Jakarta, 15 Agustus (TEMPO)
Film
“Arjuna Mencari Cinta” yang sedang akan diproduksi tidak diperkenankan oleh
Direktorat Pembinaan Film.
Menurut
penjelasan seorang pejabat Direktorat itu dalam harian Sinar Harapan 14 Agustus 1979, “Semua nama wayang dari
cerita tersebut harus diganti dengan nama-nama yang bukan berasal dari dunia
pewayangan, termasuk judul ceritanya.”
Salah satu
alasannya ialah, agar film itu “tidak merugikan dunia pewayangan….”
Tapi sampai
berita ini ditulis, belum ada komentar dari dunia tersebut.
DUNIA pewayangan geger. Bumi gonjang-ganjing, langit
kelap-kelap, para hewan menebak bahwa sedang akan terjadi gempa. Tapi tidak, o,
sama sekali tidak. Sebab nun di pucuk Giri Jambewinangun, seorang kesatria
duduk bertapa. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Tak lain tak
bukan, dialah sang Arjuna.
Syahdan,
begitu hebat tapanya hingga para dewa pada pucat. Batara Guru pun—seperti
biasa—memerintahkan Batara Narada turun ke dunia, menemui sang pertapa, apa
maunya. Tanpa menunggu lama, Batara Narada turun. Ia sampai di pertapaan Gunung
Jambewinangun ketika senja mewarnai langit.
Begitu
muncul di depan Arjuna, ia bertanya:
“Anakku,
Arjuna, apa yang jadi niatmu?”
“Terimalah sembah sujud hamba, dan ampunilah hamba.
Hamba sedang ingin mengetahui, siapa sebenarnya yang memberi nama Arjuna kepada
hamba.”
“Lho, begitu saja kok nggak tahu. Kan bapakmu, Pandu,
yang memberi nama kamu Arjuna.”
“Itu hamba mengerti, paduka. Namun siapakah gerangan yang
memberi nama Pandu kepada Pandu, nama Sakri kepada Sakri, nama Sekutrem kepada
Sekutrem dan seterusnya? Siapakah yang memberi nama kepada semua tokoh
pewayangan—termasuk nama paduka?”
“Lho, lho, lho. Mengapa perkara begitu kau ributkan benar…”
Arjuna tahu bahwa Narada mencoba mengelak. Itulah sebabnya
kesatria tengah Pandawa ini mendesak: “Hamba mohon bertanya, paduka, siapa yang
memberi nama kepada kita semua dalam pelbagai lakon ini?”
“Wah, bagaimana, ya,” sahut dewa yang kocak bicara
dan sangat ramah ini. “Untuk apa kamu kepingin tahu perkara yang begitu
sepele?”
“Maafkan, paduka. Bagi hamba, itu bukan perkara
sepele. Dengan mengetahui itu, hamba yakin hamba akan sampai kepada kawruh yang tertinggi—pengetahuan
tentang sangkan paraning dumadi,
tentang asal dan tujuan kita ini.”
Batara Narada pun terdiam. Angin bertiup sumilir. Suara
burung malam mulai terdengar, ketika harum kembang menggetarkan senja, menjelang
hilangnya matahari.
“Anakku, Arjuna. Kamu tak boleh mencapai kawruh itu. Sebab kalau kau
mengetahuinya, kau akan melihat dunia serta segala hal ihwal yang terjadi dalam
lakonmu dengan penglihatan sebuah boneka kulit—seorang tokoh khayalan. Kalau
kamu tahu siapakah yang memberi nama kepada kita semua, kamu akan mulai
bertanya bagaimana dirimu bisa ada…”
“Tidak bolehkah hamba bertanya sejauh itu, paduka?”
“Tidak, ngger,
anakku. Sebab bayangkan apa yang akan terjadi jika kemudian kau menemukan bukti,
bahwa kau, aku, saudara-saudaramu, jerih-payahmu, anak-istrimu, itu semua hanya
ciptaan seorang pujangga? Kau akan jadi lembek. Bagaimana Arjuna kehilangan gapit-nya, bak kata orang. Dan….”
“Dan apa, paduka?” tanya Arjuna melihat Narada ragu.
“Dan penonton wayang akan kecewa, marah, lalu tak ada
lagi yang mau menjunjung tinggi kebudayaan ini. Tak akan ada lagi yang mau
mensakralkan cerita kita, menganggapnya seakan-akan benda suci sakti yang tak
boleh dibikin lelucon. Dan akan terjadilah pengangguran kita semua ini, anakku.”
O, langit merah di angkasa, bagaikan ada hutan terbakar.
Siapakah gerangan kesatria yang tepekur itu, siapakah gerangan dia?
September 1979
Goenawan Mohamad
*) Disalin dari Catatan Pinggir, tulisan Goenawan Mohamad. Lihat
Goenawan Mohamad. Catatan Pinggir 1. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti. 1989. Halaman 266–267.
Sumber gambar: http://humantyphoon89.deviantart.com/art/arjuna-mencari-cinta-136239654
Tidak ada komentar:
Posting Komentar