Rabu, 10 Oktober 2012

Menanti Keajaiban


Tak lelah kupandangi langit, berjuta harap ku menanti…

Apakah yang menyebabkan mataku tertutup setelah pagi yang cerah menjemput? Tak ada yang kutahu jelas, namun satu kupastikan, itu setelah dua kegiatan kusambatkan dalam pikiran dan tubuhku. Bisa saja aku terlalu kenyang setelah mengisi lambung dengan santapan sarapan. Atau memang; seperti sebelumnya kusebut, sehingga ada sebuah lompatan pikiran karena pola gerakanku yang cepat berubah arah.

Tapi, ada satu ekor makhluk yang membangunkanku dari kelemasan dan kemalasan tubuh. Ia kecil, hitam, dan terbang-hinggap semacam hewan lalat. Persis di hadapan pandanganku ia bertengger. Mengusikku pelan dengan bunyi dari ayunan tubuhnya yang terbang pendek ke sekitar kepalaku. Aku kesal, terganggu olehnya, dan.. “Puhh…” Kutiup dia dengan udara yang kuhembus dari mulutku.

Duhai cintaku, pujaan hatiku, datang padaku dekat di sampingku…

Lalu apa yang datang, malah seekor yang berwarna hitam, binatang. Sepintas waktu lalu, aku berpikir bahwa adakah ia ingin menyadarkanku dari lelap? Karena ada hal dan beberapa urusan yang ingin kukerjakan hari ini. Mengerjakan tugas akhir, melanjutkan menulis agar aku tak kehilangan momen untuk berkembang. Meretas masa depan, memulai hari ini walau dengan perlahan satu harapan. Karena ada yang tak bisa dipahami begitu serta-merta—kejadian di masa mendatang. Apakah kau mengerti? Aku sedang berproses, kini, esok, dan hingga tercapai di waktu yang akan datang.

Ku menatap langit yang tenang, dan takkan menangisi malam…

Sebab apa yang boleh disandarkan dari hal-hal yang lalu dan berlalu? Mungkin perasaan, ingatan, pikiran, tapi melangkahkah kita dengan lenggang di hari ini? Kita terpatah, kita terbata-bata menata rencana dan seperti enggan melaksanakannya. Kita pun seolah merasa sepat, manis yang tiada dapat dicecap, malahan pahit menguarkan rasa tak sedap.

Yang kurasa itu kiranya seperti jalan yang belum pasti tentu arah, mau ke manakah aku berpindah? Paling dari yang sudah, aku ingin. Cabut meninggalkan yang lalu, aku coba, aku lepaskan ia. Aku ingin berjalan, perlahan, lalu bertambah rapat dan cepat, menanggalkan yang lama lewat begitu saja.

Ku berjalan-jalan memutar waktu, berharap temukan sisa hatimu…

Waktu, ia adalah satu bagian kehidupan yang betapa riskan untuk diatur. Dipakai, dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan dan keperluan kita. Dan waktu itu pun kita genggam dan gunakan setiap saat—ia kebutuhan kita, kita membutuhkannya.

Adakah yang bisa memakai untaian detik, menit, dan jam dari setiap atau sepanjang hari yang kita masuki secara baik?

Apa yang kau lakukan di belakangku? Mengapa tak kau tunjukkan di hadapanku?

Awas, ia, waktu itu, dapat saja dengan tak berpikir panjang—dan mungkin ia tak berencana—menghabisi kita. Dengan langkah dan logikanya, dengan cara dan isyaratnya sendiri, dengan tiba-tiba, dan tak dinyana. Apa yang kau kira dia adalah benda mati tidaklah nyata. Ia hidup dan segala hidup bersamanya, kita semua. Lagipula mengira, menduga, mereka-reka hanyalah merupakan semacam urusan manusia yang berakal-budi, berperasaan, dan bermatematika sekaligus.

Setiap persen yang terukir di hati…

Ya, sampai perihal rasa yang hanya cukup hati yang mengukurnya dapat diungkapkan dengan angka—dikuantifikasikan—contohnya, dengan persentase. Satu demi satu hari pun berangkat, menunggu atau meninggalkan kita yang bergeming di sebuah dimensi. Ruang satu akan tertinggal atau kita tinggalkan seiring napas kita berhembus bersama raga yang berpindah ke tempat lain. Pun waktu, kita berlari pergi dari satu masa, untuk melalui waktu yang lengkap dengan bermacam kesan yang mungkin berbeda dari yang lalu. Ruang, selain itu, ternyata juga menembus dimensi waktu secara serentak, walau pada kesempatan tertentu saja. Namun, siapa tahu, kita akan bertemu di ruang dan masa yang dulu, sama dengan saat seperti ini. Kita diam, kita mati, kita sendiri, kita bersama, kita berlari, kita pergi, entah lalu, kita kemudian di mana.

Tapi, satu yang kita tahu, kita tak boleh di sini dan berhenti.(*)

Setengah dua belas lebih sedikit, saat berkumandang azan dhuhur. Tanggal sebelas, bulan sepuluh, tahun dua ribu dua belas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar