Jumat, 23 Mei 2014

‘RECTOVERSO’, Dee, dan Alih Wahana



Kalau kita belum pernah mengetahui perihal penyakit autisme dan tanda-tandanya, barangkali akan menjadi masalah besar bila kerabat atau salah satu anggota keluarga kita mengalaminya. Tidak seperti sekira sepuluh tahun belakangan, ketika penemuan medis tentang autisme sebagai kelainan bawaan sudah dikenal luas di masyarakat. Lalu, apa jadinya jika hal itu benar-benar dialami oleh seorang anak dengan orang tua atau keluarga lainnya tak tahu cara mengobatinya? Anak itu akan tumbuh sampai dewasa dengan pembawaan autis yang akut. Hal ini tercitrakan melalui akting Lukman Sardi yang ciamik dalam Malaikat Juga Tahu. Adalah Abang, seorang lelaki dewasa kira-kira berusia 30-an tahun mengidap autis sehingga berperilaku laiknya anak kecil.

Bagi penonton yang masih awam dengan lima film yang terajut dalam sebuah paket berjudul RECTOVERSO, tentu akan menikmati cerita ini dengan kepala yang tenang. Menerima sebagai sebuah tontonan baru yang menghibur dan membangkitkan bermacam emosi seputar “Cinta yang Tak Terucap”. Ya, dengan pernak-pernik hubungan perasaan di antara perempuan dan laki-laki, kita diperlihatkan pada sebuah gambaran imaji bahwa betapa rumitnya pengungkapan perasaan antara perempuan kepada lelaki atau sebaliknya yang berakhir terhalangnya rajutan kasih di antara keduanya.

Namun, bila menyimak kelahiran kumpulan film (omnibus) yang beranjak dari kumpulan cerpen (kumcer) Dewi Lestari yang berjudul sama ini, akan terasa dan terpetik kesan lebih dari sekadar film bertema cinta lawan jenis. Bagi saya yang cukup awam dengan karya goresan kata bercerita Dee, membaca lima film ini menorehkan pemikiran tak biasa terhadapnya. Sekumpulan cerita dalam Rectoverso (2008) yang disertai lagu-lagu berjudul sama dengan cerpen-cerpennya lebih dahulu hadir menghidangkan sepaket keindahan kisah dan bebunyian. Lima tahun sebelum omnibus ini rilis, pendengaran kita dimanjakan oleh lelagu romantis dari Dee sendiri bersama sejumlah penyanyi lain sebagai tandemnya. Bila kita juga pernah membaca tuntas sebelas kisah pendek di situ, menyaksikan film ini merupakan pengalaman baru yang takkan bisa ditolak: mencoba memperbandingkannya sambil membiarkan penglihatan mencerna permainan akting aktor dan aktris di sini.

Garis besar kisah Malaikat Juga Tahu diejawantahkan melalui gambar bergerak dengan jelas dan ringkas oleh sutradara baru Marcella Zalianty. Cermat dan seperti sudah paham dengan logika penceritaan di film yang bertumpu pada visualisasi, silang relasi di antara tokoh Abang, Leia (Prisia Nasution), dan adik Abang bernama Hans (Marcell Domits), terpapar menjadi pokok masalah sekaligus penggerak ide cerita. Bunda sebagai ibu dari Abang dan Hans, juga ibu kos tempat Leia menumpang tinggal menempati peran selaku “hakim”, hendak memaksa keputusan terbaik bagi hubungan di antara mereka bertiga.

Selain dibuat terkesan dengan akting Lukman Sardi yang membuat miris dan mengharukan, pemeran pendukung lain telah tampil dengan porsi yang cukup wajar. Adapun alur cerita ditata lebih baik dari yang tersaji dalam cerpen. Ini merupakan keputusan tepat penulis skenario Ve Handojo. Berfokus pada hubungan Leia dan Hans yang tak dikehendaki Bunda karena rasa kasihan pada Abang, bagian sampiran kisah ini disisipkan secukupnya. Keseharian Abang mengumpulkan pakaian kotor para penghuni kos, atau suatu hari Abang ribut lantaran kehilangan sekotak sabun adalah sekadar situasi untuk membangun citra karakter Abang sebagai tokoh utama.

Dari debut Marcella Zalianty selaku sutradara memindahkan kisah cerpen ke dalam film ini, terpetik premis bahwa Malaikat Juga Tahu ialah cerita cinta yang terhadang ikatan darah atau saudara. Leia yang akhirnya memilih menambatkan hati pada Hans harus merelakan buah luka dialami Abang, kakak Hans dan pria jelmaan autisme yang tak tertangani itu, yang sebelumnya telah lama menjadi sahabatnya.

Subjudul film “Cinta yang Tak Terucap” menjadi premis yang merangkai kelima film pendek dalam RECTOVERSO. Selain Abang yang tak mampu mengucapkan langsung perasaannya kepada Leia karena posisinya yang inferior sebagai penderita autis, hambatan hubungan cinta lawan jenis tercerap juga dalam Cicak di Dinding. Adalah seorang lelaki pelukis bernama Taja (Yama Carlos) yang menyimpan perasaan pada Saras (Sophia Latjuba), perempuan yang ia kenal di suatu pub dan sempat tidur seranjang dengannya. Saras pun sebenarnya mencintai Taja. Tetapi keduanya terbungkam, kita pun saat menonton dibuat “bungkam”, karena kemunculan sosok Irwan (Tio Pakusadewo). Irwan adalah seorang kurator ternama yang telah menjadi rekan kerja Taja dalam waktu lama. Mereka berdua sudah seperti sahabat baik dalam urusan pekerjaan dan pertemanan. Di saat yang sama, ternyata Irwan adalah calon suami Saras. Mereka berdua telah bertunangan. Namun, tak ada semacam iri hati atau dendam yang meluap dari Taja, ia justru menghadiahi Saras dan Irwan lukisan cicak-cicak yang menyala dalam gelap.

Lain hubungan darah, lain persahabatan, lain pula relasi yang dimulai dari sebuah perkumpulan. Firasat, nama perkumpulan itu, mempertemukan Panca (Dwi Sasono) selaku ketua komunitas dan Senja (Asmirandah), seorang gadis yang memilih memendam pikiran-pikirannya tentang satu-dua firasatnya tentang beragam hal. Dalam Firasat yang disutradarai Rachel Maryam ini kita diantar pada karakter perempuan pendiam bernama Senja. Entah merasa malu mengungkapkan pertanyaan yang mengusik benaknya dalam setiap pertemuan komunitas, Senja bahkan menahan diri untuk mengatakan firasatnya akan keselamatan Panca yang hendak pulang ke kampung asalnya untuk menjenguk orang tua. Meski terkesan janggal dengan menghadirkan cerita tentang bayangan masa depan, dugaan, sampai mimpi buruk yang mengganggu tidur Senja, Firasat paling unik dari kelima film pendek di omnibus ini. Menurut saya, pokok ide firasat ini potensial untuk digali lebih dalam, bahkan melampaui dasar kisah dalam cerpen Dee, semisal mengaitkannya dengan isu psikologi dan metafisika.

Pengalihan bentuk penceritaaan dari cerita pendek yang bersisipkan lirik dan lagu romantis menjadi film-film pendek ialah suatu terobosan penting dalam sinema Indonesia. Dee, melalui kecerdasan dan multibakatnya menyenggol kebanalan dan kebekuan pikiran kita yang selama ini merasa cukup dengan kisah pendek yang tertulis untuk dibaca saja. Dee menawarkan cara pandang baru memperlakukan rangkaian kata nan indah—karya sastra—lewat alih wahana. Tak henti di cerpen, ia bagikan pula nyanyian merdu-syahdu. Lalu di tangan sejumlah aktris, RECTOVERSO dapat dilahirkan dalam rupa film yang sejiwa dengan ide yang telah terbit dan digandrungi pembaca sastra manapun yang sudah kesengsem duluan oleh kreativitas Dee.[]

RECTOVERSOCinta yang Tak Terucap (2013)
MALAIKAT JUGA TAHU: Sutradara Marcella Zalianty | Skenario Ve Handojo | Pemeran Lukman Sardi, Dewi Irawan, Prisia Nasution, Marcell Domits
HANYA ISYARAT: Happy Salma | Key Mangunsong | Amanda Soekasah, Hamis (Harnis?) Daud, Fauzi Baadila, Rangga Djoned, Pringgadi Adiyatama
FIRASAT: Rachel Maryam | Indra Herlambang | Asmirandah-Senja, Dwi Sasono-Panca, Widyawati-Ibu
CICAK DI DINDING: Cathy Sharon |  ~ | Sophia Latjuba, Yama Carlos, Tio Pakusadewo
CURHAT BUAT SAHABAT: Olga Lidya | Ilya Sigma dan Priesnanda Dwi Satria | Acha Septriasa, Indra Birowo, Tetty Liz Indriaty.

                                                         Sumber foto: www.dusunblog.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar