Helikopter
muter-muter. :D
Tepat saat kipas angin berputar di kamar, sebuah kenangan menyambut. Tentang
kipas lain yang lebih, jauh lebih besar daripada kipasnya kipas angin
elektronik. Tempatnya pun tidak di kamar, tapi di luar. Setidaknya pada halaman
besar, boleh berumput atau tidak. Fungsinya tidak untuk menyejukkan hawa, tapi…
menerbangkan. Buuur!
Kipas ada karena baling-baling, tapi tidak asal baling-baling yang berbahan
bambu terus bisa bikin kita terbang kayak punya Doraemon. Jika dengan berseru “Hei,
baling-baling bambu!” disusul berlantun “La-la-la…”, Doraemon sudah bisa sangat
disayang sama jutaan anak di muka bumi, sepertinya lain dengan saya. Setiap anak
kecil pasti akan membuat senang hati semua orang, ia juga disayang. Tapi kalau amat
disayang (seperti lanjutan lagu: “Aku sayang sekali… Doraemon…”) , mm, nampaknya anak perlu punya suatu
kebanggaan. Kebanggaan di sini tidak untuk si anak, melainkan lebih-lebih bagi orang
di sekitarnya. Mula-mula keluarga atau orang tua.
Sekira usia empat tahun, saat masih senang bermain namun sudah lancar membaca,
saya—mengingat-ingat—sudah nggak
sabar pengen masuk TK. Taman kanak-kanak. Tapi, saya belum bisa bilang “R”
(ucap: er). Gimana dong? “Nanti diketawain sama teman-temannya,” Ayah ceritanya
ngancem.
Jadilah saya mainan Ayah, Ibu, Bude, Pakde, dan kakak-kakak yang lebih
tua. Diajari, tapi kemudian (kok) ditertawai. Entah siapa yang memulai, karena
nama panggilan saya berawalan ‘R’, saya mula-mula disuruh menyebut nama
sendiri. Alhasil, ‘r’ lesap, seperti tertelan masuk kerongkongan, tinggal tiga
huruf terlontar. Oni. Yah… payah.
Lalu saya belajar mengucapkan kata-kata yang sengaja dibikin banyak bunyi
‘r’-nya. Pakde juga mencoba ajarkan pelisanan yang benar, dipakailah kata-kata “helikopter
muter-muter”. Nah lhoh, saya waktu
itu menurut saja, namanya juga anak-anak, tinggal menirukan. Beda masalah kalau
saat sudah besar (dewasa) tapi saya masih nggak
bisa bilang ‘r’, pasti kepala saya yang muter
duluan. Kenceng. Jadi “pusing”.
Alhasil, karena belum lancar bilang ‘r’, jadinya… “Heli-kop-teelll, mu-tel,
mu-tel…” Hahaha.. Ucapan itu bagi
orang terdekat yang mendengarnya terdengar lucu… Lucu, karena keliru. Ayah dan Pakde
pun malah menyebut kembali tuturan saya dengan bentukan lain sambil meledek: “Helikopteng muteng-muteng…” Hehehe…
Lambat laun—meski sebenarnya lumayan lama—saya akhirnya bisa lancar bilang
‘r’ dengan baik. Tapi kekeliruan tak bisa terlupakan, dan sepertinya nama
panggilan kecil saya adalah perekamnya. “Ro-ni” yang belum bisa terucap dengan baik,
ditambah dengan tukang roti yang berseru nyaring di depan rumah pagi sekali:
“Roti, roti…!”. Keduanya, entah bagaimana, melahirkan nama kecil saya: Onet.
Nama yang terdengar nggak jelas tapi sampai
sekarang sesekali diucapkan oleh beberapa saudara. “Madang durung, Net?” suatu
kali kakak sepupu spontan bertanya menyapa.
Dari baling-baling helikopter yang berputar saya diantar pada ingatan lain
tentang keasyikan kakak kandung yang sewaktu SMA menggandrungi pesawat. Namun,
pesawat dalam ukuran yang jauh lebih kecil. Mainan. Seingat saya, kakak tertarik
gara-gara sering baca dan melihat gambar pesawat di majalah khusus
kedirgantaraan berjudul Angkasa. Saya
belum sempat mengamati majalah ini lagi, masih terbitkah? Semoga saja ya, pahit
jika tak terbit lagi, menyusuli majalah kebudayaan dan kesenian. Tidak terbit
berarti tenggelam, dong?! Disuruh berenang sendiri? “Ter-la-lu!” seru raja
dangdut yang katanya bakal jadi
presiden.
Di Angkasa diulas tentang
pesawat ini dan itu, pasukan itu dan ini, mengangkasa menaiki pesawat ini,
untuk tujuan ini, lalu kecepatan sekian, dengan bobot sekian… Ada sisipan
menarik yang secara khusus mengundang keingintahuan kakak. Cara merakit pesawat
jenis tertentu, lengkap dengan petunjuk serta gambar detail rancangan bangun
pesawat dan kode-kodenya. Dari gambar rancangan itu, kakak bisa memfotokopi,
lalu digunting dan ditempelkan pada kertas manila atau karton yang lebih tebal.
Dengan mencontoh foto pesawat aslinya, miniatur pesawat dirangkai dan disusun
satu per satu. Dari satu bagian ke sisi lain, komponen satu ke komponen lain.
Kelihatannya, pesawat capung alias helikopter paling kece dan asyik bentuknya.
Dari bagian depan atau moncong helikopter, kakak dengan teliti menghubungkan
satu sisi kertas dengan sisi lainya. Agar merekat, lem kertasnya harus kuat dan
kertas ditempelkan rapat-rapat. Kaca depan bisa diakali dengan memakai plastik
bening atau mika. Bagaimana dengan baling-baling? Ada dua, satu berukuran besar
untuk di atas kokpit, dan yang kecil dipasang di sisi belakang helikopter. Pengemasan
akhir adalah mewarnai tubuh helikopter dengan cat minyak sesuai coraknya. Ada
hijau tua bertotol-totol hijau muda atau kuning, penuh warna merah, dan ragam
motif lainnya. Pesawat Siluman, yang aneh tapi “boleh” bentuknya, juga pernah
dibuat kakak saya.
Saya waktu itu lihat-lihat saja, sambil menggumam akan tiba saat nanti bisa
naik pesawat. Helikopter, apa siluman… Kalau helikopter jangan sampai cuma nyantol di baling-baling. Masakan malah
saya yang muter-muter?? Kurang benar
apa lagi saya belajar mengucapkan “helikopter muter-muter”? Saya sudah berhasil
bilang kata-kata yang berhuruf ‘r’ sehingga tambah disayang. Kalau disuruh
mengucap dengan benar, sekarang, pasti bisa dan jelas bunyinya: “Helikopter muter-muter!”
:). (*)
Hari pertama di tahun 1434 Hijriyah. Ia tampak sedikit malu-malu dan kelabu. Diiringi lantunan “Jika mungkin bumi harus terguncang badai, tapi cinta
takkan mungkin hilang….”
Sumber gambar: http://www.forumdas.net/resimler/helikopter-resimleri-41306/