Sabtu, 09 November 2013

Cantona’s Story in January (II)



Pagi yang cerah di hari pertama. Satu Januari dua ribu sebelas. Mataku mulai membuka dan menatap hari ini. Langit cerah, tak ada mendung barang setitik. Di luar sana tentu hangat oleh cahaya mentari. Kata-kata beriak keluar dari hati. Bersyukur atas tahun yang baru, semangat yang masih berlantun tak kunjung henti, pengalaman-pengalaman hidup yang bergulir seperti naik roller-coaster, hingga manusia-manusia yang masih dapat diingat dan menjadikan hidup ini lebih berarti. Terima kasih, Tuhan….

            Cantona bangun dari kasur tempatnya tidur semalam. Meski baru masuk ke alam mimpi lewat tengah malam, ia mencoba tak melupakan 8.760 jam yang ia lalui di masa lalu. Anak lelaki itu telah beranjak semakin dewasa. Pada tahun 2010 ia banyak mencecap pahit-asam-manis kehidupan. Mengetahui apa itu perasaan cinta, apa itu gugup, hingga menyesali atas keraguannya berterus terang pada seseorang. Seorang Hawa yang kini mungkin masih bersama pria lain. Saat mengetahui bahwa pujaan hati terbang dengan pangeran lain, begitu remuk hati anak lelaki! Hari itu seakan berhenti, dan denyut jantungnya lesap dari rangkaian partitur irama kehidupan.
            Dengan menyapa Bunda yang kudus dan tak bernoda—Deidre O’Neill menyebutnya sang Ibu Agung[i], kesedihan anak lelaki sirna. Ia menyentuhkan kalung rosari pada dadanya. Kalung itu ia dapatkan saat berziarah ke suatu sendang di sebuah kota, tak jauh dari kediaman keluarga mendiang sastrawan Pramoedya Ananta Toer. “Bunda, aku bersyukur telah menerima kesempatan untuk mengenal dia. Mungkin aku salah, namun aku tak sungguh menginginkannya,” ia menumpahkan begitu saja kata-kata dari hatinya. Sedikit air asin mengucur dari kantung matanya. Bagi anak lelaki, malam itu terasa betapa kelam.
            Sejak kecil, Cantona memang dididik oleh orang tuanya untuk rajin berdoa, syukur-syukur membaca kitab suci pula. Ia pun pernah berpikir dan introspeksi diri kala seorang yang beriman hendak membakar buku-buku suci di sebuah negeri nun jauh di sana. “Banyak orang meributkan dan membahas tindakan yang bisa memicu konflik antaragama itu. Tapi ah…, aku sendiri nyaris luput menyentuh kitab suci!”
            Berbeda dengan temannya yang pernah mengaku selalu rindu untuk turun ke jalan, Cantona selalu rindu datang ke basilika. Ke manapun ia melangkah menyusuri kota, tak pernah lepas dari benaknya untuk sejenak menatap altar. Rindu pada imam yang mengelus kepala dan menyapa setiap anak-anak kelompok Sekolah Minggu, “Selamat hari Minggu!” Juga membuat tanda salib pada keningnya yang, seingatnya, lumayan berguna untuk memperbesar rekor gol.
            Memasuki bulan pertama di tahun 2011 ini, si bocah merasa sungguh-sungguh bersyukur. Bersyukur dengan pilihan dan jalan yang ia lalui. Masuk universitas unggulan di kota pelajar, mengenyam pendidikan sesuai minatnya, dan khususnya… masuk sebuah unit kegiatan mahasiswa penerbitan yang bersejarah besar. Ia merasa, apa yang telah ia jalani sampai saat ini merupakan lanjutan perjalanan dari “bahasa dunia” yang ia pelajari semasa sekolah menengah.
            Walau begitu, suatu kali si anak lelaki bercerita kepada teman sejawatnya bahwa ia sebenarnya ingin tergabung dalam UKM penerbitan “nomor dua”. Kala pertama kali menimbang, ia berpikir, mengapa ada dua kelompok penerbitan? Sama-sama pers, sama-sama menulis, juga sama-sama satu tempat. Lalu, si anak lelaki menyimak produk-produk terbitan keduanya: penuturannya, isinya, dan pengemasannya. Baginya, si nomor dua lebih baik—menarik, menyegarkan, pun menghibur. Lain halnya dengan pers satunya: berat, tajam, mengulas seperti harian umum, walau sajiannya tak lepas dari corak khas anak muda.
            Pada akhirnya, detik menentukannya singgah di unit pers yang digerakkan oleh mahasiswa yang memiliki warna lambang sesuai favoritnya, biru. Baginya, blue is beautiful. Dan, mengecap aktivitas di pers tersebut adalah sebentuk keindahan lain. Menjadi punggawa penggerak pers nomor satu ini mengantarkannya dekat dengan jalan hidupnya. Sebelum menginjak tanah Bulaksumur, dari Bumi Gora (gogo rancah) ia telah berandai menjadi penulis. Menyusuri berbagai tempat di dunia, mengenal dunia baru, dan berkenalan dengan orang-orang terkenal. “Ah, motivasi yang lemah banget, ga sih?” suatu kali ia berpikir ragu. “Dan menyebarkan kabar baik ke seluruh dunia agar orang terbuka mata dan pikirannya,” serunya dalam hati.
            Ternyata eh, ternyata, mimpi itu terjadi. Dengan menunggang kendaraan pers inilah ia berjalan-jalan ke sudut-sudut kota gudeg. Hingga berteman dengan seorang teman yang pernah mewawancarai budayawan Arswendo Atmowiloto di kota yang menjadi tempat penyelenggaraan Festival Topeng Nusantara 2010. Temannya itulah yang ia amati sungguh memiliki ciri tak jauh dari citra aktivis mahasiswa idealis.
            Rekannya itu suka merokok, sesuatu yang ditentang oleh Cantona. Bukan sebatas karena pengalaman buruk di bangku SMA saat akan memerankan tokoh Korep dalam naskah Tengul karya Arifin C. Noer, rokok juga menohok pikiran si anak lelaki pada keberadaan wanita lain yang ia kenal. Kakak kandungnya pernah bercerita bahwa eyang putri, ibunda ayah, meninggal karena juga terpapar asap rokok. Kata kakak, paru-paru nenek rapuh sebab terlalu sering mengisap asap rokok dari kakek. Saat kecil, si anak lelaki pernah mengamati kakek merokok sambil mengenakan sarung dan songkok. Merek rokoknya berangka 76. Setelah tahu bahwa nenek yang terlihat begitu penyabar dan murah senyum itu wafat karena penyakit yang disebabkan rokok, ia sedih mengingat kawannya yang perokok dan berambut gondrong ikal itu. Meski pernah membaca di harian Kompas bahwa nikotin—dan kafein—berpengaruh cukup baik untuk menjaga ingatan di kepala, namun ia tak tega melihat “tuhan sembilan senti” itu mengurangi masa hidup orang yang ia kenal.
            “Ih, ngapain loe peduli sama orang lain?!” si anak lelaki membatin. Beginilah ia, kerap memandang sesuatu dari apa yang dialami sesama. Semacam kepekaan dan empati. Dari mana spirit itu muncul? Barangkali lagu-lagu dan bacaan sastra yang ia terima semasa akil-baliklah yang bergaung dari lubuk hati dan pikirnya. Bahkan salah satu teman perempuannya di kampus adapula yang merokok. Suatu kali, tanpa sengaja Cantona spontan berucap kepada gadis yang berambut sedikit panjang melebihi pundak itu: “Eh, kamu merokok ya. Ih, jadi hilang lho, cantiknya. Bener deh…” Saat itu, yang diajak bicara diam sambil melepaskan gas karbon monoksida ke udara.
Di kemudian hari, sekitar satu setengah tahun setelah mengucapkan kata itu, Cantona mengobrol dengan si gadis dalam satu kelompok belajar. Kali ini si anak perempuan terlihat segar setelah lama tak bersentuhan lagi dengan cerutu. Dengan tanpa rencana, si gadis mengaku dirinya pernah operasi kanker payudara. Dalam hati anak lelaki merasa, apa itu karena tindakan dia merokok di waktu dulu? Atau karena itulah kenalannya itu berhenti merokok? Mungkin saja. Yang pasti, si anak lelaki mencoba mencegah agar asap tembakau jangan banyak mengganggu pernapasannya. Jika tidak, ia mau tak mau siap merasakan sesak dada.
*
bersambung...


[i] Deidre O’Neill atau lebih dikenal sebagai Edda adalah salah satu tokoh dalam novel The Witch of Portobello (Sang Penyihir dari Portobello), karangan Paulo Coelho. Novel ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Maret 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar