Si anak lelaki senang bukan
kepalang. Sebentar lagi ia berhadapan muka dengan musikus idolanya. Seorang komposer
lagu-lagu grup musik yang juga jadi favoritnya. Pertengahan Mei 2009 itu menjadi
saat yang takkan ia lupakan.
“Eki (EQ), Balairung, silakan wawancara,” seorang mahasiswa
Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM menyebut nama dua lembaga pers mahasiswa UGM.
Siang itu, Selasa, 19 Mei 2009, diselenggarakan seminar “Membangun Ide dan Kreativitas di
Usia Muda” dengan pembicara bagian pemasaran perusahaan kendaraan
bermotor Yamaha dan seorang gitaris sekaligus pengusaha di dunia musik. Acara yang
bertempat di Auditorium Magister Manajemen UGM ini didukung oleh FEB UGM dan Majalah
Marketing.
Setelah
seminar bubar, si anak lelaki bersama seorang reporter Equilibrium FEB UGM berbincang-bincang
dengan motor penggerak band yang
telah tiga belas tahun mengisi jagat musik tanah air. Bagi pria yang
luntang-lantung berjuang keras menjadi musisi hingga pernah menjadi petugas cleaning service itu, suatu ide merupakan
salah satu bentuk komunikasinya dengan Sang Pencipta.
“Ide
itu adalah pemberian Tuhan. Kalau orang sudah aware (sadar) terhadap sesuatu hal, itu berarti ada suatu bentuk
komunikasi yang disentilkan oleh Tuhan,” ungkap gitaris yang sempat mengecap pendidikan
Manajemen Universitas Airlangga Surabaya ini. Itu sebabnya, ia melanjutkan, ide
tidak boleh dibatasi. Terlebih menyoal persaingan di industri musik, ia mengamati,
faktor untung-rugi bisa berpengaruh pada tema-tema lagu yang hendak dilontarkan
kepada pendengar. “Kalau (ide) itu kita eliminir karena takut kita tidak laku,
ya itu berarti sama saja aku mengebiri ataupun mengeliminir komunikasiku secara
spiritual, komunikasi terhadap sesama dan Tuhan,” jelasnya.
Setelah mampu mendirikan label rekaman sendiri bernama
E-Motion, pencipta lagu yang oleh biduan Ari Lasso disebut sebagai teman yang memberi
secara kualitas, ini cermat menilai ide musik anak muda mutakhir. Menurutnya, ide
bermusik pemuda saat ini masih jauh dari kreatif. Selain percintaan, katanya, banyak
topik yang bisa dikembangkan, antara lain soal dunia sosial, sosok atau pribadi
orang, dan politik.
Meski
mengetahui bahwa semboyan “think out of
the box” kerap didengungkan dalam dunia kreatif, produser grup musik DRIVE ini
punya pandangan sendiri. “Saya mengibaratkan diri saya sebagai a piece in the ball, orang yang punya
pemikiran sendiri, di situ-situ saja,” katanya sambil memangku gitar akustik. “Karena
kalau kita mengikuti mainstream, ya
kita akan menjadi mainstream juga.” Anak
lelaki sejenak memikirkan kata-kata narasumber yang tak lama lagi akan menuju
Bandara Adi Sucipto itu.
Tahun
berlalu. Di telinga Cantona terngiang kata-kata yang sama saat membaca artikel di
sebuah majalah musik lisensi internasional yang terbit di Indonesia. Tak hanya bicara,
gitaris yang lagu-lagunya telah banyak menyemangati hidup Cantona itu kompak bersama
empat sahabatnya menolak bermain playback.
Ia berani berkicau di akun twitter-nya:
lebih baik bubar daripada playback. Di
banyak program musik televisi, penampilan musisi dan penyanyi seringkali
pura-pura. Mulut komat-kamit, namun suara keluar dari mesin pemutar musik yang
disiapkan tim kreatif. Kongkalikong yang terjadi di industri musik mainstream televisi inilah yang mereka
tentang. Si vokalis, yang pada Desember 2010 terpilih sebagai salah satu dari lima
puluh penyanyi terbaik Indonesia versi majalah yang sama, urun berargumen, “Dan
kami mencintai main live. Kami
mencintai momen setiap menyanyikan ‘Begitu Indah’ yang keseribu atau kedua ribu
kali,… Kami mencintai sesuatu yang natural, kesalahan-kesalahan natural, itulah
yang membuat kami hidup.”[i]
Gitaris
yang diwawancarai oleh Cantona itulah sosok yang pertama kali memperkenalkannya
kepada keindahan kata-kata dan sastra. Ia yang mengingatkannya pada rima, personifikasi,
pun menyadarkan anak lelaki bahwa bersuka-sukaan dan patah hati memiliki aura keindahannya
masing-masing. Pria itulah yang kemudian membuat Cantona menjadi kian menyukai karya
sastra. Dia bukan sastrawan. Lewat buah kreativitasnya, dia menjumpai si anak
lelaki, mendahului Putu Wijaya, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono. Dialah
Satriyo Yudi Wahono.
*
bersambung...
*
bersambung...
[i] Wening
Gitomartoyo. “Lain Dunia”. Majalah Rolling
Stone Indonesia edisi 61, Mei 2010, hal. 66–74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar