Sabtu, 25 Juni 2011

Ke Mana Pariwisata Indonesia?

Dunia pariwisata berkembang sebagai bidang yang prospektif. Apa langkah strategis untuk memetik kemajuan ekonomi dari aktivitas bertamasya ini?

Jumat lalu, 27 Mei 2011, sebuah seminar nasional bertajuk “Pariwisata Indonesia 2011” digelar di ruang 2.1 Kantor Pusat Fakultas Teknik (KPFT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Seminar ini merupakan salah satu dari rangkaian acara Temu Organisasi Riset Mahasiswa (TEOREMA) 2011 yang dihelat oleh Unit Penalaran Ilmiah (UPI) Interdisipliner dan Gama Cendekia UGM. Setidaknya, para mahasiswa dari 34 lembaga penelitian kampus se-Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Lembaga Penalaran dan Penelitian Mahasiswa Indonesia (ILP2MI) meramaikan acara ini. Hadir sebagai pembicara undangan, tim ahli Pusat Studi Pariwisata UGM Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli MS. dan pengajar Program Studi Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM Prof. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D.

Tourism is future of the world. Pernyataan yang dilontarkan Wiendu tersebut dilatari peningkatan mobilitas masyarakat yang terjadi belakangan ini. Tak dipungkiri, perpindahan itu membuahkan masalah tersendiri. Namun, Wiendu memandang, tingkat perpindahan manusia berkaitan dengan penemuan solusi untuk menuntaskan persoalan dunia. Maka, turisme adalah alat yang strategis untuk mengatasi bermacam permasalahan. “Karena di dalam aktivitas wisata terjadi pergerakan atau interaksi antarbudaya yang berbeda,” ungkapnya. Melalui interaksi budaya itu, solusi didapat lewat pembelajaran atas latar belakang sosial yang beraneka ragam.

Mengamati prospek pariwisata Indonesia, Wiendu memaparkan, kontribusi sektor pariwisata dalam menyumbang devisa nasional meningkat pada lima tahun terakhir. Ini menjadi harapan baik bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemendbudpar) mencatat, sejak tahun 2006 hingga 2010, sumbangan devisa dari sektor pariwisata terus bertambah. Bila pada 2006 penghasilan pariwisata sebesar 4,45 miliar dolar US, pada 2010 meningkat menjadi 7,6 miliar dolar US. “Pariwisata satu-satunya sektor yang punya daya lipat ganda ekonomi yang paling besar,” tegas Wiendu. Ia pun mengatakan, pariwisata penyumbang devisa terbesar ketiga setelah sektor minyak dan gas bumi serta kelapa sawit.

Wiendu menjelaskan tiga indikator untuk mengukurnya, yaitu tingkat kunjungan wisata, tingkat transaksi ekonomi, dan lama waktu kunjungan. Dari tiga indikator itu, Wiendu menilai jumlah transaksi belanja wisatawan mancanegara potensial untuk mendukung pertumbuhan usaha turisme. Selain itu, pariwisata dalam negeri mencapai pertumbuhan positif dengan bertambahnya jumlah perjalanan dan pengeluaran wisatawan lokal. “Semakin banyak jumlah kunjungan, keberhasilannya semakin baik,” katanya.

Sementara itu, meski sempat surut, pariwisata Indonesia masih dipandang sebagai bidang usaha primadona. Seperti dicontohkan Chafid, pascabencana erupsi Gunung Merapi, pariwisata di Yogyakarta dapat lekas pulih kembali. Menurut Chafid, situasi setelah bencana merupakan momentum baru dalam melahirkan kreativitas demi meningkatkan usaha wisata. Ia menyebut kemunculan eco-tourism memberi daya tarik kuat di masyarakat umum. Melalui eco-tourism, wisatawan diberi sajian pengalaman, petualangan, sekaligus pembelajaran dari pesona lingkungan nan eksotis. Di sisi lain, upaya ini berhasil memperkaya minat calon pengunjung untuk datang setelah beberapa lama diresahkan oleh pemberitaan yang kurang sedap saat erupsi.

Cukup itu sajakah usaha meningkatkan pariwisata? Chafid memaparkan, langkah yang juga patut diupayakan adalah pembangunan desa wisata berpola pemberdayaan masyarakat. “Desa wisata membutuhkan peran aktif masyarakat desa untuk mau mengembangkan fungsi dan potensi wisata di permukimannya,” katanya. Sebagai kreasi untuk menyokong usaha pelancongan, hal itu dapat ditempuh dengan membina kelompok sadar wisata. Tak hanya itu, dukungan pemerintah sangat diperlukan, terutama dalam pembiayaan. Chafid menambahkan, pengembangan sistem teknologi informasi merupakan kebutuhan yang tak boleh dikesampingkan sebagai alat promosi kepada khalayak.

Sejalan dengan itu, Wiendu menegaskan bahwa masa depan pariwisata Indonesia ditentukan oleh daya kreativitas dalam memanjakan minat berkunjung para turis. Sembari berpesan kepada mahasiswa, ia menekankan, kemauan berkreasi pada setiap objek wisata adalah strategi utama yang perlu digiatkan. “Dalam bidang apapun kreativitas diperlukan,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar