Pagi yang cerah di hari
pertama. Satu Januari dua ribu sebelas. Mataku mulai membuka
dan menatap hari ini. Langit cerah, tak ada mendung barang setitik. Di luar
sana tentu hangat oleh cahaya mentari. Kata-kata beriak keluar dari hati. Bersyukur
atas tahun yang baru, semangat yang masih berlantun tak kunjung henti, pengalaman-pengalaman
hidup yang bergulir seperti naik roller-coaster, hingga manusia-manusia yang masih dapat diingat
dan menjadikan hidup ini lebih berarti. Terima kasih, Tuhan….
Cantona bangun dari kasur tempatnya tidur semalam. Meski baru
masuk ke alam mimpi lewat tengah malam, ia mencoba tak melupakan 8.760 jam yang
ia lalui di masa lalu. Anak lelaki itu telah beranjak semakin dewasa. Pada tahun
2010 ia banyak mencecap pahit-asam-manis kehidupan. Mengetahui apa itu perasaan
cinta, apa itu gugup, hingga menyesali atas keraguannya berterus terang pada
seseorang. Seorang Hawa yang kini mungkin masih bersama pria lain. Saat mengetahui
bahwa pujaan hati terbang dengan pangeran lain, begitu remuk hati anak lelaki! Hari
itu seakan berhenti, dan denyut jantungnya lesap dari rangkaian partitur irama kehidupan.
Dengan menyapa Bunda yang kudus dan tak bernoda—Deidre O’Neill
menyebutnya sang Ibu Agung[i],
kesedihan anak lelaki sirna. Ia menyentuhkan kalung rosari pada dadanya. Kalung
itu ia dapatkan saat berziarah ke suatu sendang di sebuah kota, tak jauh dari kediaman
keluarga mendiang sastrawan Pramoedya Ananta Toer. “Bunda, aku bersyukur telah
menerima kesempatan untuk mengenal dia. Mungkin aku salah, namun aku tak sungguh
menginginkannya,” ia menumpahkan begitu saja kata-kata dari hatinya. Sedikit air
asin mengucur dari kantung matanya. Bagi anak lelaki, malam itu terasa betapa
kelam.
Sejak kecil, Cantona memang dididik oleh orang tuanya untuk
rajin berdoa, syukur-syukur membaca kitab suci pula. Ia pun pernah berpikir dan
introspeksi diri kala seorang yang beriman hendak membakar buku-buku suci di
sebuah negeri nun jauh di sana. “Banyak orang meributkan dan membahas tindakan yang
bisa memicu konflik antaragama itu. Tapi ah…, aku sendiri nyaris luput
menyentuh kitab suci!”
Berbeda dengan temannya yang pernah mengaku selalu rindu untuk
turun ke jalan, Cantona selalu rindu datang ke basilika. Ke manapun ia
melangkah menyusuri kota, tak pernah lepas dari benaknya untuk sejenak menatap
altar. Rindu pada imam yang mengelus kepala dan menyapa setiap anak-anak
kelompok Sekolah Minggu, “Selamat hari Minggu!” Juga membuat tanda salib pada
keningnya yang, seingatnya, lumayan berguna untuk memperbesar rekor gol.
Memasuki bulan pertama di tahun 2011 ini, si bocah merasa
sungguh-sungguh bersyukur. Bersyukur dengan pilihan dan jalan yang ia lalui. Masuk
universitas unggulan di kota pelajar, mengenyam pendidikan sesuai minatnya, dan
khususnya… masuk sebuah unit kegiatan mahasiswa penerbitan yang bersejarah
besar. Ia merasa, apa yang telah ia jalani sampai saat ini merupakan lanjutan perjalanan
dari “bahasa dunia” yang ia pelajari semasa sekolah menengah.
Walau begitu, suatu kali si anak lelaki bercerita kepada teman
sejawatnya bahwa ia sebenarnya ingin tergabung dalam UKM penerbitan “nomor dua”.
Kala pertama kali menimbang, ia berpikir, mengapa ada dua kelompok penerbitan? Sama-sama
pers, sama-sama menulis, juga sama-sama satu tempat. Lalu, si anak lelaki menyimak
produk-produk terbitan keduanya: penuturannya, isinya, dan pengemasannya. Baginya,
si nomor dua lebih baik—menarik, menyegarkan, pun menghibur. Lain halnya dengan
pers satunya: berat, tajam, mengulas seperti harian umum, walau sajiannya tak
lepas dari corak khas anak muda.
Pada akhirnya, detik menentukannya singgah di unit pers yang
digerakkan oleh mahasiswa yang memiliki warna lambang sesuai favoritnya, biru. Baginya,
blue is beautiful. Dan, mengecap
aktivitas di pers tersebut adalah sebentuk keindahan lain. Menjadi punggawa penggerak
pers nomor satu ini mengantarkannya dekat dengan jalan hidupnya. Sebelum
menginjak tanah Bulaksumur, dari Bumi Gora
(gogo rancah) ia telah berandai
menjadi penulis. Menyusuri berbagai tempat di dunia, mengenal dunia baru, dan
berkenalan dengan orang-orang terkenal. “Ah, motivasi yang lemah banget, ga sih?” suatu kali ia berpikir
ragu. “Dan menyebarkan kabar baik ke seluruh dunia agar orang terbuka mata dan
pikirannya,” serunya dalam hati.
Ternyata eh, ternyata, mimpi itu terjadi. Dengan
menunggang kendaraan pers inilah ia berjalan-jalan ke sudut-sudut kota gudeg. Hingga
berteman dengan seorang teman yang pernah mewawancarai budayawan Arswendo Atmowiloto
di kota yang menjadi tempat penyelenggaraan Festival Topeng Nusantara 2010. Temannya
itulah yang ia amati sungguh memiliki ciri tak jauh dari citra aktivis mahasiswa
idealis.
Rekannya itu suka merokok, sesuatu yang ditentang oleh Cantona.
Bukan sebatas karena pengalaman buruk di bangku SMA saat akan memerankan tokoh
Korep dalam naskah Tengul karya
Arifin C. Noer, rokok juga menohok pikiran si anak lelaki pada keberadaan
wanita lain yang ia kenal. Kakak kandungnya pernah bercerita bahwa eyang putri,
ibunda ayah, meninggal karena juga terpapar asap rokok. Kata kakak, paru-paru nenek
rapuh sebab terlalu sering mengisap asap rokok dari kakek. Saat kecil, si anak
lelaki pernah mengamati kakek merokok sambil mengenakan sarung dan songkok. Merek
rokoknya berangka 76. Setelah tahu bahwa nenek yang terlihat begitu penyabar
dan murah senyum itu wafat karena penyakit yang disebabkan rokok, ia sedih
mengingat kawannya yang perokok dan berambut gondrong ikal itu. Meski pernah
membaca di harian Kompas bahwa nikotin—dan
kafein—berpengaruh cukup baik untuk menjaga ingatan di kepala, namun ia tak
tega melihat “tuhan sembilan senti” itu mengurangi masa hidup orang yang ia
kenal.
“Ih, ngapain loe
peduli sama orang lain?!” si anak lelaki membatin. Beginilah ia, kerap memandang
sesuatu dari apa yang dialami sesama. Semacam kepekaan dan empati. Dari mana spirit
itu muncul? Barangkali lagu-lagu dan bacaan sastra yang ia terima semasa akil-baliklah
yang bergaung dari lubuk hati dan pikirnya. Bahkan salah satu teman perempuannya
di kampus adapula yang merokok. Suatu kali, tanpa sengaja Cantona spontan
berucap kepada gadis yang berambut sedikit panjang melebihi pundak itu: “Eh,
kamu merokok ya. Ih, jadi hilang lho,
cantiknya. Bener deh…” Saat itu, yang
diajak bicara diam sambil melepaskan gas karbon monoksida ke udara.
Di
kemudian hari, sekitar satu setengah tahun setelah mengucapkan kata itu, Cantona
mengobrol dengan si gadis dalam satu kelompok belajar. Kali ini si anak
perempuan terlihat segar setelah lama tak bersentuhan lagi dengan cerutu. Dengan
tanpa rencana, si gadis mengaku dirinya pernah operasi kanker payudara. Dalam
hati anak lelaki merasa, apa itu karena tindakan dia merokok di waktu dulu? Atau
karena itulah kenalannya itu berhenti merokok? Mungkin saja. Yang pasti, si anak
lelaki mencoba mencegah agar asap tembakau jangan banyak mengganggu pernapasannya.
Jika tidak, ia mau tak mau siap merasakan sesak dada.
*
bersambung...
[i] Deidre
O’Neill atau lebih dikenal sebagai Edda adalah salah satu tokoh dalam novel
The Witch of Portobello (
Sang Penyihir dari Portobello), karangan
Paulo Coelho. Novel ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Maret
2009.