia takut akibatnya jika ia tidak melaporkan pada polisi. Saat sang dokter ditangkap. Ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu. Jawabnya sangat sederhana: Seorang manusia adalah seperti yang dipikirkannya, kau tak dapat mengubahnya. (A man is as think, you can't change it).

Persoalan yang dilontarkan pada kita oleh film ini adalah persoalan kemanusiaan… Dan sebagai manusia kita dihadapkan oleh pemilihan-pemilihan yang meragukan. Sebelum melakukan sesuatu kita harus menanyakan pada diri kita sendiri: Siapakah saya? Dan jawaban kita menentukan pilihan-pilihan kita. Sang dokter tadi juga harus menjawab pertanyaan besar ini. Jika ia menyatakan hanya seorang penjaga gudang (profesi resminya) maka soalnya selesai. Demikian pula halnya dengan tetangganya yang melaporkan pada polisi. Jika ia memutuskan ia hanyalah warga yang harus patuh pada polisi maka tindakannya adalah benar. Tetapi jika ia menyatakan bahwa dirinya adalah manusia Cekoslovakia yang harus membantu perjuangan bangsanya, soalnya sangat berubah. Kitalah yang menentukan diri kita dalam menentukan pilihan-pilihan.

Ya saya cuma bawahan kecil yang hanya menurut perintah atasan. Jika atasan saya bilang X maka saya harus patuh,” kata seorang pembantu letnan pada seorang dosen VI ketika ditanyakan mengapa ia mau melakukan perintah yang jelas-jelas merupakan tindakan manipulasi. Sang pembantu letnan tadi telah menentukan dirinya sebagai manusia kecil dan ia tak pernah berkembang menjadi MANUSIA dengan 'M' besar.

Seorang jenderal membiarkan dirinya diperalat seorang pedagang besar (katakanlah diangkat sebagai presiden direktur boneka) biasanya berkata: Gaji saya tidak cukup, dan anak saya banyak. Lagi pula teman-teman saya juga melakukan hal yang sama. Ia telah menjawab siapakah dia. Dia telah menentukan dirinya seorang alat dan sebagai alat ia harus memfungsikan dirinya sebaik-baiknya. Sebagai alat ia tak akan pernah menjadi pemimpin yang baik.

Orang Indonesia sekarang amat mudah merasionalisasikan keadaan. Kepengecutannya dirasionalisasi sebagai kesulitan ekonomi (ada seorang dosen malas yang selalu bilang tak ada ongkos jika ditanyakan mengapa ia tidak mengajar).

Kadang-kadang kita harus bertanya kepada diri kita sendiri Siapakah Saya?Apakah saya seorang fungsionaris partai yang kebetulan menjadi mahasiswa sehingga harus patuh pada instruksi dari bapak-bapak saya dalam partai. Apakah saya seorang politikus yang harus selalu realistis dan bersedia menerima kompromi-kompromi prinsipial dan tidak boleh punya idealisme yang muluk-muluk? Apakah saya seorang kecil yang harus patuh pada setiap keputusan DPP ormas saya, atau pimpinan-pimpinan fakultas saya, atau pemimpin-pemimpin saya? Ataukah saya seorang manusia yang sedang belajar dalam kehidupan ini dan mencoba terus-menerus untuk berkembang dan menilai secara kritis segala situasi. Walaupun pengetahuan dan pengalaman saya terbatas?

Setiap hari pertanyaan tadi datang. Saya katakan pada diri saya sendiri: Saya adalah seorang mahasiswa. Sebagai mahasiswa saya tak boleh mengingkari ujud saya. Sebagai pemuda yang masih belajar dan mempunyai banyak cita-cita, saya harus bertindak sesuai dengan wujud tadi.

Karena itu saya akan berani untuk berterus terang, walaupun ada kemungkinan saya akan salah tindak. Lebih baik keliru daripada tidak bertindak karena takut salah. Kalaupun saya jujur terhadap diri saya, saya yakin akhirnya saya akan menemukan arah yang tepat. Saya adalah seorang manusia dan bukan alat siapa pun juga, tetapi harus dihayati secara kreatif. A man is as thinks.

Kadang saya bertanya pada kenalan-kenalan saya Siapakah kamu? Seorang tokoh mahasiswa menjawab: Saya adalah antek partai saya. Kebenaran ditentukan oleh DPP Partai.” ][


Disalin dari dokumentasi Dr. Arief Budiman (kakak kandung
Soe Hok-Gie).

Notabene:
*) Esai ringkas dan lugas So Hok-Gie ini, seingat saya, termuat dalam buku berjudul Soe Hok-gie …Sekali Lagi: Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya (Kepustakaan Populer Gramedia, 2009).

**) Ditelusuri di mesin pencari, film Cekoslovakia ini berjudul ...a pátý jezdec je Strach (...And The Fifth Horseman Is Fear), diproduksi tahun 1965.

Selasa, 15 Desember 2020

Panggung ‘Sindirwara’

 

DALAM CATATAN SASTRAWAN GAEK Putu Wijaya, kata drama lebih diterima di masyarakat sebagai “sandiwara”. Pemadanan “drama” dengan “sandiwara” adalah semata demi membumikan drama kepada publik.

Dari akar katanya (sandi ‘rahasia’ dan wara ‘kabar’), sandiwara bermakna kabar rahasia (“Kearifan Lokal v Kolonialisme Budaya”, Jawa Pos, Minggu, 27 Desember 2009). Maka dapat dikatakan “drama” umumnya lebih dikenal di kalangan pembelajar. Dramaturgi misalnya, merupakan ilmu yang mengamati drama dan muatan-muatan yang dikandungnya. Bagi masyarakat kebanyakan, “sandiwara” cenderung lebih dikenal dan diterima secara akrab.

Maka meluncurlah sebuah kalimat dari budayawan Bakdi Soemanto, “Teater mini kata berbeda dalam menyampaikan pesan dibanding bentuk sandiwara lainnya.” Bakdi yang berorasi pada acara “Dua Tahun Mengenang Rendra” di Museum Karta Pustaka, Yogyakarta, Minggu malam (7/8/2011) silam, mengungkapkan pemikiran sang “Burung Merak” yang ia ingat betul. Pertunjukan teater dapat, bahkan seringkali, dengan mudah membangkitkan emosi penonton. Rasa senang, misalnya. Namun, kata dia, makna suatu pertunjukan teater akan dipahami penonton bila pesannya logis. Karena itu, pesan yang hendak dilontarkan belum tentu dapat cepat ditangkap.

“Penonton seneng, mugo mudeng (penonton senang, mudah-mudahan mengerti),” seloroh Bakdi.

Lalu, susahkah memahami pertunjukan drama yang umum dikenal sebagai sandiwara itu? Benarkah sandiwara menjadi kabar yang benar-benar rahasia, bahkan saat ia dipergelarkan di depan khalayak? Mungkin, masyarakat penonton umumnya mengganggap itu urusan yang tak harus menambah beban pikiran. Alih-alih memaknainya sebagai sebentuk komunikasi dan menyerap makna-makna pun amanat yang terkandung di dalamnya, suatu pertunjukan seni—dalam hal ini sandiwara—hanya dinikmati sebagai pemenuh dahaga akan hiburan. Ini tidaklah berlebihan, kesenian hadir di tengah-tengah rakyat juga untuk melepaskan penat mereka sejenak setelah bekerja.

Lamat-lamat imaji W.S. Rendra mengetuk ingatan saya pada diri mendiang Heru Kesawa Murti. Heru, pegiat kelompok Teater Gandrik yang disapa dengan Pak Bina itu (Pak Bina ialah tokoh yang diperankan Heru dalam sebuah porgram drama televisi di TVRI), dalam suatu wawancara mengatakan kepada saya, bahwa karya seni selalu merespons keadaan zaman. Demikian pula sandiwara yang seringkali menanggapi perubahan kehidupan sosial pada suatu masa.

Menurutnya, pada 1970-an, Rendra sebagai penggerak geliat kepenyairan mengobarkan seni teater ke seantero publik. Kondisi yang diwarnai awan kelabu pemerintah Orde Baru yang mengontrol ketat peri kehidupan masyarakat, memecut gelora aspirasi, kritik, pun pemberontakan melalui jalur kesenian. Penghargaan atas martabat manusia yang kala itu melepuh menjadi nadir turut melecutnya.

Kini, wahana komunikasi yang begitu canggih mengakibatkan potensi seni pertunjukan dalam melontarkan kritik publik makin tersisih. Alih-alih sampai di pundak penguasa, pendapat dan kritik yang dimungkinkan tersalur dengan bebas dan terbuka belakangan ini justru seolah masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Seperti dinilai Heru, pemerintah terlihat enggan menampung suara-suara rakyat—yang adalah suara Tuhan.

Benih semangat sandiwara yang bernapaskan keprihatinan warga pun makin kabur. Bila dulu sandiwara menyajikan gambaran kondisi nyata derita masyarakat, kini kebanyakan tampak mengkreasi isu-isu sosial sebagai sampiran. Isu yang pelik, seperti diamati Heru, disisipkan dalam cerita yang disajikan sedemikian rupa hanya berupa satire. Pertunjukan teater kemudian secara menonjol menghadirkan nilai-nilainya sebagai karya seni.

“Merespons kenaikan BBM (bahan bakar minyak) melalui seni, itu hanya sindiran saja,” amsal Heru ini sangat jelas terekam di benak saya, walau ia kini bersama-Nya.

Seni drama dahulu begitu giat berjuang menggoyahkan kepongahan penguasa. Apa kata dunia bila gairah itu luluh karena berubahnya situasi zaman? Drama yang dipentaskan cenderung sebagai tontonan, mengundang masyarakat untuk menyaksikan, dan menghadiahkan sebuah hiburan. Cerita hampir tak menggugah jiwa penonton terhadap persoalan aktual. Meski mengkritik, pesannya sekadar percikan sindiran yang sedikit menggelitik.

Pertimbangan dapat atau tidak membangun pembacaan dalam diri khalayak, lantas mengayuhkan semangat untuk mengubah kondisinya merupakan sesuatu yang mungkin tak lagi dirasa penting. Jika drama hanya hiburan dan menafikan tuntunan, barangkali ia kehilangan jati dirinya. Ia tidak merambah terra incognita, yakni ruang-ruang yang tak terjamah, seperti sempat disinggung Bakdi Soemanto, selayaknya diperjuangkan oleh seni teater.

Padahal, perpolitikan kita belakangan bergelimang dengan soal. Lembaga pengawas koruptor goyah karena banyak pihak bersilang-sengketa dengan misi oportunis, tarik-ulur aturan hukum atas oknum sebuah partai akbar yang tertangkap di negeri seberang, hingga ancaman disintegrasi yang sebagian dituai dari pohon otonomi daerah. Andai permasalahan itu mampu menyulut satire dalam pentas sandiwara kita, betapa melimpahnya sumber sindiran itu!

Ia menjelma wilayah yang belum tersentuh, malahan memungkinkan lubernya “kabar yang menyindir”. Ia adalah terra incognita, juga panggung “sindirwara”.***


Dianggit pertama kali untuk BPPM Balairung UGM
, 12 Agustus 2011.

(https://www.balairungpress.com/2011/08/panggung-sindirwara-bahasa/)