Lima belas menit yang lalu saya sudah
lega merasakan kesalnya pagi. Mengapa di pagi hari kesal? Sesungguhnya tidak kesal
benar, karena saya bangun lebih awal, dan lalu berolahraga. Badan terasa segar…Lantas
apa gerangan yang bikin saya merasa kesal?
Di atas kibor komputer ini, saya bisa
senang mengetukkan jemari. Padahal, seperti saya sebut tadi, dua puluh menit
lalu komputer sayalah yang membuat saya sedikit kesal. Entah dari mana, akses
komputer saya melambat. Pembaruan (update)
antivirus pun tak sempurna, tak aktif sepenuhnya. Salin-tempel data antar-drive pun berat, tambah lambat. Tak urung
saya memberi instruksi dengan mengecilkan (minimize)
kotak dialog pembaruan antivirus, pula salin-tempel menggunakan program lunak TeraCopy.
Memang tak biasa seperti ini. Tak sebaiknya
begini. Saya merasa sesuatu menghambat. Mungkin karena ada data yang terlalu
besar ukurannya, atau program yang memang berbeban banyak dari sananya. Alhasil
saya pun menjemput rasa jengah menunggu beresnya proses dua aktivitas tadi. Saya
mengklik tanda silang pada satu kotak dialog, pun windows explorer. “Aaaah, kok
not responding sih ini???” Saya lalu kesal
beneran.
Akhirnya, saya menyerah. Menarik dan
mengosongkan keluhan dalam pikiran—dan perlahan di hati. Mencoba tenang.
Saya pikir, ada yang salah juga dengan
diri saya selama ini, yang juga, mungkin, mengerjakan berbagai urusan. Tak pelak,
saya juga sulit merespons dengan benar apa suara baik yang sebaiknya saya
kerjakan selanjutnya, rencana yang akan saya penuhi dan capai.
Memang, saya sadar telah banyak sekali (karena
bukan “beberapa kali” saja) melakukan kegiatan yang tidak berhubungan dengan kebutuhan
dasar saya. Perhatian yang semacam tercecer pada aktivitas lain yang jauh dari
kepentingan masa depan saya. Tugas yang memang mesti saya selesaikan di akhir
masa pendidikan di perguruan tinggi itu, Universitas Gadjah Mada.
Tak ayal, bukan
semakin memperkaya dan mematangkan saya sebagai anak masa depan yang baik bagi keluarga,
malah saya terkungkung dalam pikiran saya sendiri. Jadi egois. Menilai apa yang
saya pandang baik itulah yang benar, tidak memberi sela untuk menarik napas, merenung
sebentar, mempertimbangkan baik-buruknya, atau memilih jalan lain.
Saya pernah menuliskan sebuah rumus
dari situasi kacau yang saya alami. Jika kita memiliki satu tugas yang sudah
menjadi kewajiban utama, maka tidak benar dan tidak baik jika ditunda, entah beralasan
apa. Bila tugas kita tertunda atau kita sengaja mengulur waktu menyelesaikannya,
perhatian kita akan teralihkan pada perihal atau soal lain.
Pada kondisi
itulah, kita bisa mengalami suasana kesepian dan bertindak sendiri tanpa menengok
kiri-kanan—mencari pertimbangan. Ini jelas egois: mengandalkan diri kita sendiri.
Lalu kita mengalir dan hanyut dalam bermacam urusan yang kita anggap baik—sejauh
saat kita mengalami dan menikmatinya saja. Kita asyik bekerja dalam aktivitas
yang lain, namun tak berkepentingan dengan tugas dan tanggung jawab utama kita:
menyelesaikan sekolah.
Kita merasa senang, ramai, karena melakukan
beragam aktivitas lain, yang bisa dikatakan tak bersangkut paut dengan pekerjaan
utama yang telah kita tinggalkan sementara dengan bermacam alasan: bosan, penyegaran,
pengalaman, pembelajaran, persiapan, permainan, pertemanan, dan…! Tapi kemudian
kita mengerti: “Lho, kok aku sampai
di sini? Di detik ini, dalam masa dan ruang yang begini?”
Kita tertegun manakala
mendengar bahwa teman kita ada yang sudah akan wisuda, sudah hampir
menyelesaikan tugasnya, dan bisa menyempatkan waktu untuk berjalan-jalan dalam waktu
yang longgar. Namun aku? Harus—karena mau tak mau (tapi sesungguhnya di dalam
hati menyebut “mau”)—menuntaskan apa yang belum selesai, karena yang sudah kita
kerjakan hanya diucapkan berulang-ulang. Menjadi jauh dari yang ada: kemajuan
tak beranjak, catatan tak beriak, tulisan belum berubah.
Maka kita terpojok: terbawa ke suasana
sepi, menjauh(-kan diri) dari keramaian. Menganggap yang di luar “Berisik! Mengusik!”
Saat itulah, satu per satu kita menyesali keputusan yang sudah dipilih, dijalani,
atau dilewati di masa lalu, meski tak kurang pula mensyukuri, karena tahu ada Yang
Memberkati.
Penilaian kembali apa yang sudah dijalani, apa yang sudah berlalu, biasanya
meminta kita mempertimbangkan sisi baik dan jeleknya. Untung-rugi, agar tak terjadi
kembali kelak hari. Semacam—atau benar-benar—refleksi. Merenung, mengambil satu
makna perjalanan dari satu demi satu tapak kehidupan yang dilalui secara berurut,
meski tak harus urut. Asalkan runtut atau teratur, agar tak jadi mengacau, membuat
kita dan orang lain di dalam lingkungan kita rusak, merugi.
Lalu, kita bangkit, merawat kembali jejak
yang telah tercerap, dalam dekap dan harap. Kelalaian dan kekeliruan ini tak akan
terulang kembali, saya mau memperbaiki sikap diri, melewatkan hari dengan satu
mimpi—satu saja dulu—menuntaskan tugas akhir atawa skripsi.(*)
Saat umurku 23 tahun sembilan bulan, Selasa siang, 23 Oktober
2012, dengan tiupan angin dari kipas yang memutar kencang, pukul 11.08.
Rumus Kacau (Not Responding)
Penundaan --> Keramaian --> Kekacauan/not responding --> Keheningan/ Jeda --> Refleksi --> Bangkit (Lagi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar