Selasa, 09 Oktober 2012

PROLOG


Pernah kita sama-sama susah, terperangkap di dinding malam…

Hari ini, tanggal sepuluh bulan kesepuluh, saya bangun di pagi yang berlangit cerah, walau juga terkesan kelabu. Ada warna dan rasa yang tercerap dalam kondisi pagi yang begini, dengan satu demi satu ingatan menyembul-nyembul. Ada yang seperti muncul kembali, perasaan yang pernah singgah—dengan macam-macam pantulan pikiran yang membuncah, dan seakan muda lagi, lahir baru lagi.

Pernah kita sama-sama rasakan, panasnya mentari hanguskan hati…

Dan mentari, ketika saya menjentikkan jemari ini, ingin berseru, “Heiii! Aku sudah cerah merekah, terang-benderang!” Ya, dan kedua pandanganku seakan tekerjap-kerjap seperti juga hendak mengatakan bahwa terang itu terkadang bisa membuat kita terpicing, tersilaukan oleh pemandangan luar. Lalu apa makna dari hubungan langit nan mendung, lalu tak urung, mentari lepas dari gemawan yang seolah mengurung?

Jumantara sedang merias diri agar lebih mentereng, dengan perlahan membiru, sedangkan pantulan cahaya bintang besar merenda di seputarnya. Kulirik sejenak gambar hewan burung yang tampak percaya diri menempel di dinding kamarku. Gambar poster dari sebuah film animasi produksi Warner Bros Pictures yang kiranya mengisahkan sekawanan atau sepasukan burung yang berperang melawan kejahatan. Legend of The Guardians, The Owls of Ga’Hoole, itu kalimat yang tertera di bagian bawahnya, menyebutkan si judul film. Ada pemandangan yang bagus di situ: empat ekor burung dengan perwajahan khas masing-masing, semacam penutup wajah ala prajurit kerajaan, dan berkas sinar mentari yang menyirami jauh dari sisi belakang mereka.

Jejak kecil lari mengejar matahari. Keringatnya membasuh pedih…

Seekor burung yang nampaknya pejuang terdepan rombongan berdiri di depan. Tegak badannya, kokoh menjejak kakinya. Dengan bulu putih  di bagian wajah ia tampil tenang namun tetap waspada, menegaskan sorot matanya yang memandang lembut dan lurus. Paruhnya terkatup. Sayap kuningnya yang berbercak hitam menutup. From the studio that brought you ‘Happy Feet’. Begitu kalimat yang ada di bagian atas, menyebut film yang dibuat studio animasi yang sama dengan pihak produser Legend of The Guardians.

Happy Feet, film yang terbit di bioskop pada masa sebelum kisah prajurit burung itu tersiar. Tentang kelompok burung kutub—pinguin—yang berjalan, berlari-lari, melompat, hingga menari sampai membentuk formasi tertentu yang sedap dilihat. Happy Feet, kaki yang riang, melangkah seolah selalu dengan ringan dan senang. “Bila kakiku ini kakimu. Eh…” gumamku kepada pinguin mungil.

Begitu lekatnya perasaanku ini padamu, biar anganku kusandarkan padamu…

Sudah tiga puluh sembilan menit lewat dari pukul sembilan. Satu demi satu suasana siang bakal menjemput sang waktu. Seperti satu pesan singkat promo dari salah satu operator telepon seluler yang seringkali lebih kuanggap nyasar, meski menarik perhatian karena ajakan mendatangi bazar. Juga burung yang kicauannya cuit cit cuit cit cuit-cuit terdengar merdu walau dari jauh dan lirih separuh, lamat-lamat menjauh. Ini nyanyian burung beneran, bukan burung khayalan Legend of The Guardians.

Apa jadinya bila kau tak di sisi?

Mentari pun meninggi, menjadi terik, tapi tidak baik untuk didekap dengan mata telanjang. Kalau dari Lembang, Bandung, di Laboratorium Bosscha, mungkin bolehlah.

Kembalilah kasih, kita harus bicara, bicarakanlah semua…

Semua dimulai pukul 10 tepat, aku tak mau terlambat. Cepat, sebelum terlewat lalu menjadi gawat. Mari sobat, segala impian dan hasrat, kita rawat!

Na-nana… na nana-nana…(*)

Sepuluh satu menit. Sepuluh, sepuluh, dua ribu dua belas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar