Seorang ibu mengomeli seorang ibu lain karena telah membuat celaka anak balitanya.
Sepenglihatanku yang berjarak sekitar lima meter dari kursi yang diduduki Ibu B,
beberapa menit sebelumnya anak ibu A merengek karena tertindih tas geret milik ibu B.
Ibu A melabrak ibu B.
Keduanya sama-sama tampak sebagai orang berpenampilan biasa, tak mentereng.
Namun Ibu A memilih posisi sebagai superior dibanding lainnya.
Meskipun Ibu A dan B pada dasarnya sama-sama ibu; juga perempuan dan seorang anak-anak pula pada mulanya.
Ibu B menimpali tak terima. "Anak Ibu aja yang main-main jalan ke sana kemari terus menyenggol tas saya!"
Ibu A menjadi lebih tak merasa bersalah.
Rombongan Ibu B-lah yang dianggap biangnya.
"Enak saja sembarangan taruh tas!" teriaknya membela diri.
Perselisihan pendapat itu memantik cekcok yang samasekali tidak cocok. Seorang lelaki mencoba mengamati kejadian itu. Seperti ingin bangkit dari duduk dan melerai, tapi gagal. Kantuk di mukanya lebih unggul. Mungkin juga terbiasa abai, atau memilih enggan campur tangan.
Anak balita yang kesakitan tadi kini dirangkul saudara laki-laki Ibu A. Tidak terlihat luka atau kondisi parah. Namun kini kepala kecilnya dielus-elus, tangannya yang sakit diolesi minyak gosok.
Ibu B yang dilabrak melelah, ia bingung, dan pelan-pelan mengulurkan selembar uang kertas warna merah. Tanda maaf atau sekadar tanggung jawab.
Ah, apalah tanggap Ibu A pada duit cepek itu. Katanya, "Kalau uang mah saya juga ada. Bukan uang yang saya mau!"
Omelan-omelan pun terus berluncuran. Ibu B mengeluarkan lembaran duit biru, bertambah nominal jadi pek-go.
Ibu A senyum-senyum sinis. Malah mengejek dan meninggikan kembali suaranya.
Aku diam menahan jengkel. Ingin kubantu menyelesaikan perkara mereka, takut salah-salah aku jadi sasaran api amarah. Melihat pertengkaran di Senin siang nan panas di ruang tunggu Stasiun Pasar Senen itu, perasaanku makin tak karuan.
Baru saja kutatap sebuah teater bernama: Jakarta.
(Oktober 2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar