Pernah kita sama-sama susah, terperangkap
di dinding malam…
Hari ini, tanggal sepuluh bulan
kesepuluh, saya bangun di pagi yang berlangit cerah, walau juga terkesan
kelabu. Ada warna dan rasa yang tercerap dalam kondisi pagi yang begini, dengan
satu demi satu ingatan menyembul-nyembul. Ada yang seperti muncul kembali, perasaan
yang pernah singgah—dengan macam-macam pantulan pikiran yang membuncah, dan seakan
muda lagi, lahir baru lagi.
Pernah kita sama-sama rasakan, panasnya mentari hanguskan
hati…
Dan mentari, ketika saya menjentikkan
jemari ini, ingin berseru, “Heiii! Aku sudah cerah merekah, terang-benderang!” Ya,
dan kedua pandanganku seakan tekerjap-kerjap seperti juga hendak mengatakan bahwa
terang itu terkadang bisa membuat kita terpicing, tersilaukan oleh pemandangan luar.
Lalu apa makna dari hubungan langit nan mendung, lalu tak urung, mentari lepas
dari gemawan yang seolah mengurung?
Jumantara sedang merias diri agar lebih
mentereng, dengan perlahan membiru, sedangkan pantulan cahaya bintang besar
merenda di seputarnya. Kulirik sejenak gambar hewan burung yang tampak percaya
diri menempel di dinding kamarku. Gambar poster dari sebuah film animasi produksi
Warner Bros Pictures yang kiranya mengisahkan sekawanan atau sepasukan burung
yang berperang melawan kejahatan. Legend
of The Guardians, The Owls of Ga’Hoole, itu kalimat yang tertera di bagian
bawahnya, menyebutkan si judul film. Ada pemandangan yang bagus di situ: empat
ekor burung dengan perwajahan khas masing-masing, semacam penutup wajah ala
prajurit kerajaan, dan berkas sinar mentari yang menyirami jauh dari sisi belakang
mereka.
Jejak kecil lari mengejar matahari. Keringatnya membasuh pedih…
Seekor burung yang nampaknya pejuang terdepan
rombongan berdiri di depan. Tegak badannya, kokoh menjejak kakinya. Dengan bulu
putih di bagian wajah ia tampil tenang namun
tetap waspada, menegaskan sorot matanya yang memandang lembut dan lurus. Paruhnya
terkatup. Sayap kuningnya yang berbercak hitam menutup. From the studio that brought you ‘Happy Feet’. Begitu kalimat yang ada di bagian atas, menyebut film yang dibuat studio
animasi yang sama dengan pihak produser Legend
of The Guardians.
Happy Feet, film yang
terbit di bioskop pada masa sebelum kisah prajurit burung itu tersiar. Tentang kelompok
burung kutub—pinguin—yang berjalan, berlari-lari, melompat, hingga menari sampai
membentuk formasi tertentu yang sedap dilihat. Happy Feet, kaki yang riang, melangkah seolah selalu dengan ringan
dan senang. “Bila kakiku ini kakimu. Eh…” gumamku kepada pinguin mungil.
Begitu lekatnya perasaanku ini padamu, biar anganku
kusandarkan padamu…
Sudah tiga puluh sembilan menit lewat
dari pukul sembilan. Satu demi satu suasana siang bakal menjemput sang waktu. Seperti
satu pesan singkat promo dari salah satu operator telepon seluler yang seringkali
lebih kuanggap nyasar, meski menarik
perhatian karena ajakan mendatangi bazar. Juga burung yang kicauannya cuit cit cuit cit cuit-cuit terdengar merdu
walau dari jauh dan lirih separuh, lamat-lamat menjauh. Ini nyanyian burung beneran, bukan burung khayalan Legend of The Guardians.
Apa jadinya bila kau tak di sisi?
Mentari pun meninggi, menjadi terik, tapi
tidak baik untuk didekap dengan mata telanjang. Kalau dari Lembang, Bandung, di
Laboratorium Bosscha, mungkin bolehlah.
Kembalilah kasih, kita harus bicara, bicarakanlah semua…
Semua dimulai pukul 10 tepat, aku tak mau
terlambat. Cepat, sebelum terlewat lalu menjadi gawat. Mari sobat, segala
impian dan hasrat, kita rawat!
Na-nana… na nana-nana…(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar