BERITA DUKA
Seorang seniman besar yang
hidup melintasi tiga zaman politik Indonesia telah menghadap Sang Khalik. W.S.
Rendra, budayawan itu, kembali ke pangkuan-Nya dengan diantar oleh ratusan orang
yang merasakan kesedihan mendalam. Pada bulan Agustus 2009, dunia seni
Indonesia berduka karena wafatnya Sang Burung Merak.
Sekian
banyak kenangan mengiang dalam ingatan. Satu rasa lalu menyembul. Berat hati. Itulah
yang dialami lelaki asal Tabanan, Bali, yang sangat rindu dengan guru sekaligus
sahabatnya, sang Burung Merak. Sastrawan yang produktif terlebih saat usianya
menjadi senja ini menggelar hajatan khusus untuk mengenang Rendra. Di hari keseratus
usai ajal menjemput sang maestro, Sabtu malam, 14 November 2009, puluhan pasang
mata memenuhi Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM. Bersama kelompok teater
binaannya, Teater Mandiri, seniman yang terkenal dengan karya-karya yang berjudul
hanya satu kata dan sebuah suku kata itu, menyiramkan bayu kerinduan kepada para
hadirin.
Seperti
halnya tulisan-tulisannya yang meneror pembaca, malam itu saya pun ditekan
dengan sejumlah rasa sakit oleh penampilannya di atas panggung. Permainan
lakonnya begitu mencekam. Dipeluk-peluk, lalu diputar-putarnya jasad berbungkus
kain putih berukuran besar yang menggantung dan melayang-layang oleh tali.
Rendralah yang ia maksud, ketika ia berkata, “Mengapa engkau begitu cepat
pergi?”
Ia,
yang juga sutradara film Ramadan dan
Ramona itu, malam itu berbaju dan berkopiah hitam. Ia membumi sejenak
dengan penontonnya, bercerita tentang Rendra dan pemikirannya. “Seniman adalah pembisik
dan pemasok kebenaran pada kekuasaan,” ucapnya menirukan perkataan Rendra. Ia menuturkan,
Rendra mengingatkan kita untuk berani melawan takut, terhadap siapapun dan
apapun yang menghalangi langkah kita. Kritik politik yang lantang dilontarkan Rendra
membuat ia dan keluarganya mendapat ancaman dari rezim pemerintah tempo dulu. Sel
jeruji pernah menjadi tempat yang menjadikannya dicap sebagai penjahat.
“Tradisi
tidak semuanya harus diterima begitu saja. Mari menatap ke depan,” si aktor melanjutkan
orasinya. “Semua orang harus mencari sudut pandang baru.” Saya termangu dan
haru mengelus dada. Seniman yang pernah mengenyam ilmu hukum di UGM dan menjabat
redaktur Majalah Tempo ini mengguncang
batin saya. “Aduh!” spontan saya berseru dalam hati menyebut judul salah satu karyanya.
Dia adalah Putu Wijaya.
*
bersambung...
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar