Dunia hendak rehat sebentar dari riuh-rendahnya. Pada
baris demi baris yang ditorehkan seorang anak lelaki, bumi seolah ingin
berhenti berputar untuk mendengar.
Teruntuk,
dan hanya untuk, pemilik napas intelektual.
N
|
YARIS dua puluh dua tahun si anak lelaki mengarungi dunia. Badannya tak seberapa tinggi, juga tidak kekar.
Rambutnya telah jauh bertambah panjang dibanding saat kecil dulu, meski tak
sampai bahu. Ia berbeda dari gambaran aktivis mahasiswa idealis umumnya yang
berambut gondrong, bercelana jins belel,
mengisap rokok, dan cukup bersandal asal: asal nyaman dipakai, sopan enggak sopan asal dunia masih bisa
tertawa.
Anak lelaki itu mulai tumbuh dari pelukan hangat
ayah-bunda yang sangat menyayanginya. Sejak kecil ia gemar membaca. Belum genap
masuk taman kanak-kanak, beragam bacaan ia lahap. Buku belajar mewarnai, komik,
majalah anak-anak, bahkan surat kabar yang saban hari berceloteh ria tentang
kondisi terbaru dunia, juga dibacanya. Bunda pun heran. Berbeda dengan ayahnya
yang tidak lantas hanya berpangku tangan. Suatu kali, dalam suatu lawatan ke
kota pelajar, ayah mengajak kedua buah hatinya, si anak lelaki dan kakaknya,
mampir ke sebuah toko buku. Gramedia namanya.
Senang nian hati si anak lelaki. Maklum, kala itu di
kampung belum ada yang menyamai mewahnya toko buku di sudut persimpangan yang berias
sebuah patung Pak Polisi itu.
Dengan
pertimbangan ayah dan kakak, akhirnya ia membawa pulang buku dongeng Aladdin, tokoh negeri Seribu Satu Malam.
Ia penasaran dengan si jin ajaib yang bersemayam dalam sebentuk botol yang
berbentuk unik. “Kayak teko punya ibu, tapi kok
kecil ya,” si anak lelaki menggaruk pelipisnya, bingung. Tidak itu saja, dengan
murah hati ayah juga membelikannya kisah Mickey
Mouse dan tokoh-tokoh cerita yang lain. Ah, ayah tahu betul cara
menyenangkan perasaan anak-anaknya.
Si
anak lelaki juga suka sepakbola. Seorang anak tetangga sering mengajaknya
bermain di lapangan yang letaknya tak jauh dari rumah. Wajarlah bila ia melek pada
dunia sepakbola. Ia menjagokan Manchester United. Eric Cantona bintang
pujaannya. Begitu terpesonanya pada striker MU itu, sampai-sampai si anak
lelaki selalu menaikkan kerah baju saat bermain bola. Persis Cantona. “Supaya
yakin bisa cetak gol yang banyak kayak Cantona!” serunya kepada perempuan yang
sangat dihormatinya. Ibunda pun cukup menyimpan kebahagiaan akan putranya itu
di dalam hati, sembari merajut senyum haru. Mulai saat itulah ia punya panggilan
Cantona.
Selepas
bangku sekolah dasar, Cantona mendapat guncangan kecil kehidupan. Ia merasa
ditantang untuk melebarkan sayapnya, meluaskan pergaulannya. Maklum, di SD ia
kurang mendapat teman-teman yang beragam. Kebanyakan berkulit kuning keturunan
Tionghoa, jauh berbeda dibanding dirinya yang berkulit cokelat nyaris hitam,
dan berdarah Jawa-Indonesia.
Sebenarnya
ia tidak hitam-hitam amat semasa kecil. Ia terlihat manis dengan warna kulitnya
yang kecokelatan itu. Apalagi saat selebrasi setelah berhasil menceploskan bola
ke gawang, juga tersenyum ketika dibelikan ayam bakar Taliwang. Hatinya riang,
ayah-bunda senang.
Ayahnyalah
pangkalnya, suka melebih-lebihkan sesuatu menjadi bombastis. Berulang kali
pensiunan guru SMP yang jago masak itu melontarkan guyonan yang berkesan
rasistik. “Kamu itu, Le.. Hitachi,
hitam tapi temannya China..” kata ayah disusul sungging kecil. Kala itu,
kira-kira tahun ‘90-an, iklan barang elektronik Hitachi yang menampilkan Jackie
Chan sebagai bintangnya memang booming
menghiasi layar kaca.
Parahnya,
kalau sudah diledek, si anak lelaki langsung menciut semangatnya. Persis
Cantona saat lagi cedera. “Wuu.., Bapak ini..” kesalnya sambil lendet-lendet pada ibunda. Ia segan
untuk mengungkapkan rasa sebal kepada ayahanda. Bundalah yang ia percaya
sebagai tempat membagi keluh-kesah, karena baginya, perempuan yang melahirkannya
itu punya kepekaan lebih dalam.
Itulah
sebabnya ia terkadang mengenang masa lalu dengan sepoles sesal. “Huh, andai
saja aku tak sering bermain bola siang hari, pasti deh aku tidak sehitam ini,” Cantona menggigit bibir.
Pada masa sekolah menengah pertama di kota yang terletak
di daratan berjuluk “Pulau Seribu Masjid” itu, si bocah Cantona terbina rasa
segannya pada keberagaman. Jenis kelamin, bahasa, suku, dan terutama agama. “Semua
percaya pada satu Pencipta,” pikirnya. Suatu waktu, ia kagum pada lantunan
musik sebuah grup asal kota pahlawan. Menonton video klip band itu dalam lagu yang menceritakan kegelisahan hidup dan
kematian, ia semakin menjemput masa pubertasnya yang nyeleneh. Lirik-lirik puitis dan menyentuh hati yang padu dengan musikalitas
tak biasa menempanya untuk bersahabat dengan kata-kata. Perjalanannya menyenangi
sastra, prosa, dan puisi melaju seiring masalah remaja lelaki yang turut
mewarnai usianya.
Giliran waktu membawanya pada seni pura-pura di atas
panggung sandiwara. Di sini ia belajar bukan sekadar bagaimana memerankan sesuatu
atau seorang tokoh. Ia, anak lelaki yang terheran-heran dengan cerpen-cerpen seorang
lulusan fakultas hukum universitas kerakyatan itu, dilatih mempelajari sebentuk
“bahasa dunia”. Bahasa yang mengeratkan satu orang dengan orang lain, mengenali
cara mengapresiasi, “bersetubuh” dengan hal yang akan digeluti, hingga menguji rasa
penasaran—keingintahuan. “Apa sih yang kalian dapat dari belajar teater?” tanya
guru ekskul teater di SMA-nya. “Agar kalian bisa mengerti soal hidup.” Perkataan
gurunya itu masih terus-menerus dimaknai ulang oleh anak lelaki, kini dan entah
sampai kapan.
Tak dinyana, kata-kata berbungkus lagu, cerita, dan lakon
di atas panggung mencarik pribadi si bocah. Namun, bak lego yang kala TK ia hancurkan
dan susun lagi menjadi bangunan unik, jalinan kisah hidup anak lelaki menuju penyempurnaan.
Ia mulai belajar menyukai sesuatu, memedulikan sesuatu, dan belajar bekerja keras
untuk mencapai suatu—impiannya.
*
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar