Sabtu, 09 November 2013

Cantona’s Story in January (I)



Dunia hendak rehat sebentar dari riuh-rendahnya. Pada baris demi baris yang ditorehkan seorang anak lelaki, bumi seolah ingin berhenti berputar untuk mendengar.

Teruntuk, dan hanya untuk, pemilik napas intelektual.



N
YARIS dua puluh dua tahun si anak lelaki mengarungi dunia. Badannya tak seberapa tinggi, juga tidak kekar. Rambutnya telah jauh bertambah panjang dibanding saat kecil dulu, meski tak sampai bahu. Ia berbeda dari gambaran aktivis mahasiswa idealis umumnya yang berambut gondrong, bercelana jins belel, mengisap rokok, dan cukup bersandal asal: asal nyaman dipakai, sopan enggak sopan asal dunia masih bisa tertawa.
            Anak lelaki itu mulai tumbuh dari pelukan hangat ayah-bunda yang sangat menyayanginya. Sejak kecil ia gemar membaca. Belum genap masuk taman kanak-kanak, beragam bacaan ia lahap. Buku belajar mewarnai, komik, majalah anak-anak, bahkan surat kabar yang saban hari berceloteh ria tentang kondisi terbaru dunia, juga dibacanya. Bunda pun heran. Berbeda dengan ayahnya yang tidak lantas hanya berpangku tangan. Suatu kali, dalam suatu lawatan ke kota pelajar, ayah mengajak kedua buah hatinya, si anak lelaki dan kakaknya, mampir ke sebuah toko buku. Gramedia namanya.
            Senang nian hati si anak lelaki. Maklum, kala itu di kampung belum ada yang menyamai mewahnya toko buku di sudut persimpangan yang berias sebuah patung Pak Polisi itu.
Dengan pertimbangan ayah dan kakak, akhirnya ia membawa pulang buku dongeng Aladdin, tokoh negeri Seribu Satu Malam. Ia penasaran dengan si jin ajaib yang bersemayam dalam sebentuk botol yang berbentuk unik. “Kayak teko punya ibu, tapi kok kecil ya,” si anak lelaki menggaruk pelipisnya, bingung. Tidak itu saja, dengan murah hati ayah juga membelikannya kisah Mickey Mouse dan tokoh-tokoh cerita yang lain. Ah, ayah tahu betul cara menyenangkan perasaan anak-anaknya.
Si anak lelaki juga suka sepakbola. Seorang anak tetangga sering mengajaknya bermain di lapangan yang letaknya tak jauh dari rumah. Wajarlah bila ia melek pada dunia sepakbola. Ia menjagokan Manchester United. Eric Cantona bintang pujaannya. Begitu terpesonanya pada striker MU itu, sampai-sampai si anak lelaki selalu menaikkan kerah baju saat bermain bola. Persis Cantona. “Supaya yakin bisa cetak gol yang banyak kayak Cantona!” serunya kepada perempuan yang sangat dihormatinya. Ibunda pun cukup menyimpan kebahagiaan akan putranya itu di dalam hati, sembari merajut senyum haru. Mulai saat itulah ia punya panggilan Cantona.
Selepas bangku sekolah dasar, Cantona mendapat guncangan kecil kehidupan. Ia merasa ditantang untuk melebarkan sayapnya, meluaskan pergaulannya. Maklum, di SD ia kurang mendapat teman-teman yang beragam. Kebanyakan berkulit kuning keturunan Tionghoa, jauh berbeda dibanding dirinya yang berkulit cokelat nyaris hitam, dan berdarah Jawa-Indonesia.
Sebenarnya ia tidak hitam-hitam amat semasa kecil. Ia terlihat manis dengan warna kulitnya yang kecokelatan itu. Apalagi saat selebrasi setelah berhasil menceploskan bola ke gawang, juga tersenyum ketika dibelikan ayam bakar Taliwang. Hatinya riang, ayah-bunda senang.
Ayahnyalah pangkalnya, suka melebih-lebihkan sesuatu menjadi bombastis. Berulang kali pensiunan guru SMP yang jago masak itu melontarkan guyonan yang berkesan rasistik. “Kamu itu, Le.. Hitachi, hitam tapi temannya China..” kata ayah disusul sungging kecil. Kala itu, kira-kira tahun ‘90-an, iklan barang elektronik Hitachi yang menampilkan Jackie Chan sebagai bintangnya memang booming menghiasi layar kaca.
Parahnya, kalau sudah diledek, si anak lelaki langsung menciut semangatnya. Persis Cantona saat lagi cedera. “Wuu.., Bapak ini..” kesalnya sambil lendet-lendet pada ibunda. Ia segan untuk mengungkapkan rasa sebal kepada ayahanda. Bundalah yang ia percaya sebagai tempat membagi keluh-kesah, karena baginya, perempuan yang melahirkannya itu punya kepekaan lebih dalam.
Itulah sebabnya ia terkadang mengenang masa lalu dengan sepoles sesal. “Huh, andai saja aku tak sering bermain bola siang hari, pasti deh aku tidak sehitam ini,” Cantona menggigit bibir.
            Pada masa sekolah menengah pertama di kota yang terletak di daratan berjuluk “Pulau Seribu Masjid” itu, si bocah Cantona terbina rasa segannya pada keberagaman. Jenis kelamin, bahasa, suku, dan terutama agama. “Semua percaya pada satu Pencipta,” pikirnya. Suatu waktu, ia kagum pada lantunan musik sebuah grup asal kota pahlawan. Menonton video klip band itu dalam lagu yang menceritakan kegelisahan hidup dan kematian, ia semakin menjemput masa pubertasnya yang nyeleneh. Lirik-lirik puitis dan menyentuh hati yang padu dengan musikalitas tak biasa menempanya untuk bersahabat dengan kata-kata. Perjalanannya menyenangi sastra, prosa, dan puisi melaju seiring masalah remaja lelaki yang turut mewarnai usianya.
            Giliran waktu membawanya pada seni pura-pura di atas panggung sandiwara. Di sini ia belajar bukan sekadar bagaimana memerankan sesuatu atau seorang tokoh. Ia, anak lelaki yang terheran-heran dengan cerpen-cerpen seorang lulusan fakultas hukum universitas kerakyatan itu, dilatih mempelajari sebentuk “bahasa dunia”. Bahasa yang mengeratkan satu orang dengan orang lain, mengenali cara mengapresiasi, “bersetubuh” dengan hal yang akan digeluti, hingga menguji rasa penasaran—keingintahuan. “Apa sih yang kalian dapat dari belajar teater?” tanya guru ekskul teater di SMA-nya. “Agar kalian bisa mengerti soal hidup.” Perkataan gurunya itu masih terus-menerus dimaknai ulang oleh anak lelaki, kini dan entah sampai kapan.
            Tak dinyana, kata-kata berbungkus lagu, cerita, dan lakon di atas panggung mencarik pribadi si bocah. Namun, bak lego yang kala TK ia hancurkan dan susun lagi menjadi bangunan unik, jalinan kisah hidup anak lelaki menuju penyempurnaan. Ia mulai belajar menyukai sesuatu, memedulikan sesuatu, dan belajar bekerja keras untuk mencapai suatu—impiannya.
*
bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar