Booking Out membuncah di antara isu abadi pelacuran dan pelampiasan nafsu-nafsi.
Perangkat teknologi komunikasi mutakhir, terutama media sosial, mengaksentuasi penyajian kisah film tentang seorang lelaki yang membuka jasa Open BO berlokasi di Yogyakarta. Cara penuturan kisah itu sejalan dengan "usaha" pemesanan jasa, mohon maaf, cewek penghibur yg belakangan cenderung makin mudah dan cepat.
Pengarahan adegan dengan sebagian berteknik following (kamera mengikuti pergerakan aktor) bakal tak berhasil kalau akting pemain belum terbiasa menghadapi langsung mata kamera, apalagi bila tidak cukup mendekati kewajaran dan meyakinkan. Terlebih dalam adegan seorang pemain anak berlaku seperti umumnya video blogging (vlog), sikap grogi yang ditunjukkannya justru menimbulkan kesan unik sebagai rangkaian dengan akhir cerita.
Teknik following membuat penonton seakan diajak mengikuti keseharian tokoh Udin, penipu yang menggunakan kedok sebagai jasa layanan perempuan penghibur. Problemnya, Udin memanfaatkan Arum, iparnya untuk berpura-pura sebagai perempuan penghibur. Semua transaksi berlangsung via media sosial dan telepon.Film ini secara ringan dan ringkas mengajukan pesan pengingat pada urgensi penetapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Aku berharap film penting yang mengungkap isu kekerasan seksual lainnya bisa dibuat dengan bahasa pengantar utama bahasa Indonesia. Tapi akankah bisa seberhasil atau bahkan kuat dibandingkan film pendek Booking Out?
(Penyalin Cahaya [The Photocopier]? Hmm... Kita tunggu tanggal tayangnya.)
Terima kasih, Mas Alex Suhendra (tokoh Udin), aktingmu menjentikkan bibir ("Ckckck") boleh juga ya! Salah satu ekspresi keseharian orang-orang biasa yang jarang ditampilkan dalam akting film.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar