Selasa, 27 November 2012

Rela Lila Tresna


Lila itu ungu muda.
Lainnya, rela.
Tresna itu dikau, Cinta.

Dan akhirnya aku jatuh cinta
tidak, aku benar-benar kembali jatuh, tapi juga bangun. Berdiri.
Karena cinta bukan membuat lemah, melainkan kuat. Menguatkan. Menggugah jiwa.

Siapa yang tidak merasakannya: mereka yang tidak merasa cinta.
Atau yang tak menggores warna pada selembar nan putih.

Siapa suka mewarnai?
Mereka yang punya cinta.
Aku adalah alat mewarnai.
Warnanya bisa apa-apa, atau satu apa. Itu cinta, akulah jua.

Maka putih kertas sungguh bukan warna-warni, ia mengungkap perasaan.
Warna cinta. Tidak jambon, merah hati, pula biru.

Seperti itu pula cinta yang mengisi, tidak satu rupanya.
Ia laiknya air, menyesuaikan ruang wadahnya.

Sering kita dipenuhi keinginan tak tentu. Sudahkah kita mencarikan celah untuk menghentikan keinginan semu?
Belanja, sebut saja.
Kita tak sadar dibuat beku oleh seseorang yang selalu menjajakan barangnya.
Kita mau tanpa mengerti: mengapa atau perlukah.

Baiklah kita kemudian mengisinya oleh cinta.
Dari Yang Kuasa, Cinta.
Ia menyuci, membasahi.
Membasuhi diri—jiwa, raga, hati.

Amboi, malam ini, semua penyanyi sedang berlagu merdu dari dalam perasaan mereka.
Buat siapa lagi kalau bukan untukku.
Aku mengharap, itu juga bagimu.
Padamu aku begitu.

Bisa saja kau tak sama denganku, tapi aku lila: pada satu waktu, kini.
Lagi, rasaku. Kembali, waktuku. Dirimu, tak perlu ragu.
Satu garis tipis pun mengembang, melengkung: simpul sabit pada wajahmu.

Sampai jumpa di ruang tunggu, tempat kita bersatu, apa itu? Tentu tak tahu.
Seperti kau yang ingin tahu, menyana siapakah aku saat mula bersapa, siapa.

Kau adalah separuh dari impian yang menjemputku dalam perjalanan.
Perjalanan tak bersampan, mungkin tak memapan.
Tapi nyata kau ada walau tak ingin kurasakan.
Tak selalu ingin kudambakan.
Itu harapan?

Harapan, katamu?
Kau pernah mengatakan, harapan adalah ketika satu tak berhenti di situ, tapi menggubah dua.
Harapan, ketika juga tak meminta kembali atas suatu ungkapan perasaan.
Harapan, ketika mengasihi tidak mesti untuk diterima.
Harapan, ketika kita tahu bahwa sayang adalah tanpa batasan.

Yogyakarta, Sebelas Juni. (Damainya Cinta, Gigi.)

                   Sumber gambar: http://www.marcandangel.com/2012/10/29/10-ways-to-live-life-with-no-regrets/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar