Sabtu, 25 Juni 2011

Nasib Hak Ulayat Terancam

Tak lama setelah isu global warming mencuat beberapa tahun belakangan ini, keprihatinan masyarakat Indonesia terhadap ancaman kelestarian alam semakin bertambah dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008. PP ini mengatur jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Berbagai kontroversi bergaung sebagai respons atas ditetapkannya peraturan ini.

Salah satu dampak yang akan timbul dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah ini ialah terancamnya hak pengelolaan sumber daya hutan bagi masyarakat adat. Hal ini karena Peraturan Pemerintah ini mengatur kompensasi penggunaan lahan pada hutan lindung untuk aktivitas penambangan. Inilah permasalahannya. PP No. 2 Tahun 2008 melegitimasi perusahaan tambang untuk melakukan aktivitas penambangan di kawasan hutan lindung dengan tarif yang sangat murah. Tarif sewa ini rata-rata senilai Rp. 120-300 untuk tiap meter perseginya.

Peraturan ini jelas akan membahayakan kelestarian alam dan hutan Indonesia yang saat ini berada pada taraf yang sangat kritis dan mengkhawatirkan. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan misi yang diemban dari hasil kesepakatan Konferensi Perubahan Iklim Sedunia yang diselenggarakan pada penghujung tahun 2007 lalu. Konferensi tingkat internasional yang diadakan di Bali itu mencapai kesepakatan bahwa setiap negara di dunia, termasuk Indonesia, wajib melindungi kawasan hutan serta meningkatkan kualitasnya demi mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh pemanasan global.

Meski Presiden SBY menyatakan bahwa maksud ditetapkannya peraturan ini adalah untuk meningkatkan kontribusi aktif perusahaan-perusahaan tambang dalam pemeliharaan dan rehabilitasi kawasan hutan lindung, namun implikasi yang akan terjadi di masa mendatang memperlihatkan kecenderungan yang sangat buruk secara ekologis. PNBP yang akan diperoleh dari penetapan PP 2/2008 jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak ekologisnya. Seperti diperkirakan oleh Greenomics Indonesia, potensi PNBP yang dapat diraup hanya sekitar Rp. 2,78 triliun, sedangkan biaya yang harus ditanggung dari kerusakan alam yang ditimbulkan mencapai Rp. 70 triliun tiap tahunnya.

Selain itu, tak kalah penting untuk kita cermati dampak sosial yang akan muncul dari pemberlakuan peraturan ini. PP 2/2008 akan merampas hak ulayat masyarakat adat atas hutan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa sebagian besar kawasan hutan yang tersisa saat ini adalah jenis hutan lindung yang umumnya ditempati oleh masyarakat lokal. Sungguh ironis manakala kawasan hutan lindung yang jelas-jelas berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem harus lenyap menjadi kawasan usaha pertambangan.

Pengalihan fungsi hutan lindung yang merampas hak ulayat masyarakat adat atas lahan yang telah mereka tempati secara turun-temurun akan melecutkan konflik sosial di masyarakat. Sebab, pengambilalihan hak ulayat merupakan permasalahan yang bersifat kompleks, tidak hanya menyangkut hak tempat tinggal dan pengelolaan sumber daya alam, namun juga mengeksploitasi harga diri, integritas, dan hak-hak sosio kultural masyarakat adat yang berbasis pada budaya di mana masyarakat lokal itu berada.

Sikap tanggap

Permasalahan menyangkut pemberlakuan PP yang seumur jagung ini menuntut perhatian serius pemerintah sebagai pemegang kebijakan, di samping masyarakat lokal sebagai salah satu pihak yang dirugikan. Pemerintah perlu mengkaji ulang peraturan ini, sebelum berakibat buruk pada kehidupan masyarakat. Hal ini karena penerapan PP 2/2008 berpeluang untuk memunculkan terjadinya sengketa antara negara atau perusahaan-perusahaan besar dengan masyarakat lokal menyangkut hak pengelolaan sumber daya hutan. Sengketa ini akan mengakibatkan meluasnya persoalan ke dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa, sehingga menjadi semakin pelik.

Komunitas masyarakat adat pada dasarnya merupakan suatu bentuk pemerintahan lokal yang otonom, yang berakar pada budaya serta kepercayaan adat. Maka dari itu, identitas etnis dalam bentuk hak ulayat yang telah dirampas akan tersalurkan melalui perlawanan dan resistensi. Perlawanan ini muncul untuk menunjukkan otonomi mereka sebagai masyarakat adat yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Bila perlawanan itu meluas dalam bentuk friksi dan konflik sosial, akan menyulutkan sentimen etnis dan berbagai bentuk primordialisme yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Oleh karena itu, untuk menangkal berbagai efek buruk itu pengujian kembali atas peraturan pemerintah ini harus segera dilakukan. Aktivis hutan dan pemerhati lingkungan harus segera mengajukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Agung. Hal ini karena pemberlakuan PP 2/2008 akan berdampak negatif pada lingkungan, masyarakat, dan negara. Pun secara consideran bertentangan dengan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dan konstitusi, serta tujuan negara karena telah mempertaruhkan nilai vital fungsi hutan bagi keseimbangan ekosistem dan masyarakat dengan nominal rupiah yang jauh begitu kecil nilainya.

Ancaman perpecahan bangsa yang dapat timbul dari pemberlakuan peraturan ini harus segera dicegah dengan mengakui eksistensi masyarakat adat sebagai komunitas-komunitas yang memiliki pemerintahan lokal yang otonom. Mengingat realita kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralistik, maka masyarakat adat sebagai entitas keragaman budaya perlu dirangkul dan dilibatkan dalam dialog aktif dengan pemerintah untuk menemukan bentuk pemerintahan lokal (local governance) yang tepat dan berfungsi secara baik. Pemerintah dan masyarakat adat perlu menjalin sinergi yang positif dan berkelanjutan dalam menerapkan ketentuan pengelolaan sumber daya alam pada kawasan hutan adat. Hal ini antara lain dicapai dengan penerapan kebijakan pemerintah yang sesuai dengan konsep-konsep pengelolaan hutan yang berlaku pada masyarakat adat. Dengan demikian, sejalan dengan itu pemerintah telah mengakui hak-hak ruang bagi masyarakat adat, yang turut mendukung persatuan dan kesatuan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar