Jalan
kota diguyur air hujan sejam, sebentar
Melantunkan
irama deras mendesis gerimis, juga bingar
Meneduh
para pejalan, di sebelah dalam bangunan tua
Menyibakkan
keriuhan yang enggan dibubuh oleh embus angin
Sore
tadi memang lama tak terkira, waktu
Langit
gelap semenjana, mendung sekian lama itu
Gerah
rasa dan sesak dalam jiwa, membuihkan peluh mereka
Jerat
dalam wajah memerah, terburu olehmu yang mengejar-ngejar kami pulang
Sayang,
kau terlambat, lambat menorehkan tedas tangismu, air
Bilang,
jangan kau sangkal sebab mereka mendamba sejuk dari sedumu, walau
Hujan,
kau melahirkan sembap jadi gelap, lantas menggoyang harap kami dalam dekap
Nyanyimu
pada rintik jalan kota bak lagu yang dulu kami dengar
Tentang
siapa yang menjadi penyalur kesedihan hati saat sendiri
Menelusuri
gorong di bawah, kau, lamat-lamat kami susuri lorong dengan terengah
Hujan,
kau satu dan memudarkan perasaan sedu-sedan
Sedang
siapakah kau di sana, berkenan turun membasuh semua di sini
Lantunmu
sekilas nampak berseri-seri seperti ingin berlari
Sebab
tak bersama siapa-siapa kau di sana, datang bersama kami di sini
Kami
ingin bernyanyi, namun tak menyempilkan satu nada pun oleh kerongkongan
Kami
lebih ingin kau menyanyi, menyanyi sampai sendiri perih ini memilin jadi lilin
Hujan,
lilin, saling membuka diri pula rupa menyerupai
Bernyanyi,
kami ingin kau meriuhkan satu-satu not biarkan kami, mendengarmu
Menukar
hati, menggamit rasa kami, hujan, biarkan kau bernyanyi, tidak kami
Hujan…
bukan kami…
Atau
izinkan kami bernyanyi, hujan…
3/11/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar