Sabtu, 09 November 2013

Cantona’s Story in January (III)



BERITA DUKA
Seorang seniman besar yang hidup melintasi tiga zaman politik Indonesia telah menghadap Sang Khalik. W.S. Rendra, budayawan itu, kembali ke pangkuan-Nya dengan diantar oleh ratusan orang yang merasakan kesedihan mendalam. Pada bulan Agustus 2009, dunia seni Indonesia berduka karena wafatnya Sang Burung Merak.

Sekian banyak kenangan mengiang dalam ingatan. Satu rasa lalu menyembul. Berat hati. Itulah yang dialami lelaki asal Tabanan, Bali, yang sangat rindu dengan guru sekaligus sahabatnya, sang Burung Merak. Sastrawan yang produktif terlebih saat usianya menjadi senja ini menggelar hajatan khusus untuk mengenang Rendra. Di hari keseratus usai ajal menjemput sang maestro, Sabtu malam, 14 November 2009, puluhan pasang mata memenuhi Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM. Bersama kelompok teater binaannya, Teater Mandiri, seniman yang terkenal dengan karya-karya yang berjudul hanya satu kata dan sebuah suku kata itu, menyiramkan bayu kerinduan kepada para hadirin.
Seperti halnya tulisan-tulisannya yang meneror pembaca, malam itu saya pun ditekan dengan sejumlah rasa sakit oleh penampilannya di atas panggung. Permainan lakonnya begitu mencekam. Dipeluk-peluk, lalu diputar-putarnya jasad berbungkus kain putih berukuran besar yang menggantung dan melayang-layang oleh tali. Rendralah yang ia maksud, ketika ia berkata, “Mengapa engkau begitu cepat pergi?”
Ia, yang juga sutradara film Ramadan dan Ramona itu, malam itu berbaju dan berkopiah hitam. Ia membumi sejenak dengan penontonnya, bercerita tentang Rendra dan pemikirannya. “Seniman adalah pembisik dan pemasok kebenaran pada kekuasaan,” ucapnya menirukan perkataan Rendra. Ia menuturkan, Rendra mengingatkan kita untuk berani melawan takut, terhadap siapapun dan apapun yang menghalangi langkah kita. Kritik politik yang lantang dilontarkan Rendra membuat ia dan keluarganya mendapat ancaman dari rezim pemerintah tempo dulu. Sel jeruji pernah menjadi tempat yang menjadikannya dicap sebagai penjahat.
“Tradisi tidak semuanya harus diterima begitu saja. Mari menatap ke depan,” si aktor melanjutkan orasinya. “Semua orang harus mencari sudut pandang baru.” Saya termangu dan haru mengelus dada. Seniman yang pernah mengenyam ilmu hukum di UGM dan menjabat redaktur Majalah Tempo ini mengguncang batin saya. “Aduh!” spontan saya berseru dalam hati menyebut judul salah satu karyanya. Dia adalah Putu Wijaya.
*

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar