Sabtu, 09 November 2013

Cantona’s Story in January (IV)




Si anak lelaki senang bukan kepalang. Sebentar lagi ia berhadapan muka dengan musikus idolanya. Seorang komposer lagu-lagu grup musik yang juga jadi favoritnya. Pertengahan Mei 2009 itu menjadi saat yang takkan ia lupakan.
            “Eki (EQ), Balairung, silakan wawancara,” seorang mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM menyebut nama dua lembaga pers mahasiswa UGM. Siang itu, Selasa, 19 Mei 2009, diselenggarakan seminar “Membangun Ide dan Kreativitas di Usia Muda” dengan pembicara bagian pemasaran perusahaan kendaraan bermotor Yamaha dan seorang gitaris sekaligus pengusaha di dunia musik. Acara yang bertempat di Auditorium Magister Manajemen UGM ini didukung oleh FEB UGM dan Majalah Marketing.
Setelah seminar bubar, si anak lelaki bersama seorang reporter Equilibrium FEB UGM berbincang-bincang dengan motor penggerak band yang telah tiga belas tahun mengisi jagat musik tanah air. Bagi pria yang luntang-lantung berjuang keras menjadi musisi hingga pernah menjadi petugas cleaning service itu, suatu ide merupakan salah satu bentuk komunikasinya dengan Sang Pencipta.
“Ide itu adalah pemberian Tuhan. Kalau orang sudah aware (sadar) terhadap sesuatu hal, itu berarti ada suatu bentuk komunikasi yang disentilkan oleh Tuhan,” ungkap gitaris yang sempat mengecap pendidikan Manajemen Universitas Airlangga Surabaya ini. Itu sebabnya, ia melanjutkan, ide tidak boleh dibatasi. Terlebih menyoal persaingan di industri musik, ia mengamati, faktor untung-rugi bisa berpengaruh pada tema-tema lagu yang hendak dilontarkan kepada pendengar. “Kalau (ide) itu kita eliminir karena takut kita tidak laku, ya itu berarti sama saja aku mengebiri ataupun mengeliminir komunikasiku secara spiritual, komunikasi terhadap sesama dan Tuhan,” jelasnya.
            Setelah mampu mendirikan label rekaman sendiri bernama E-Motion, pencipta lagu yang oleh biduan Ari Lasso disebut sebagai teman yang memberi secara kualitas, ini cermat menilai ide musik anak muda mutakhir. Menurutnya, ide bermusik pemuda saat ini masih jauh dari kreatif. Selain percintaan, katanya, banyak topik yang bisa dikembangkan, antara lain soal dunia sosial, sosok atau pribadi orang, dan politik.
Meski mengetahui bahwa semboyan “think out of the box” kerap didengungkan dalam dunia kreatif, produser grup musik DRIVE ini punya pandangan sendiri. “Saya mengibaratkan diri saya sebagai a piece in the ball, orang yang punya pemikiran sendiri, di situ-situ saja,” katanya sambil memangku gitar akustik. “Karena kalau kita mengikuti mainstream, ya kita akan menjadi mainstream juga.” Anak lelaki sejenak memikirkan kata-kata narasumber yang tak lama lagi akan menuju Bandara Adi Sucipto itu.
Tahun berlalu. Di telinga Cantona terngiang kata-kata yang sama saat membaca artikel di sebuah majalah musik lisensi internasional yang terbit di Indonesia. Tak hanya bicara, gitaris yang lagu-lagunya telah banyak menyemangati hidup Cantona itu kompak bersama empat sahabatnya menolak bermain playback. Ia berani berkicau di akun twitter-nya: lebih baik bubar daripada playback. Di banyak program musik televisi, penampilan musisi dan penyanyi seringkali pura-pura. Mulut komat-kamit, namun suara keluar dari mesin pemutar musik yang disiapkan tim kreatif. Kongkalikong yang terjadi di industri musik mainstream televisi inilah yang mereka tentang. Si vokalis, yang pada Desember 2010 terpilih sebagai salah satu dari lima puluh penyanyi terbaik Indonesia versi majalah yang sama, urun berargumen, “Dan kami mencintai main live. Kami mencintai momen setiap menyanyikan ‘Begitu Indah’ yang keseribu atau kedua ribu kali,… Kami mencintai sesuatu yang natural, kesalahan-kesalahan natural, itulah yang membuat kami hidup.”[i]
Gitaris yang diwawancarai oleh Cantona itulah sosok yang pertama kali memperkenalkannya kepada keindahan kata-kata dan sastra. Ia yang mengingatkannya pada rima, personifikasi, pun menyadarkan anak lelaki bahwa bersuka-sukaan dan patah hati memiliki aura keindahannya masing-masing. Pria itulah yang kemudian membuat Cantona menjadi kian menyukai karya sastra. Dia bukan sastrawan. Lewat buah kreativitasnya, dia menjumpai si anak lelaki, mendahului Putu Wijaya, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono. Dialah Satriyo Yudi Wahono.
                                                                                  *
                                                                           bersambung...


[i] Wening Gitomartoyo. “Lain Dunia”. Majalah Rolling Stone Indonesia edisi 61, Mei 2010, hal. 66–74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar