Tak lelah kupandangi langit, berjuta harap ku menanti…
Apakah yang menyebabkan mataku
tertutup setelah pagi yang cerah menjemput? Tak ada yang kutahu jelas, namun
satu kupastikan, itu setelah dua kegiatan kusambatkan dalam pikiran dan
tubuhku. Bisa saja aku terlalu kenyang setelah mengisi lambung dengan santapan
sarapan. Atau memang; seperti sebelumnya kusebut, sehingga ada sebuah lompatan pikiran
karena pola gerakanku yang cepat berubah arah.
Tapi, ada satu ekor makhluk yang
membangunkanku dari kelemasan dan kemalasan tubuh. Ia kecil, hitam, dan
terbang-hinggap semacam hewan lalat. Persis di hadapan pandanganku ia bertengger.
Mengusikku pelan dengan bunyi dari ayunan tubuhnya yang terbang pendek ke
sekitar kepalaku. Aku kesal, terganggu olehnya, dan.. “Puhh…” Kutiup dia dengan udara yang kuhembus dari mulutku.
Duhai cintaku, pujaan hatiku, datang padaku dekat di
sampingku…
Lalu apa yang datang, malah seekor
yang berwarna hitam, binatang. Sepintas waktu lalu, aku berpikir bahwa adakah
ia ingin menyadarkanku dari lelap? Karena ada hal dan beberapa urusan yang
ingin kukerjakan hari ini. Mengerjakan tugas akhir, melanjutkan menulis agar
aku tak kehilangan momen untuk berkembang. Meretas masa depan, memulai hari ini
walau dengan perlahan satu harapan. Karena ada yang tak bisa dipahami begitu
serta-merta—kejadian di masa mendatang. Apakah kau mengerti? Aku sedang
berproses, kini, esok, dan hingga tercapai di waktu yang akan datang.
Ku menatap langit yang tenang, dan takkan menangisi malam…
Sebab apa yang boleh disandarkan dari
hal-hal yang lalu dan berlalu? Mungkin perasaan, ingatan, pikiran, tapi
melangkahkah kita dengan lenggang di hari ini? Kita terpatah, kita terbata-bata
menata rencana dan seperti enggan melaksanakannya. Kita pun seolah merasa sepat,
manis yang tiada dapat dicecap, malahan pahit menguarkan rasa tak sedap.
Yang kurasa itu kiranya seperti jalan
yang belum pasti tentu arah, mau ke manakah aku berpindah? Paling dari yang
sudah, aku ingin. Cabut meninggalkan yang
lalu, aku coba, aku lepaskan ia. Aku ingin berjalan, perlahan, lalu bertambah rapat
dan cepat, menanggalkan yang lama lewat begitu saja.
Ku berjalan-jalan memutar waktu, berharap temukan sisa
hatimu…
Waktu, ia adalah satu bagian kehidupan
yang betapa riskan untuk diatur. Dipakai, dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan
dan keperluan kita. Dan waktu itu pun kita genggam dan gunakan setiap saat—ia kebutuhan
kita, kita membutuhkannya.
Adakah yang bisa memakai untaian
detik, menit, dan jam dari setiap atau sepanjang hari yang kita masuki secara baik?
Apa yang kau lakukan di belakangku? Mengapa tak kau tunjukkan
di hadapanku?
Awas, ia, waktu itu, dapat saja dengan
tak berpikir panjang—dan mungkin ia tak berencana—menghabisi kita. Dengan
langkah dan logikanya, dengan cara dan isyaratnya sendiri, dengan tiba-tiba,
dan tak dinyana. Apa yang kau kira dia adalah benda mati tidaklah nyata. Ia hidup
dan segala hidup bersamanya, kita semua. Lagipula mengira, menduga, mereka-reka
hanyalah merupakan semacam urusan manusia yang berakal-budi, berperasaan, dan bermatematika
sekaligus.
Setiap persen yang terukir di hati…
Ya, sampai perihal rasa yang hanya
cukup hati yang mengukurnya dapat diungkapkan dengan angka—dikuantifikasikan—contohnya,
dengan persentase. Satu demi satu hari pun berangkat, menunggu atau
meninggalkan kita yang bergeming di sebuah dimensi. Ruang satu akan tertinggal
atau kita tinggalkan seiring napas kita berhembus bersama raga yang berpindah
ke tempat lain. Pun waktu, kita berlari pergi dari satu masa, untuk melalui
waktu yang lengkap dengan bermacam kesan yang mungkin berbeda dari yang lalu. Ruang,
selain itu, ternyata juga menembus dimensi waktu secara serentak, walau pada
kesempatan tertentu saja. Namun, siapa tahu, kita akan bertemu di ruang dan masa
yang dulu, sama dengan saat seperti ini. Kita diam, kita mati, kita sendiri,
kita bersama, kita berlari, kita pergi, entah lalu, kita kemudian di mana.
Tapi, satu yang kita tahu, kita tak
boleh di sini dan berhenti.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar